bisnis makanan, eh properti maksudnya

by uli.


Sore ini ada seorang klien datang ke kantor saya untuk ngobrolin urusan bisnis dengan Pak Bos. Alkisah, di akhir-akhir pembicaraan yang entah udah berapa lama ngobrolnya, si Bapak bertanya ke kami. “Menurut kalian tempat makan mana yang bagus?” Berpikir lah kami kesana kemari. Dicari-cari, tidak kami temukan jawaban yang sesuai sampai saya bilang Bale Bebakaran. Hemm, lumayan bisa diterima lah ya jawaban saya. “Bagus apanya? Pelayanannya? Makanannya?” Pertanyaan kedua.

Saya mencoba memutar otak, kenapa saya bilang dia paling bagus? “Hemm, dia pelayanannya bagus, makanannya enak, harganya cocok, sistem di warungnya nggak bikin ribet dan pembayarannya mudah.” Begitu jawaban saya pada Bapaknya.

Tapi bukan masalah itu yang ingin saya bahas sekarang. Karena bapaknya merasa belum ada tempat makan yang enak dan nyaman di Jogja, saya jadi berpikir tentang nilai masing-masing tempat makan dan apa daya pikat mereka sampai mampu bertahan dalam keramaian persaingan bisnis makanan di Jogja.

Semenjak saya (iseng-iseng) terjun di perusahaan interior, saya jadi tahu banyak tempat-tempat makan di Jogja dan sekitarnya. Nah, jadi coba ya saya sebutkan beberapa alasan kenapa (mungkin) mereka bisa bertahan di Jogja. Siapa tahu ini penting juga untuk taktik membuka bisnis makanan. Hehe. Berasa sok penting banget saya nulis ini.

Pertama, butuh.

Tempat makan yang akan selalu dikunjungi orang adalah tempat yang menyediakan kebutuhan asupan gizi manusia-manusia malas masak setiap harinya. Hitunglah sehari manusia normal makan 3 kali, sedangkan mahasiswa bisa 1-4 kali. Dengan intensitas makan yang tidak teratur begitu, mau nggak mau budget menjadi hal yang patut dan yang pertama bakal diperhitungkan oleh mahasiswa. Makanya, tempat-tempat makan yang mampu menyediaan kebutuhan mereka; 4 sehat 5 sempurna dan es teh, akan selalu ramai oleh pengunjung, apa lagi tempat makan yang murah semacam burjo. Duh, godaan tiada akhir. Atau junk food yang emang menyediakan kebutuhan mahasiswa, makanan enak, murah, wifi, tempat duduk nyaman, dan lumayan hits.

Kedua, photoable.

Percayalah, kini oleh lebih suka eksis daripada menabung. Maka, setiap beberapa kali dalam sebulan atau seminggu, akan ada manusia-manusia yang menyisihkan sebagian (besar) uangnya untuk berfoya-foya, barang sehari saja kan ya nggak papa. Nah, untuk tetap merasa eksis, dibutuhkan tempat ngeksis dan layak foto. Belakangan eksistensi dipersempit maknanya hanya dengan sebatas upload foto selfie dan update tempat nongkrong. Biar semua orang di dunia tahu kalau kita eksis.

Duh, sinis banget ya saya. Padahal saya juga nggak jauh beda.

Padahal mungkin menu di setiap tempat makan atau cafe ini sama saja dengan cafe lain, hanya saja penamaannya saja yang berbeda hingga akan terasa semacam menjual menu yang berbeda pula. Padahal ya sama-sama saja. Beneran deh. Ini sih berdasar pengalaman saya beberapa kali intip-intip menu makanan orang dan nanya-nanya sama orang yang bisa masak.

Ketiga, unik dan berbeda.

Untuk tetap bertahan hidup di bersaingan yang begitu ketat, jadilah berbeda dari tempat-tempat makan seumumnya. Sekarang di Jogja banyak tempat yang menjual kopi-kopian. Entah jenisnya kayak apa yang jelas hampir semua tempat menyediakan single origin. Ya ya ya, coffee culture jadi semacam jamur dimana-mana.

Nah, makanya, jadilah berbeda dari orang kebanyakan. Contohnya, buatlah tempat makan yang nggak bisa disaingin menu makanannya. Bikin aja restoran timur tengah, atau restoran ala Jamaika, atau sesuatu yang memang nggak ada pesaingnya dan susah disaingi. Artinya, segala yang dijual harus original buatan sendiri, resep sendiri, eksperimen sendiri. Dengan embel-embel nggak ada duanya ini, banyak kok yang bisa sukses dan merajai bisnis makanan di Jogja.

Keempat, enak.

Perhatikan, sekarang susah mencari makanan enak yang dijual secara umum. Saking banyaknya permintaan makanan di pasaran, orang begitu aja menjual makanan yang kadang-kadang levelnya cuma ‘asal bisa dimakan’. Bersyukur banget punya rekan kerja tukang masak yang bisa masak segala jenis makanan, jadi nggak perlu khawatir kekurangan gizi. Makanya, karena jarang ada makanan enak, sekalinya ada yang enak banget, orang akan berbondong-bondong kesana. Mungkin semacam Pak Kobis bisa lah dibilang begitu (meskipun saya nggak pernah kesana). Bagaimana pun bentuk warungnya, entah rasa jorok dan berantakan kalo dia menyediakan makanan enak orang pasti akan datang kesana kan.

Jadi begitulah, kalau mau membuka warung makan silahkan pelajari dulu tren jaman sekarang, siapa target pasarnya juga. Ahahaha.

Lebih dari itu, terkadang bisnis makanan disandingkan juga dengan bisnis properti. Misalnya saja Mc D. Kata temen saya suatu ketika, Mc D lebih banyak membuat outletnya di persimpangan. Kenapa? Karena ketika nanti mereka mau pindah atau menutup tempat, bangunannya akan lebih mudah dijual karena di tempat yang stategis. Ada juga jenis pemilik yang membuat properti di dalam tempat makannya bisa dibeli orang dan ya, beberapa orang memang melakukan hal-hal itu. Ya mungkin istilahnya sih, sekarang kalau kita nggak punya strategi bisnis yang inovatif susah dong bertahan lama. Paling cuma bertahan beberapa waktu saja.

Ah begitu sudah, saya sudahkan saja tulisan ini.

Selamat pagi,

wordsflow