Kemuning; babak 2
“Kuberi tahu sesuatu ke kamu. Kalo kamu begitu tidak terima dengan pemberian semesta, niscaya kamu sedang mengutuk dirimu sendiri. Semesta nih ya asal kamu tahu, hanya akan mengabulkan hal-hal yang kamu inginkan, dan bekerja atas pilihan-pilihan yang sudah kamu ambil.”
Pria brengsek ini bernama Ranggajati. Sebrengsek itu ia menghantam setiap pertahananku sehingga setiap langkah, setiap hal yang akhirnya membuatku sedih atau entah bagaimana aku sesali dan melukaiku adalah hal menurutnya aku buat sendiri.
Dia tidak menghitung upaya-upaya yang aku lakukan untuk membungkam diriku yang lain, mematikanku di bagian itu, dan membentukku jadi Kemuning yang baru. Big NO. Menurutnya karena aku tidak mampu memutuskan hal-hal dan cenderung suka melukai diri sendiri.
“Sejak kapan kamu jadi brengsek begitu?”
Sombong, perlahan, ia memutar kepalanya dan melirikku. “Sejak pria brengsek menjadi pesona baru para wanita. Accept it, pria brengsek selalu menarik.”
Ada banyak jenis manusia di dunia ini. Aku hanya mengenal sedikit sekali dari macam-macam yang ada.
Ketika membaca Yuval Noah Harari, dia bisa begitu yakin menyebut manusia di era kita dengan sapiens saja, padahal setiap sel kelabu manusia menyimpan hal-hal yang sulit dipahami, kadang begitu rasional kadang begitu sulit untuk dinalar. Dan tetap saja ia begitu kukuh menjadikannya sebagai satu rumpun dengan menyebut diri kita sendiri sebagai sapiens.
Jangankan orang lain, bahkan aku sendiri setengah mati mencoba memahami kemanusiaanku, kebendaanku sebagai binatang berkaki dua. Rumit sekali kan? Yah walaupun setiap dari kita sama-sama makan nasi, sakit kalo terluka, dan bisa jatuh cinta.
“Coba kamu cerita lagi kenapa minggat dari rumah?” pertanyaan muncul tetiba di samping kuping.
“Sok tau banget kek ngerti aja.” Entahlah, keketusanku sulit dikendalikan menyangkut hal-hal di masa lalu.
“Oh please dear Nona Kemuning, cerita aja kenapa sih. Episode minggat ini udah kunanti-nanti dari tiga bulan lalu.”
Yang ini Ririn. Bocah memang, tapi luar biasa peduli denganku yang memiliki selisih umur 2 tahun. Menurutnya, kedewasaannya jauh lebih matang dibandingkan denganku yang belum menikah. Suatu hari di hari pernikahannya, dia pernah ceramah soal transformasi perempuan pasca menikah. “Ingat baik-baik ya. Perempuan akan langsung berubah jiwanya begitu ijab qabul. Kamu akan secara otomatis berubah menjadi wanita yang baru dan lebih dewasa.” Semangat betul dia menyampaikan itu di depan muka.
“Kenapa kamu jadi tertarik sama cerita yang itu? Nggak ada istimewanya, biasa aja kok. Kayak anak-anak muda labil pengen kabur dari rumah aja gitu. Udah, the end.”
“Tapi Mbak, aku tuh nggak pernah ngerti kenapa ada orang yang bisa begitu ke keluarganya. Aku takut lho sama bapak-ibuku. Misal nih aku nggak dibolehin ke mana, ya aku nggak akan ke sana. Ridho orang tua tuh ridho Allah Mbaak.”
“Kalo kamu memang cuma mau ngasih kultum, permisi yah, kerjaanku masih banyak.”
Melengos, aku pergi begitu saja meninggalkannya yang sewot tapi tidak sanggup menyusul karena tatapan atasannya.
Agak sulit mengingat kembali perasaanku di kala itu. Tapi aku mengikuti hampir semua perkataan Ranggajati dan dari semua kemungkinan yang bisa aku ambil, kabur adalah pilihan. Kupikir itu juga pilihan yang sangat kasar, memilih meninggalkan hal-hal yang belum selesai lantas melampiaskannya pada pekerjaan gila yang mengambil sepertiga waktu hidupku dalam sehari. Hanya sesekali aku bisa diam-diam mengamati orang-orang yang paling ingin kulihat. Tapi selebihnya, aku menghalau segala hubungan langsung dengan mereka.
Hidup di kota ini terasa aneh. Jika kamu baru pertama datang kamu mungkin jengah. Tapi setiap hari melalui jalan yang sama, melihat begitu banyak manusia, cintamu akan semakin besar pada apa-apa yang kamu tinggalkan di belakang.
Kamu pikir aku nggak terluka meninggalkan kota kita berdua? Brengsek.
“Oooooiiii!” Sejurus secara mendadak sebuah lengan menjegal leherku. Praktis aku menahan langkah dan menyeimbangkan diri.
“Coba jawab. Gila, kamu mau resign bulan depan?!” Namanya Mamat, orang paling tahu sekantor. Saking dekatnya dia dengan siapapun, berita sekecil apapun selalu dengan mudah sampai ke tangan Mamat. Tanpa kecuali. Dari mantan pacar OB sampai selingkuhan atasan.
“Confidential itu. Harusnya kulaporin kamu atas pencurian informasi.”
“Idih, najis deh. Kamu mau kemana sih? Karirmu udah perfect banget di sini, bulan depan udah 5 tahun anjir.”
“Denger baik-baik nih Mang Mamat. Justru itu. Tolong garis bawahi, justru itu. Artinya, tabunganku udah akan sangat cukup buat mewujudkan cita-citaku. Okay? Lagipula, perusahaan ini akan mudah menemukan pegawai baru kok. Sedangkan cita-citaku belum tentu terwujud di lain waktu.”
“Lah, egois banget lah. Nggak bisa nih, nggak terima aku,” Mamat menyeretku ke ruang santai. Berharap akan mendapat informasi yang lebih banyak dibanding yang telah kusampaikan padanya 5 menit sebelumnya.
Kadang hal-hal semacam ini terjadi. Ketika sampai sudah kejenuhanku pada sesuatu, ketahananku untuk tinggal di suatu tempat tertentu, keyakinanku untuk segera enyah dari orang-orang yang membuatku membebani pikiran sendiri setiap hari, selalu ada secuil kasih sayang dan cinta yang bisa saja di detik-detik terakhir membuatku bertahan, atau di waktu-waktu setelah semua keputusan itu, membuatku sedikit menyesali keteguhanku.
“Begini Mat. Di dunia ini, orang akan datang dan pergi, lahir dan mati. Belum tentu karena aku pergi duluan dari tempat ini, aku juga yang bakal mati lebih awal. Bisa jadi yang bakal merasa kehilangan bukan kamu duluan. Siapa yang tahu,” tukasku seolah mantap.
“Tapi ya nggak bisa gini dong.” Jeda sebentar. “Terus, Ririn udah tahu?”
“Belum.”
“Wah, jahat sih ini.”
“Plis lah, banyak hal juga yang aku pertimbangkan. Emang kamu pikir sejak kapan ini aku putuskan? Nggak sebentar Mat.”
“Ya kan nggak gitu juga tapi.”
“Nih ya. Dari hari aku minggat dari rumah, hampir 5 tahun yang lalu, semua hal ini adalah tujuan hidupku. Setelah itu baru akan ada tujuan hidup lain lagi, tahap berikutnya.”
Pembicaraan mandeg. Mamat memutuskan untuk beranjak dari kursi dan memesan secangkir latte. Tak lama dia kembali dan mengangsurkan capuccino double shot ke hadapanku.
“Yes. Makasih Mat,” ujarku ringan.
“Gue kutuk lu sampai mati kalo nggak pamitan di hari terakhir. Catat!”
Dan bersama wangi espreso yang menguar dari gelas-gelas yang disesap perlahan, sore itu pudar. Esok tanggal 1 di bulan baru, sementara purnama akan berlalu dalam seminggu.
akhir babak dua