apreciating silence

by uli.


Ketika menulis ini, ada pasangan bisu yang sedang mengobrol seru di meja sebelah, menggunakan bahasa isyarat yang seru dan kadang diselingi tawa. Tentu saja menimbulkan rasa penasaran karena saya dihadapkan pada hal yang tidak umum saya temui, lantas merasa sepertinya saya harus belajar bahasa ini karena terlihat menarik.

Walau demikian, sering kali sulit untuk merasa biasa bertemu dengan teman-teman difable. Lebih karena mengagumi skill mereka yang tidak saya kuasai sama sekali, seakan sedang menyaksikan orang yang berbicara bahasa asing.

Pernah suatu waktu ke sebuah cafe di Jakarta yang pemiliknya juga bisu. Dia menanyakan pesanan dan saya dengan kikuk menjelaskan, tanpa sadar bersuara. Lantas setelahnya merasa bersalah, berpikir keras apa yang menjadi tujuan ketika memutuskan jauh-jauh mencoba kopi di cafe itu.

Tentu saja karena penasaran, ingin tahu, seperti apa the other yang akan kita temui. Dalam hal ini, saya pribadi merasa bahwa semakin beragam dan semakin banyak jenis orang yang saya temui, maka akan semakin baik pemahaman saya tentang hal-hal, terutama tentang orang-orang sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Jelas sekali kekurangan saya juga banyak, masing sering melabeli orang, juga punya daftar tipe orang yang tidak akan mau saya ajak berteman. Sebuah kewajaran. Bahwa orang lain berprinsip berbeda, it’s okay, selama tidak merugikan saya atau orang lain.

Perihal kesunyian ini, setelah melihat percakapan meja sebelah saya, saya teringat suatu kali bercerita ke rekan kerja, bagaimana saya bisa tinggal di kos selama weekend tanpa bertemu orang lain, bahkan tetangga kamar. Pertanyaannya kemudian ‘kok kamu betah sih ga ngobrol sama orang?’

Jika diingat-ingat, barangkali diam ini salah satu skillset yang saya kuasai sejak lama. Ketika ada hal yang tidak sesuai dengan perasaan, belakangan lebih sering mengekspresikan ketidaksukaan itu dalam diam, alih-alih berkoar-koar. Ini pergeseran kepribadian yang saya sadari setelah pindah ke Jakarta. Sulitnya menemukan orang yang bisa memahami pemikiran juga mendorong kesunyian ini. Tentu saja kondisi ini bisa begitu kontras jika saya menemukan orang yang tepat untuk diajak ngobrol, berbagi keresahan, atau yang bisa menerima pemikiran-pemikiran random saya.

Kira-kira begitu. Saya cukup nyaman dengan keheningan, atau sunyi yang disengaja walaupun tidak juga menolak percakapan dan bebunyian. Hanya saja ternyata mampu merasa nyaman dalam sunyi seringkali sulit dinikmati orang lain.

wordsflow