WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Science

Life Serenade (viii): banjir informasi yang sebenarnya tak mampu kau bendung


Berapa banyak informasi yang kita terima setiap hari? Berapa banyak di antaranya yang membuat kita bahagia? Berapa banyak yang membuat kita merasa percaya diri dan termotivasi? Berapa banyak yang membuat kita meneteskan air mata? Berapa banyak yang kemudian menjadi beban pikiran?

Sayangku, aku tak mampu menerima banjir informasi ini.

Saya merasa lelah membaca dan melihat begitu banyak hal. Mudah sekali perasaan saya terpotang-pantingkan dari satu rasa ke rasa yang lainnya. Lama kelamaan, justru membuat saya merasa begitu palsu.

Setelah berbahagia setiap pagi, saya mendengar berita sedih dari sosial media karena gempa Jepang. Atau kemudian merasa kesal karena membaca berita tentang konflik agraria yang tak kunjung menemui titik temu. Kemudian melihat di laman lain ajakan untuk berdemontrasi, atau di laman yang lain lagi terdapat artikel pembelaan sebuah kelompok masyarakat.

Salah saya pikir, pikiran saya lelah.

Saya sadar, saya pribadi tidak sedang dirundung masalah. Tapi justru mengetahui banyak hal di dunia ini tapi tak mampu melakukan apapun dari tempat saya duduk membuat saya linglung. Saya pikir hal yang paling baik sejauh ini hanyalah melakukan hal yang sesuai hati nurani dengan sebaik-baiknya. Tapi tidak bisa tidak saya pun merasa tergoda untuk membahas hal-hal yang saya dengar dan saya lihat.

Sampah misalnya.

Di laman instagram saya, Yu Sing pernah mengkritik tentang masalah penggusuran dan pengelolaan lingkungan tepi sungai dengan cara yang lebih ramah dan secara ekologis dia seimbang. Pengelolaan kawasan tepi sungai bukan sekedar memindahkan sampah, tapi juga tentang mengedukasi masyarakat bagaimana mewujudkan konsep zero waste. Tapi, diperhatikan lebih jauh, saya semakin malu, karena saya bahkan tidak sedikit pun mendekati manusia ramah lingkungan.

Lalu di laman instagram orang lain lagi, saya melihat publikasinya tentang pengolahan sampah plastik sebagai bahan tas belanja dengan cara dirajut. Sampah itu digunakan ulang untuk keperluan yang hampir sama, yaitu menjadi tas belanja.

Atau ketika pagi tadi ketika saya lewat ruas jalan Monjali dan mendapat setumpuk ban bekas di pinggir jalan bertuliskan ‘Gratis, boleh diambil’, saya jadi kepikiran, sebenarnya barang apa saja yang akan selalu diproduksi untuk kebutuhan manusia?

Sampah, kalau boleh saya kutip dari tulisan Mbak Sukma di buletin Lembah Code, adalah sebutan untuk sisa pemakaian yang masih bisa dimanfaatkan kembali. Sedangkan limbah adalah sisa pemakaian yang sudah tidak bisa digunakan lagi sesuai dengan bentukan sebelumnya. Contoh, sampah adalah kaos yang kekecilan atau sobek, limbah adalah kain bekas kontaminan radioaktif.

Menurut pemikiran sederhana saya, permasalahan sampah ini berkaitan dengan persepsi masyarakat sekarang. Ketika semua hal di dunia ini semakin sering dilihat dengan perspektif nilai jual, maka untuk menjadi pusat perhatian, sampah baru akan menjadi teratasi ketika nilai jual itu muncul.

Caranya gimana?

Beberapa menggunakan metode daur ulang untuk membuat beberapa kerajinan tangan dan dijual kembali. Beberapa membuat korporasi besar untuk menggelola beberapa jenis sampah saja. Beberapa membuat rumah kompos untuk memanfaatkan sampah organik yang mereka hasilkan.

Tapi untuk manusia seperti saya? Semua itu tidak berkaitan langsung sedang saya, dan sesungguhnya saya pribadi belum sungguh bisa memegang sampah sebagai benda bernilai jual.

Hal itu kemudian jadi nggak masuk di pikiran saya karena saya jadi mengkhianati diri sendiri dengan memiliki pikiran ganda semacam ini. Saya membuat standar, tapi mengingkarinya sendiri.

Lalu gimana baiknya? Menurut saya, yang harus diubah adalah termonologi ‘nilai jual’ itu. Nilai jual yang bagaimana yang seharusnya?

Ketika saya belajar menjadi seorang produsen, ada nilai susut yang harus juga diperhatikan oleh setiap pengusaha ketika menyusun rencana bisnisnya. Dalam hal ini, katakanlah manusia adalah pebisnis di Bumi, dengan alat pengolah utama terbesarnya adalah Bumi. Seharusnya, masing-masing dari kita melakukan perhitungan sendiri tentang penyusutan kualitas Bumi yang kita tinggali. Masing-masing mengukur sendiri di lokasi kita hidup, di tempat yang kita lihat setiap saat. Dari sana, bisa terlihat bagaimana penyusutan kualitas itu terjadi. Paling tidak kita tahu kapan kualitas itu menjadi begitu buruk atau bahkan nol sama sekali.

Nah, sudah terlihat begitu idealis kan saya?

Dengan begitu, nilai jual tadi bukan hanya menjadi nilai jual item atau barang, tapi juga nilai jual lingkungan. Yang begini penting kan buat bisnis properti jaman sekarang.

Lalu tempat yang sudah terlanjur menjadi tempat sampah bagaimana nasibnya? Itu yang otak saya tak sampai memikirkannya karena saya bahkan belum pernah melihat TPA dalam wujud aslinya.

Kembali ke masalah banjir informasi tadi.

Saya menjadi ragu, adakah manfaat memikirkan sesuatu yang di luar jangkauan kita? Ketika memikirkan perang di Timur Tengah sana, atau kepunahan harimau di Kamboja? Apa benar begitu pentingnya melakukan penelitian di suku pedalaman demi kelestarian budaya mereka? Apa benar begitu penting membuat suatu tempat menjadi objek wisata untuk memperkenalkan keindahan lokal? Atau justru itu malah akan mengantarkan mereka pada kepunahan dan kerusakan?

Bagaimana perasaanmu ketika mendengar bahwa Everest mendekati gunung dengan tumpukan tinja yang menggunung dan sampah pendakian yang tak terkendali? Bagaimana perasaanmu mendengar bahwa mereka menimbun kotoran itu di lubang dekat pemukiman warga dengan resiko pencemaran karena limbah yang akan terus membeku? Bagaimana perasaanmu membaca berita terdamparnya ratusan paus karena kerusakan sonar akibat percobaan bom di lautan?

Semakin saya update berita, saya semakin merasa tidak nyata. Lingkungan saya yang terlalu jauh dan bahkan tak bisa mendekati hal-hal yang diberitakan itu, atau kami memang hidup di planet yang berbeda? Jika itu memang ada di Bumi, akan ada waktunya dampaknya menjadi ada di mana-mana.

Lalu, kalau masing-masing negara keukeuh dengan kebijakannya sendiri-sendiri, sedang PBB sibuk menangani perang dimana-mana, gimana caranya kita bersepakat tentang pengelolaah planet hidup kita?

Bahkan, sudahkah kamu mendengar rencana Mark Zuckerberg membiayai pesawat penjelajah ke Alpha Centauri untuk mencari planet berair yang mengorbit bintang itu? Komentar pertama yang saya lihat adalah “Mengapa sibuk mencari planet lain yang ber-air, sementara Bumi yang sudah jelas ada airnya nggak dirawat baik?”. Gimana coba menjawab pertanyaan itu?

Nilai susut saya pikir. Nggak mungkin orang-orang secerdas Stephen Hawking nggak pernah memikirkan hal semacam itu. Mungkin dia pernah (sok tau) dan merasa bahwa nilai susut Bumi akan terus bertambah hingga menjadi nol pada suatu ketika nanti.

Hemm, kalau itu terjadi, kira-kira manusia terpilih macam apa ya yang akan menjelajah luas angkasa dan mencari planet baru. Menyedihkan sekali bukan membayangkan mereka meninggalkan manusia-manusia lain di negeri antah berantah untuk menghadapi kehancuran Bumi, sementara mereka melenggang pergi dengan harapan bakal menemukan planet baru.

Dunia serasa jauh dan saya pikir saya mulai mengigau. Aah, gadget hanya membuat saya merasa tak berguna.

wordsflow

sedikit tentang nuklir


Oke, saya mau mengakui kalau ini semua murni sok tau karena saya memang belum mengkaji apapun tentang si nuklir yang sekidit (bold, italic, underline please) ingin saya bicarakan. Anggap juga saya memang rada labil dalam menulis sesuatu di blog, karena yes, saya tuh sama sekali nggak dewasa di dalamnya. Mungkin. Bisa jadi. Hahaha.

Beberapa hari yang lalu, dalam perjalanan pulang saya dari tempat kerja, saya harus sedikit memutar untuk mengantar bos saya pulang. Saat itu entah tinggal berapa bensin yang ada di tangki motor saya karena udah di level E sejak pagi. Maka, mampirlah saya di pom bensin deket kantor.

Gimana ya, saya tuh sebenernya sedih gitu setiap kali mampir ke pom bensin, apalagi kalau antriannya mengular sampe berpuluh motor. Merasa (masih sekedar merasa) bersalah karena tetap saja bergantung pada bensin. Pengennya tuh, setidaknya saya nggak boros gitu (ya nggak boros sih, tapi kan tetep aja beli terus).

Lantas, bu bos nyeletuk tentang perbedaan pertamax dan premium. Dan dengan kesotoyan saya, saya menjelaskan tentang beda keduanya, termasuk juga dengan pertalite yang lagi rada hits belakangan. Terus pembahasan kita beralih ke batu bara, dan terakhir nuklir. (Soalnya kami cuma punya waktu 10 menit, haha)

Senang sih, karena saya pikir perbincangan macam ini jarang mau didekati oleh orang. Jarang ada yang mau membicarakan hal berbau lingkungan dan dampak harian manusia.

Dalam perbincangan singkat tentang nuklir, saya berpendapat kalau menurut saya memang nuklir tuh solusi paling mungkin untuk saat ini jika ingin mengurangi emisi karbon. Memang tidak salah, bahwa ia pun membahayakan, secara kan muncul pertama di muka publik sebagai bom massal. Tapi ya, perang dengan nuklir tuh nggak ada untungnya sama sekali, karena dampaknya juga nggak main-main.

Terkadang saya menyayangkan orang-orang yang langsung berpikir negatif tentang suatu hal, padahal bagaimanapun, selalu ada hal positif yang melatarbelakangi sesuatu, ya contohnya si nuklir itu. Katakanlah nuklir memang membahayakan bahkan dalam operasinya. Tapi siapa sih yang mau mengorbankan diri untuk hal yang nggak berguna dan membahayakan? (ya ada sih) Maksud saya, orang-orang ini nih, yang ada di dunia nuklir pun mencaritahu bagaimana menjadikan tempat main mereka aman, dan pasti selalu ada prosedur-prosedur tertentu.

Oh why, saya tiba-tiba kedengaran menggebu-gebu.

Masalahnya, saya pikir masyarakat sudah terlalu terlena dengan semuanya. Kendaraan ber-bbm, ruangan ber-ac, ketersediaan sumber daya. Itu akan sangat fatal ketika semuanya nggak ada dan yang bisa kita lakukan cuma memprotes, menyalahkan, dan menghakimi pemerintah dan instansi tertentu. Padahal ya, mereka tuh nggak punya apa-apa, mereka juga manusia biasa yang butuh makan dan air bersih. Terkadang manusia emang lupa sama hakikatnya sendiri.

Kembali ke nuklir.

Saya nggak mau membicarakan tentang energinya sebenarnya, karena toh itu bukan bidang saya dan saya nggak tau apapun. Perkaranya hanya, saya ingin membantu para ahli ini untuk memasyarakatkan nuklir, karena itu yang penting sekarang. Sepele sih terkadang, tapi masyarakat kita sekarang susah menelaah tulisan, jika ada, itu pun orang-orang yang membaca dan menulis. Kenapa kita nggak mencoba gambar?

Entah ada atau tidak kampanye nuklir, tapi sepertinya layak dicoba. Lebih baik banyak yang bertanya daripada diabaikan, bukan?

Mari, mari bicara nuklir.

Atau marijuana dalam lingkup farmasi? (mungkin nanti)

wordsflow

out of the sphere


Ada perbedaan yang amat besar dalam studi astrologi dan astronomi, istilah yang sering banyak disebutkan sembarangan dalam masyarakat kita. Saya bukan sedang ingin membela ilmu pengetahuan kok (saya nggak segitunya banget), tapi lebih sebagai penikmat ilmu pengetahuan. Sederhananya, saya adalah orang yang suka dengan ilmu pengetahuan, terutama yang berhubungan alam semesta. Yah, sekedar mencoba untuk memahami di tempat seperti apakah saya tinggal, atau seberapa terpencilnya ini, atau seberapa kecil kita sebagai manusia.

Beberapa waktu yang lalu saya melihat postingan di 9gag tentang meme yang bilang;

Born late to explore the earth and born too soon to explore the galaxies.

Saya punya ketertarikan yang aneh tentang alam semesta, meskipun saya punya pemahaman yang sangat terbatas, terutama pada bidang fisika kuantum. Entah jenis makanan apakah itu, dan terkadang saya nggak habis pikir bagaimana mungkin ada manusia yang bisa memikirkan hal-hal semacam itu. But yes, they have thought about it over and over.

Nah, mari membicarakan hal yang bisa saya pahami saja yak.

Bermula dari kekaguman saya terhadap benda-benda langit (yang juga bisa jadi karena efek melankolis atau pengaruh novel-novel yang saya baca). Peristiwa-peristiwa langit yang ada sering dan hampir selalu dikaitkan dengan banyak tahayul dan imajinasi dalam sepanjang sejarah hidup manusia. Mereka menamai setiap rasi bintang yang sesungguhnya jika kita lihat di langit hanyalah sebatas hamparan bintang-bintang tanpa ada kaitannya sama sekali. Bahkan jarak antar bintang dalam rasi bintang yang sama bisa begitu tidak terbayangkan. Intinya sih, saya menyimpulkan bahwa manusia selalu dan akan selalu tertarik dengan apapun yang bertebaran di langit. Entah peristiwa maupun bendanya. Mungkin juga karena langit adalah tempat menyimpan semua hal yang tidak bisa kita jelaskan. Semacam tempat dimana ketakutan-ketakutan manusia menunggu untuk menyatakan dirinya.

(oke, maaf mulai ngelantur)

Saya mulai memahami konsep astronomi saat saya menginjak bangku SMP. Ketika itu pertanyaan saya hanya sebatas posisi bumi dalam sistem tata surya, dan memahami lingkup lebih besarnya, yaitu galaksi. Saya bahkan tergila-gila dengan nama Andromeda, hingga sampai sekarang saya masih menggunakannya sebagai nama pena saya setiap kali menulis cerita fiksi.

Terkadang muncul pemikiran tentang seberapa pentingnya hal ini untuk hidup saya. Toh setiap benda langit memiliki jarak yang begitu jauh hingga tak mampu saya tempuh bahkan selama hidup saya. Jadi untuk apa saya mempelajari semuanya?

Kalau kata teman saya, will to survive yang selama ini didengungkan itu bukan hanya sebatas spesies, namun lebih kepada gen-nya. Sehingga menjadi masuk akal (semacam yang ada di film Interstellar) jika manusia melakukan apapun untuk memperhitungkan kelangsungan gennya di masa depan. Meskipun harus mencari tempat tinggal yang jaraknya bergenerasi dari Bumi. Bisa jadi.

Tapi ya, saya sendiri tidak pernah benar-benar tahu seberapa jauh kah pemahaman para ahli astronomi dalam hal ini. Seberapa maju kah mereka sekarang. Terkadang bahkan saya berpikir bahwa bisa jadi mereka telah pergi jauh dari Bumi tanpa ada yang tahu. Itu mungkin saja terjadi kan, haha.

Semua penemuan sebenarnya berawal dari pertanyaan dan rasa penasaran manusia akan sesuatu. Saya sih membayangkan pada awalnya orang Mesir kuno menemukan fakta bahwa Bumi itu bulat sebagaimana citra bulan yang tampak, bisa jadi karena pada malam hari hanya itu satu-satunya hiburan mereka. Tidak ada pencahayaan apapun yang menyebabkan polusi cahaya sehingga mereka mampu melakukan observasi lebih baik pada benda-benda langit. Saya mungkin lebih merekomendasikan untuk membaca (atau menonton) beberapa penemuan astronomi pada mulanya. Atau sebatas peristiwa yang terjadi di dalam sistem tata surya kita.

Jika menggunakan urutan logika yang sama dengan para penemu konsep sistem tata surya, kita akan bisa mengkonstruksi pemahaman kita tentang alam semesta yang begitu luasnya.

Sayangnya, mempelajari dan memahami astronomi tidak mungkin dilakukan dengan hanya membaca satu buku, atau mengurai pertanyaan secara terus menerus. Mempertanyakan tentang alam semesta sangat lah ekspansif, semakin lama semakin menjauhi Bumi, dan bisa saja membuat lupa bahwa yang kita tinggali hanyalah tempat sekecil Bumi.

*

Imajinasikan bahwa Bumi berputar pada porosnya, dan pada waktu yang bersamaan melakukan perjalanan mengelilingi matahari dalam waktu 356 ¼ hari. Pada saat yang sama, bulan juga melakukan rotasi dan berputar mengelilingi Bumi dalam waktu 29 ½ hari. Dalam hal ini, telah ada dua benda yang melakukan pergerakan secara simultan tanpa tergelincir sama sekali dari orbitnya.

Dalam waktu yang sama pula, ada 8 planet lainnya yang melakukan revolusi terhadap matahari dan melakukan rotasi dalam jangka waktu yang berbeda. Sampai sini, bayangkan semua hal ini bergerak bersama secara bersamaan dan dalam irama yang berbeda menciptakan gerakan yang mengagumkan.

Lebih jauh lagi, pada saat yang bersamaan matahari kita juga melakukan rotasi pada dirinya sendiri. Faktanya, matahari juga merupakan bintang yang jaraknya sangat dekat dengan kita. Kadang-kadang bahkan ada yang menanyakan bintang terdekat dengan Bumi dan tidak banyak yang bisa menjawabnya, haha.

Well, baru-baru ini saya memikirkan kelanjutan dari imajinasi itu, dan semacam baru sadar, kalau matahari pun adalah bintang yang juga mengorbit pada sistem yang lebih besar, yaitu galaksi.

Kesimpulan awamnya sih, sebenarnya kita tidak pernah berada di tempat yang sama sepanjang kita hidup, karena setiap dari itu melakukan pergerakan secara terus menerus tanpa henti. Menciptakan irama yang berkelanjutan seperti orang yang sedang melakukan tarian.

Bukankah begitu mengagumkan saat kita membayangkan seberapa kecil tempat kita tinggal dibandingkan luas alam semesta yang entah berapa kali besar galaksi, sedang kita sendiri tidak mampu mengimajinasikan besar galaksi itu sendiri. Bahkan mungkin juga kesulitan untuk membayangkan lingkup sistem tata surya kita.

Di luar sana ada sangat banyak hal yang tidak bisa kita ketahui, meskipun banyak yang mencoba untuk mencari tahu dengan mendatangi atau menganalisanya. Bukan kah orang-orang ini sangat mengagumkan?

*

Sebegitu rapuhnya ya kita sebagai manusia. Tinggal di setitik kecil benda yang mengambang di antara entah berapa banyak yang lainnya, sementara masih juga kita mempertanyakan hal yang remeh temeh.

Saya tidak pernah berhenti bertanya, mengapa hanya di tempat ini kita ditakdirkan untuk tinggal. Mengapa adalah matahari yang menjadi pusat sistem tata surya kita. Mengapa dari sebegitu banyak pilihan, Bumi menjadi tempat yang ditujukan untuk manusia. Mungkin ini juga sejenis dengan pertanyaan mengapa kita dilahirkan di masa ini, atau mengapa di tempat ini, mengapa di keluarga ini, dan sebagainya, dan sebagainya.

Tapi bagian yang lebih mengagumkan lagi adalah, fakta bahwa pengetahuan yang tidak terjangkau dan tidak mampu kita sentuh itu, muncul dari pemikiran manusia yang ukurannya begitu kecil dibandingkan dengan besarnya alam semesta.

Bukan kah dunia ini terlalu dipenuhi dengan hal-hal yang tidak terbayangkan?

wordsflow

<a href=”http://www.infoastronomy.co.vu/3rdanniversary”><img src=”http://i60.tinypic.com/723ywz.jpg&#8221; border=”0″ alt=”Klik untuk ikutan juga!”></a>