Balada Kamar Mandi (i): Solitude


Being solitude,

Telah beberapa kali saya berangan-angan untuk menuliskan tentang balada kamar mandi, dimana semua pemikiran saya lahir dari renungan selama saya mandi. Pft!

Pemikiran itu tidak muncul dari sesuatu yang rumit sebenarnya. Bisa dibilang saya jenis orang yang sangat niat mandi, yang membutuhkan waktu lama meskipun frekuensinya tidak sesering wanita pada umumnya. Penyebabnya bukan sesuatu yang khusus. Lebih karena saya suka air, saya suka melamun saat mandi, karena terkadang saya merasa mandi itu hal bodoh.

Yah, meskipun begitu, toh pada akhirnya saya suka sensasi merasa bersih di akhir mandi, ketika kita akhirnya sekali lagi diberi kesempatan baru untuk berkotor-kotor ria hingga tingkat kenyamanan minimal kembali lagi dan secara otomatis menuntut kita untuk mandi.

Ah, mari kembali ke topik perbincangan.

Dalam renungan mandi saya, saya kepikiran tentang being solitude. Mengapa dan untuk apa.

Dari pandangan saya pribadi, menjadi orang yang solitude itu bukan berarti being stronger kok. Karena tanpa itu pun sebenarnya semua orang udah strong enough.

Lantas mengapa saya sering melakukannya seakan saya suka berjalan seorang diri?

Itu egoisme. Karena menurut saya, pertemanan di antara perempuan itu tidak jujur. Karena meski sesering apapun kita bersama seseorang, pikiran kita tetaplah menjadi milik kita sendiri. Semua hal yang kita lakukan juga merupakan pergulatan dengan diri sendiri. Dan semua rasa bersalah dan penyesalan akan juga ditanggung seorang diri.

Untuk itu, berjalan sendiri akan membuat kita lebih tahu apa yang kita mau, apa yang sebenarnya menjadi pokok pikiran kita. Kita akan lebih menghargai kebersamaan. Kita belajar mengenal rindu dan ragu, asa dan kekecewaan, agar selanjutnya kita tahu kemana kita seharusnya menuju. Agar kita tidak jatuh ketika kehilangan pegangan.

For me, being solitude doesn’t mean you’re stronger; it’s just one of many choices once you have to take

wordsflow