Life Serenade (ix): ketika kamu tahu bahwa semua manusia sejatinya mampu berpikir

by uli.


Semalam Ega berkata pada saya, betapa membosankan ‘jalan-jalan’ ala saya; berkendara naik motor keliling-keliling. Terus ngapain habis itu mbak?

Hemm, benar juga. Saya pribadi menyadari bahwa jalan-jalan saya sebenarnya hanya menguras bensin dan waktu. Kadang sebenarnya saya merelakan diri mengalami sakit punggung karena perjalanan yang jauh.

Tapi belakangan, ketika pada akhirnya ada seseorang yang mau menemani saya, saya jadi memahami, bahwa ternyata itu menginspirasi orang lain untuk ikut adalah sebuah kesenangan tersendiri. Perbincangan yang begitu panjang, proses bertukar pikiran dikelilingi lingkungan yang menyenangkan. Ya, perjalanan yang demikian kadang memang terasa tak berguna. Tapi belakangan akan kita sadari bahwa perbincangan yang terjadi pasti sangat berharga.

Saya membiasakan diri mampir ke angkringan-angkringan setiap kali melakukan perjalanan panjang, lantas menciptakan dialog kecil dengan penjualnya. Eh bukan menciptakan ding, yang benar adalah saya yang mencoba mengikuti arah pembicaraan mereka.

Terakhir, bapaknya yang punya angkringan bercerita bahwa di desa sebelah ada perayaan karena lurah yang baru berhasil menemukan asal usul desa. Hemm, wow sekali ya. Kadang saya begitu menikmati obrolan hingga nggak sadar kalau sebenarnya kami belum saling kenal. Bukankah kita bisa jauh lebih akrab karena saling memahami isi obrolan masing-masing? Bukan justru karena saling bertanya tentang nama?

Ah, saya jadi teringat. Suatu ketika saya pernah ke UI karena suatu urusan. Kala itu saya jauh-jauh datang dari Jogja seorang diri, naik angkot jam 4 pagi sampai ke kosan senior saya di Depok. Saat acaranya berlangsung, saya bak seorang yang linglung nggak tau arah dan nggak punya kenalan sama sekali. Saya cuma sok sibuk dengan diri sendiri akhirnya. Tapi kesempatan itu akhirnya datang, ketika teman sebangku saya kesulitan menemukan penghapus, maka kami pun berinteraksi. Selepas acara, kami mengobrol perihal asal dan semua hal yang bisa dibicarakan. Kebetulan ada pameran kebudayaan Jepang, sehingga kami punya cukup banyak waktu untuk berbincang. Pada akhirnya saya diperkenalkan olehnya dengan rombongan dia yang lain. Sayang sekali kemudian, ketika akhirnya kami berpisah kemudian, kami tak sempat bertukar nomor pribadi.

kita harus adil sejak dalam pikiran

Kalimat itu terakhir kali saya baca di laman blog pribadi Monot, dan setiap kali saya teringat, saya menyadari betapa sulitnya melakukan hal ini padahal ajakannya sangat sederhana kan. Hanya saja, siapa yang akan tahu ketika untuk mencoba saja kita enggan melakukannya?

Manusia membutuhkan waktu lama untuk berdamai dengan lingkungannya, lebih lama untuk berdamai dengan nasib, dan lebih lama lagi untuk berdamai dengan ketidakmampuan, kelebihan, dan kekurangan dirinya sendiri. Saya sempat menonton film pendek di laman Facebook saya berjudul Likeness karya Rodrigo Prieto. Entahlah, saya otomatis mengeklik tombol play karena sebagai wanita saya merasa ingin tahu tentang isinya. Hehehe.

Banyak orang yang menjadi begitu sakit karena banyaknya standar kecantikan yang disepakati bahkan secara internasional. Orang-orang semakin sulit menerima dirinya sendiri, terutama menjadi diri sendiri. Padahal di samping ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntuntan itu, adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia nggak akan pernah bisa seragam. Itu mengerikan.

Makanya, ketika pemahaman bahwa setiap manusia-memiliki-akal-budi-nya sendiri itu belum bisa saya terima, maka saya tak akan sungguh bisa menerima orang lain. Lalu tanpa sadar mengucilkan orang-orang tertentu.

Saya pernah bertengkar dengan banyak orang. Pertengkaran yang selalu memalukan bahkan terkadang saya impikan. Begitu bangun, rasanya saya ingin kembali ke masa itu dan memperbaiki semuanya.

Tapi mengapa harus kembali?

Saya pikir, manusia mencapai tingkat kedewasaan secara bertahap. Kita akan selalu melewati masa kesombongan, rendah hati, dan akhirnya menjadi orang yang bijaksana, terutama untuk diri sendiri. Pada akhirnya, manusia menemukan arti keberadaannya dengan yakin.

Seperti konflik-konflik yang terjadi di negara ini: konflik pariwisata, agraria, fungsi lahan, dan sebagainya, adalah bukti bahwa mereka ada kelompok orang yang merasa dirinya lebih mampu berpikir dibanding orang lain. Yu Sing (maaf sering saya sebut soalnya sering ngasih kuliah di ig) mengatakan bahwa sangat mungkin melakukan olah desain tapak dengan warga. Sangat mungkin mencari solusi bersama atas ‘ruang’ yang selalu diperebutkan oleh manusia. Dia membuktikannya, Romo Mangun membuktikannya.

Pariwisata bagi saya punya kendala yang sangat besar, karena yang kita kendalikan adalah keinginan dan kepuasan orang lain. Ketika keinginan yang begitu besar tak bisa kita atur, orang-orang yang kedatangannya dalam jumlah nggilani hanya akan menjadikan kawasan wisata mati. Nggak asik, nggak ada ruang, nggak ada hal yang bisa ditawarkan lagi.

Mengajak berpikir itu susah memang, tapi bukan berarti orang-orang ini nggak bisa mikir nggak sih? Ya itu tadi, karena setiap manusia dikaruniai akal dan budi. Hemm, kadang obrolan yang paling filosofis bahkan tidak saya temui di kalangan elit intelektual, tapi di pinggir jalan bareng orang yang tak dikenal. Atau di kereta dengan penjaja makanan. Atau bahkan ketika menemani jalan anak usia 4 tahun.

wordsflow