WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Foods

2020.


Memandang tahun ini sedikit dengan rasa… aneh. Sudah berganti dekade. Hampir-hampir saya ingin menulis refleksi tentang satu dekade ke belakang, tapi urung saya lakukan. Nanti saja, kalo sudah waktunya.

Saya masih hutang 2 tulisan, tentang pemikiran saya soal anime, juga soal kuliah pak kumis. Ini dua hal yang berbeda. Dan barangkali di samping gundah-gulana dan ketidakmampuan saya mengejar ritme hidup, mari saya antarkan Anda ke beranda tulisan ini.

Anime

Per 1 Januari 2020 kemarin, instansi saya resmi tidak ada, dalam artian kami sedang tidak beridentitas karena ketetapan baru belum juga diterbitkan. Pun demikian status saya juga belum ada kejelasan. Tapi itu soal lain. Saya mau membahas ekosistem yang digadang-gadang akan mampu memperbaiki ekonomi Indonesia.

Sekitar 4 tahun yang lalu, saya menemukan satu logo yang tidak saya kenal di acara ArtJog. Logo inilah yang teryata menjadi tempat kerja saya selama satu tahun belakangan. Singkat cerita, ibarat bertahun-tahun tidak punya tempat untuk mengadu, akhirnya ada satu lembaga yang bisa menjadi tempat pelaku kreatif untuk mengadukan nasibnya, memberi saran, menyampaikan kritik, atau minta bantuan. Ada banyak hal, tidak bisa saya ceritakan satu per satu, pun saya malas sekali menjelaskan tentang opini pribadi saya mengenai instansi ini, juga hal-hal lain di baliknya.

Ketika menilik program pembangunan ekosistem kreatif di Indonesia, saya sering bertanya-tanya kenapa getol sekali untuk mengkomodifikasi ‘budaya’ atau memaksa budaya lama tidak berkembang dengan narasi ‘melestarikan budaya’ hanya untuk menjualnya ke negara asing?

Ini hal yang sangat dekat dengan hal-hal yang saya kerjakan sekarang, juga kuliah-kuliah saya sebelumnya. Saya kerap kali mendengar bahwa orang dengan bangga menyampaikan bahwa ada kelompok/komunitas yang terus melestarikan budaya setempat, lantas berusaha untuk mempopulerkan budaya tersebut sebagai destinasi wisata, atau sesuatu yang bisa dijual. Ke belakang, ketika orang mulai lelah melakukannya karena tidak betul-beul memahami kenapa ritual atau praktik budaya tersebut dipraktikan, teralienasi dari makna sesungguhnya, praktik budaya hanya merupakan kebiasaan.

Bali tampak luar biasa di mata banyak orang. Saya juga berpikir demikian. Tapi saya belum pernah ke Bali. Belum pernah ngobrol dengan mereka dalam hubungannya dengan pariwisata. Saya merasa barangkali mereka baik-baik saja karena praktik budaya yang dijual adalah apa yang sehari-hari mereka praktikkan. Keduanya tidak saling meniadakan, hanya mengisi relasi yang ada saja antara pengunjung dan masyarakat tempatan. Tapi akan sangat berbeda jika ‘ide’ soal pariwisata model Bali diterapkan di daerah yang sudah tidak lagi memiliki praktik budaya yang serupa, atau yang sesuai dengan istilah ‘budaya’.

Jadi ketika melihat bisnis anime Jepang, saya kepikiran bahwa negara semacam Jepang dengan praktik budaya yang ketat dan seolah tidak tersentuh, memiliki hal lain yang jauh lebih layak jual. Tidak memaksakan bahwa komik atau anime Jepang harus merepresentasikan ‘budaya’ Jepang, pun tradisi Jepang. Mereka tidak harus pakai kimono dan ibadah di kuil. Toh tetap mendapat devisa.

Pendapat ini tidak saya isi dengan data yang cukup, saya paham. Saya malas betul mengubek-ubek google atau situs tertentu untuk mencari statistik tertentu tentang sesuatu yang sebetulnya maknanya hanya sebatas grafik semata. Saya kepikiran dengan masyarakat di daerah yang dianggap memiliki budaya yang bisa dijadikan atraksi wisata atau sebagai tujuan wisata. Naif sekali. Saya tetap lebih setuju untuk memilih hal lain yang tidak menganggu hidup masyarakat pun jika hal itu harus menjadi komoditas wisata.

Korea bahkan melakukan hal yang sama saya kira. Mereka tidak memaksanakan budaya Korea dalam bermusik masuk merasuk ke industri musik mereka, ke boyband dan setiap hari tampil dan memiliki fans jutaan. Yang penyanyi-penyanyi lakukan pun tetap disebut sebagai budaya. Ketika mendengar lagu gubahannya, kita akan langsung tahu bahwa ini ‘Korea sekali’. Di saat yang bersamaan budaya lama Korea tetap dipratikkan oleh sebagian orang.

Lagi-lagi ini opini. Baik Jepang maupun Korea, saya belum pernah ke sana. Saya hanya berpikir bahwa menarik sekali jika pemikiran kreatif masyarakat Indonesia tidak dibatasi oleh istilah ‘sesuai dengan budaya setempat’. Budaya yang mana? Kapan? Sementara budaya itu tidak ajeg, istilah itu otomatis menjadi invalid jika memiliki pakem yang tidak berubah.

Kulkas

Pokok bahasan kedua soal salah satu materi kuliah saya tahun lalu. Waktu itu Pak Kumis memberi satu kuliah tentang perkembangan kebudayaan. Menurutnya, salah satu temuan paling mengubah gaya hidup adalah kulkas. Saya ceritakan kenapa, meskipun saya lupa-lupa ingat.

Saya sering membeli bahan makanan, dan cenderung kesulitan menghabiskan sayur mayur karena bahan yang dijual dipaket dalam bundelan standar tokonya. Jadilah saya harus berbagi dengan tetangga kamar atau memaksa diri menghabiskan dalam 1-2 hari sebelum membusuk.

Persoalan ini muncul karena mindset kulkas. Penemuan kulkas mengubah gaya konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya jangka pendek ke konsumsi jangka panjang. Ketika punya kulkas, kita merasa aman membeli lebih banyak bahan makanan karena ada alat untuk mengawetkan. Tapi habit itu bertahan, bahkan di hari-hari kemudian, karena ukuran barang yang harus dibeli kemudian menjadi ajeg.

Dalam praktiknya, terkadang lebih banyak bahan makanan yang tidak terolah untuk terpaksa dibuang. Tapi hal itu tidak mengubah gaya konsumsi, kita lagi-lagi akan membeli dalam jumlah yang sama. Tentu karena punya kulkas untuk mengawetkan makanan.

Saya ingat betul, ketika masih kecil, saya selalu membeli bahan makanan untuk satu hari itu saja, juga mengambil makanan dari kebun hanya untuk hari yang sama. Beberapa yang tidak seperti bumbu masak, bawang merah, bawang putih, cenderung bertahan lebih lama, tapi alakadarnya. Kita menggunakan pengawetan alami dan tertib dengannya. Untuk daging yang berlebih misalnya, kita bisa mengasapi atau membuat dendeng, digarami, diungkep. Tapi yak, saya sendiri setiap hari kesulitan mengatur bahan makanan agar tidak sampai busuk sebelum dimasak.

Begitu kira-kira tulisan ini. Saya akhiri saja. Semoga tetap berkenan. Tanpa bermaksud menebar kenegatifan diri atau kepasrahan, semoga tahun ini berjalan cukup lancar, atau setidaknya memberikan kita pilihan-pilihan yang menarik, juga kesempatan untuk berimprovisasi dan berkembang lebih baik lagi.

Tabik.

wordsflow

Menjadi Jakarta (ii)


Tanpa disadari saya sudah memasuki bulan ke tujuh di kota asing ini, yang yah, selama seminggu-dua minggu belakangan banyak dibicarakan karena sempat menduduki peringkat pertama kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Rasa-rasanya bahkan tanpa indikator itu pun, udara Jakarta memang tidak jelas juntrungannya. Anehnya, saya setiap malam selimutan karena kedinginan meskipun tidur tanpa ac atau kipas angin. Barangkali iklim di sekitar kosan saya memang lebih asik. Saya pribadi sebetulnya bodo amat dengan indikator ketercemaran itu. Tanpa itu pun masalah yang dihadapi Jakarta sudah sangat banyak. Dan barangkali indikator polusi udara hanya selentingan kecil dari bergitu banyak masalah yang ada di Jakarta. Itu kita belum membicarakan soal air, RTH, apalagi daya dukung lingkungan.

Kadang ketika membayangkan apakah sebuah kota betul-betul punya limit tertentu? Padahal jika dibandingkan dengan kota-kota megapolitan lain yang ada di dunia, Jakarta belum lah sepenuh itu. Manhattan misalnya, dengan gedung yang lebih tinggi, kepadatan yang lebih intens, dan seterusnya, terasa lebih apa ya, ‘ramah’ aja gitu ketimbang Jakarta. Meski demikian saya yakin ground coverage Jakarta sudah melebihi batas sih. Tidak ada ruang bagi tanah di bawah Jakarta untuk bernapas lebih bebas.

Eniwei, disamping kesemrawutan Jakarta, saya sendiri menyukai beberapa detil kecil yang mungkin luput oleh orang lain, atau tidak dirasakan orang lain karena mereka tidak berada di kondisi seperti saya. Beruntung sekali misalnya, jalur berangkat saya lewat Menteng dimana pohon-pohon besar masih tumbuh di kanan kiri. Selalu masih bisa melihat kabut-kabut tipis yang sifatnya lokal saja di Taman Suropati, agaknya ini adalah taman terbaik di Jakarta. Sementara itu untuk pulang saya selalu bisa naik trans Jakarta yang selalu penuh sepanjang waktu, semalam apapun saya pulang dari kantor.

Lagi-lagi, di tengah semrawutnya Jakarta, ada cukup banyak hal yang masih menyenangkan. Tentu saja menyebut hal-hal setelah ini sebagai sesuatu yang menyenangkan berakar dari potensi besar untuk terus merasa kesepian di kota ini. Sebuah keniscayaan ketika teman kantormu meskipun masih seumuran tapi rata-rata sudah berkeluarga dan tinggal sedikit lebih keluar kota, atau teman-temanmu yang belum menikah mayoritas sudah lama tinggal di Jakarta dan yah, sudah memiliki geng gaul sendiri dimana gaya mainnya bukan tipemu. Dan faktor yang selalu membuat saya maju-mundur, adalah kenyataan bahwa saya sering ogah basa-basi main dengan orang lain yang saya belum betul-betul paham karakternya. Masalahnya, memahami karakter rekan kerja ternyata sedikit lebih rumit dibandingkan yang saya bayangkan karena praktis tidak ada kegiatan non formal apapun yang bisa menjadi gerbang masuk analisis karakter, sehingga apa-apa jadinya ya formal aja. Begitulah, saya menyerah mencari teman karib yang baru di kota asing.

Maka pilihan yang paling tepat adalah berteman karib dengan diri sendiri. Hehehe. Bagian ini sedikit rumit karena bahkan di waktu-waktu tertentu saya sendiri juga sering kesal dengan diri sendiri. Ngerti lah ya maksudnya. Hubungannya agak love-hate relationship sih, tapi saya berusaha lebih banyak love-nya. Hahahaha.

Yak begitulah. Jakarta menawarkan tiga hal baru yang bisa saya masukkan ke dalam daftar kesibukan harian saya. Bedanya, seluruh kesibukan itu baru bisa saya lakukan selepas pulang kerja, yang artinya di atas jam 18.30 mengingat hampir tidak mungkin lagi bagi saya untuk pulang tepat waktu.

Pertama, wisata kuliner. Suatu hari di awal pindah saya, Mbak Teppy (iya betul, yang suka review film itu) mempromosikan akun @darihaltekehalte (saya curiga itu dia yang bikin sih, hampir yakin 100%) yang ngasih info tempat-tempat makan enak sekitar halte. Pas banget momennya dengan dibukanya jalur MRT secara resmi dan voila, dalam beberapa bulan mereka sudah super femes dengan ratusan rekomendasi tempat makan. Premisnya seru sih, karena Jakarta adalah kota rantau, kamu akan bisa menemukan makanan paling enak dari semua daerah di Indonesia. They tried to prove that they are right, and they did it.

Yang lumayan seru sih karena kantor saya deket jalan Sabang yang merupakan salah satu penggal jalan paling terkenal se Jakarta karena makanannya. Jadilah ketika istirahat siang hari Jumat yang lebih lama dari biasanya, kami sempatkan menjajal beberapa tempat makan bergantian setiap minggu. Salah satu favorit saya sih Claypot Popo. Tampilannya asik, makanannya enak, dan kopi tariknya enak banget. Atau kalau malam saya juga sering jalan sampai Sarinah untuk sight seeing atau mampir beli makanan di beberapa warung tendanya. Beberapa kali saya bahkan sengaja naik MRT atau KRL sekedar untuk menuju tempat makan yang membuat saya penasaran. Sesederhana itu sebetulnya, tapi wisata kuliner adalah hal yang paling bisa ditawarkan oleh kota seruwet Jakarta.

Kedua, menjadi anak nonton. Sebetulnya, Jakarta tidak betul-betulnya memaksa saya jadi anak nonton sih. Berawal dari mengenal JAFF di akhir tahun lalu dan menjadi merchant partnernya, saya merasa terbuka wawasannya akan seasik apa sih punya hobi nonton, hehehe. Alhasil setelah selesai event dan tidak berhasil nonton film apapun karena semua tiket sold out, saya mulai nonton sendiri karena jauh lebih efektif dan efisien tanpa perlu berdebat soal apa, kapan, dan dimana mau nonton film. Juga bertemu dengan akun film baru yang adminnya tengil, jadi saya terpanggil buat follow, hahahaha.

Begitulah, ya walaupun nggak ngerti-ngerti amat soal dunia perfilman, artis dan aktor embuh siapa, atau franchise film semacam Toy Story misal (yang baru saya tonton tepat sebelum nonton film ke empatnya). Apalagi banyak bioskop enak di sekitar kosan yang jaraknya nggak sampai 5 menit, banyak pilihan bioskop murah dengan layar segede gaban, jam tayang banyak, dan yang paling penting, promo diskon :’. Penyelamat kantong banget. Susah sih ya mau banyak gaya tapi hemat di ibu kota tuh butuh strategi, hehe.

Dan terakhir tentu saja, performing art dan pameran yang sebetulnya ada banyak tapi kudu check dan recheck tanggal. Salah satu yang paling saya tunggu-tunggu dari dulu adalah nonton Jakarta City Philharmonic. Sudah ngikuti dari jaman mereka baru dibentuk pertama kali berkat Mas Suta yang merupakan idola violinist sejak jaman masih sering nampil di Tembi atau di ISI ternyata gabung orchestra ini juga. Yha meskipun kadang kalo nonton suka super ngantuk karena repertoarnya yang enak, tapi pengen nonton banget.

Atau event-event lain yang diselenggarakan oleh Galeri Indonesia Kaya misalnya, atau Salihara, atau komunitas-komunitas kreatif di Jakarta yang kegiatannya juga super banyak. Banyak sih pilihannya. Cuman kadang kalo udah naik bis pengen langsung aja sampe kosan terus leyeh-leyeh. Hehe.

Okeeiii. Demikian cerita bahagia dari saya sebagai perayaan karena saya sudah menemukan foto profil yang pas untuk akun whatsapp saya. Huehehehhehehe.

Semoga kalian berkenan. Love you.

wordsflow

Tentang Kota-kota yang Ternyata Tidak Kecil (i)


Setelah mendedikasikan diri untuk menjelajahi berbagai kota di Indonesia demi tercapainya petualangan yang tidak jelas, saya secara tidak sengaja menemukan kesempatan-kesempatan untuk mewujudkan cita-cita nomer 397 tersebut. Agaknya memang jalan-jalan tidak membutuhkan target tertentu. Beberapa cita-cita yang sengaja diwujudkan terkadang berjalan lebih buruk dari yang paling buruk. Namun beberapa lain yang hanya bermodal kesiapan ternyata berjalan jauh lebih menyenangkan.

Jadi, mari saya ceritakan beberapa hal.

Kegemaran saya mengunjungi kota sebetulnya dulunya spesifik. Lebih karena saya suka dengan dengan suasana kota, jalan-jalan menyusuri trotoar (hal yang hampir tidak pernah saya lakukan di Jogja), mengunjungi museum, menjajal transportasi umum, lalu akhirnya menikmati kerumunan yang super sibuk. Semuanya menyenangkan untuk dijelajahi. Salah satu kota favorit untuk jalan-jalan adalah Jakarta, dan hingga hari ini pun saya selalu takjub dengan kota itu; takjub sebagai wisatawan sih, bukan sebagai penduduk kota. Dan masih sangat banyak tempat yang belum berhasil saya kunjungi, jadi masih akan ada banyak kali saya berkunjung ke kota itu.

Well, mari beralih ke kota yang baru-baru ini saya datangi, Tasikmalaya. Saya sengaja menulis ini ketika masih di kotanya agar si tulisan tidak terlupakan, haha.

Okei, mari mulai dengan rencana.

Barangkali tasikmalaya adalah kota kecil yang paling awal saya tahu tapi tidak pernah sungguh-sungguh saya cari tahu dan mengecek petanya. Nama kota ini sangat menarik karena saat saya duduk di kelas 2 SD ada sebuah cerita dengan latar lokasi Tasikmalaya. Bukunya saya baca di perpustakaan SD saya yang kecil dan seolah menjadi sebuah catatan bawah sadar agar suatu hari bisa berkunjung ke Tasik.

Lalu saya berkawan dengan pacar teman, namanya Amel. Si Amel ini anak Tasik tulen dengan dunia permicinannya. Segala kuliner penuh micin saya pelajari dan kenali dari anak ini.

Suatu hari, tiada angin tiada hujan dia mengirimi saya sebuah poster acara di Tasik. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan tertentu saya mengiyakan ajakannya. Toh tiga hari tidak akan merusak agenda saya selama sebulan, apalagi kalau direncanakan jauh-jauh hari. Jadilah acara itu terpampang di agenda bulanan saya di awal Oktober.

Tapi ternyata ada hal-hal di luar rencana yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Di hari keberangkatan saya mengurus stand bazaar untuk kegiatan amal. Lagi-lagi saya harus berpikir taktis untuk membagi waktu seefisien mungkin demi kesuksesan dua acara sekaligus. Setelah menyakinkan jadwal keberangkatan, saya menata dan mengurus bazaar. Naasnya, Amel berselisih 5 menit memberitahu waktu keberangkatan. Kereta kami ternyata berangkat jam 14.10 WIB dan bukannya 5 menit lebih lambat dari yang saya duga.

Setelah berkali-kali memaksa Pak Gojek buat ngebut, saya berhasil sampai di stasiun jam 14.08 WIB. Lari-larian dari drop out area yang jauh bingit dari pintu masuk, nyelip-nyelip di antara kerumunan orang yang entah kenapa rame banget di hari itu, dan akhirnya menyerobot begitu saja bapak-bapak petugas checking ID card. Ya Allah, maafkan saya bapak petugas dan semua-mua orang yang saya senggol sepanjang pintu masuk sampai peron.

Well, plot twistnya adalah si kereta ndak jadi berangkat on time. Setelah lari-larian tanpa henti sampai paru-paru mau meledak dan dilihatin begitu banyak orang, si kereta akhirnya baru beranjak pergi jam 14.14 WIB. Yah begitulah sensasinya menjadi anak deadline. Sering berakhir dengan memuaskan, kadang justru merasa berlebihan dan bodoh. Hahaha.

Okei, singkat cerita kami sampai di Tasik di hari yang sama, mendekati jam 8 malam. Belum-belum langsung menuju ke lokasi permicinan nomer 1. Ini rekomendasi Amel dan gemar diceritakan selama di Jogja. Namanya baso Oding. Fyi, Amel sering sekali menegaskan bahwa ini adalah baso, tanpa ‘k’. Kuahnya sih enak, tapi begitu menyentuh si baso, ya Allah aduhai asinnya sampai bikin sakit lidah. Bahkan Amel pun menyerah dan memindahkan si baso ke mangkuk emaknya. Belakangan kami ketahui bahwa performa warung baso ini memang menurun sejak beberapa waktu yang lalu.

Lanjut, setelah kenyang kami meluncur ke Galunggung demi mandi air panas. Tapi jam 10 malem doong. Sebetulnya saya sudah lelah tapi apa daya saya kan wisatawan yang numpang. Berasa onsen gitu malem-malem berendam di alam terbuka. Sangat direkomendasikan kalau teman-teman berkunjung ke Tasik yaa. Hari itu berakhir tengah malem dengan kondisi super ngantuk yang sok-sok berusaha seger karena gak enak sama emak bapaknya Amel.

Wisata kuliner ini adalah hal yang sebetulnya tidak pernah saya rencanakan dalam semua acara jalan-jalan. Lebih karena saya enggan mencoba makanan baru di manapun karena bisa berakhir mengubah mood menjadi tidak stabil. Saya juga bukan tipikal anak yang sering penasaran dengan varian rasa baru, atau memasukkan benda asing yang tidak dikenal lidah.

Tapi belakangan, berbekal rekomendasi native setempat, atau berdasarkan rekomendasi media sosial, pelan-pelan saya mencoba kebiasaan untuk menjajal kuliner lokal. Tidak selalu berhasil, tapi lebih sering membuahkan hasil menyenangkan. Dan begitulah, Tasik ternyata tempat seru untuk menjajal makanan.

Setelah di hari pertama saya menjajal golosor (sejenis mie kuning kenyal semacam aci), esok harinya saya mencoba tutug oncom (campuran antara nasi dan remah oncom gitu), leunca (rasanya mirip ceplukan tapi pahit after taste-nya), cipe (aci tempe yang kalau di Jawa disebut mendoan, tapi agak beda), sambal ijo goreng (ini enak), yang ternyata super enak. Lagi-lagi tingkat keasinannya dua level di atas standar saya, tapi ini masih masuk akal karena enak banget.

Siang itu kami akhirnya beranjak ke lokasi kemping fancy yang memang menjadi alasan kami ke sana. Sebegitunya saya nggak peduli dengan acara itu sampai baru belakangan saya tahu kalau hostnya Eddi Brokoli, haha. Lalu ada sejumlah bintang tamu yang saya juga nggak kenal. Ini sebetulnya kemping fancy pertama saya dan mungkin nggak lagi sih, haha.

Kami sampai di lokasi siang hari tengah bolong. Berhubung acaranya di lapangan desa, panasnya luar biasa. Begitu sampai hal pertama yang kami cari adalah tempat berteduh, kemudian yang kedua adalah cilok. Tapi keduanya tidak berhasil kami temukan. Akhirnya kami mencoba euforia free flow kopi Karaha yang dikasih sama panitia. Untungnya mereka menawarkan es juga jadilah hari itu nggak sebegitu membakar.

Sore hari kami mencoba jalan-jalan ke Karaha Bodas. Lokasinya digunakan Pertamina untuk proyek geothermal dan pengembangan kopi Karaha adalah salah satu program CSR mereka. Yah begitulah, setidaknya sore itu nggak berakhir terlalu panas buat kami.

Di lokasi kempingnya kami menjajal ‘wahana’ yang disediain panitia gitu. Sponsornya sih Djarum gitu makanya bisa ada banyak hal secara mereka juga promo. Tapi hal-hal ini baru saya ketahui di lapangan sebagai peserta acara yang take it for granted dan berbekal motivasi jalan-jalan ke kota orang, haha. Semalaman itu saya belajar slackline sampai kasian mas-masnya pantatnya sakit karena ngejagain tali biar nggak goyang banget.

Malam itu melelahkan dan berangin. Pergerakan saya hanya seputar bean bag dan slackline. Setelah itu berangkat tidur deh.

Lalu kami mabok kopi Karaha. Jenis kopinya unik, saya baru pertama mencoba kopi yang rasa aslinya penuh sensani manis. Saya sebetulnya nggak suka arabika, lambungnya nggak kuat. Tapi kalau menjajal beberapa varian sih oke. Mungkin varian ini akan pas dicoba untuk yang baru-baru kepingin mencoba kopi ‘asli’. Saya sih penikmat, semua diminum, haha.

Ada satu tempat ngopi kecil yang menyenangkan menurut saya, namanya Alchemist. Tetep Amel sih yang merekomendasikan, ada menu kopi dan non kopi. Kami nongkrong sesorean menunggu teman Amel yang lain lagi, haha. Amel yang ada di dunia perkopian membuat lingkaran pertemanannya serba kopi. Jadilah saya yang ngintilin juga jadi kenal dengan teman-teman perkopiannya. Uyey, teman baru lagi.

Oiya, salah seorang temannya Amel membelikan saya es bojong. Esnya mirip es doger, tapi isinya lebih banyak dan memakai durian juga. Selama dua puluhan tahun hanya sekali saya mencoba durian waktu di Bogor. Waktu itu teman saya memperkenalkan es durian yang katanya paling enak se-Bogor. Memang sih, tapi saya nggak pernah mencicip durian buah. Terlalu menyengat.

Nah, si es bojong ini rasanya enak banget karena ada kombinasi alpukat, durian, dan nangka. Jadi duriannya nggak mendominasi sebetulnya, tapi menguatkan wangi dan rasa esnya. Aduhai lah.

Oiya, si masnya sendiri punya warung kopi DIY yang asik banget, namanya Tangkal Kopi. Buat masuk ke barnya harus lewat lorong sempit dulu, dan semua-muanya disusun sendiri gitu. Tapi nyamukan dan karena hari itu belum mandi jadi saya dirubung nyamuk deh.

Lalu hari ini, akhirnya saya mencoba jalan sendiri untuk menjajal baso enak karena merasa tidak puas dengan percobaan sebelumnya. Saya nemu baso Ahmad yang katanya enak banget. Ternyata memang enak. Lagi-lagi level micin dan keasinannya satu level di atas saya, tapi masih bisa diterima juga karena memang enak. Catatlah namanya untuk dicoba nanti ya. Warungnya di pinggir jalan, kecil saja dan hanya buka dari jam 11 sampai jam 3 sore menurut info. Kali ini saya puas karena pilihan kuliner saya tepat, hehe.

Bicara soal perkulineran, saya sih anak bawang, masih takut-takut mencoba makanan baru. Belalang goreng aja belum pernah saya makan padahal punya temen yang rumahnya ngegorengin belalang sendiri. Anaknya jireh (yang artinya penakut dalam bahasa Jawa), setengah jijikan. Kalau memang tidak masuk kriteria nggak akan pernah dicobain meskipun sejagad bilangnya enak.

Setelah ini saya pulang, esok akan kembali menikmati kulineran Jogja. Nggak ada yang terlalu dikangenin sih karena makanannya cuman angkringan, burjo, mie ayam, dan kadang-kadang warung prasmanan. Oiya, ini oleh-oleh foto kali aja ada yang kepingin coba, hehe. Tapi saya nggak demen foto makanan, jadi seadanya aja.

Ah satu lagi. Amel mengingatkan saya untuk mencatat soal Gojek di sana. Sejauh pengamaan kami, transportasi online masih larangan di sana sehingga banyak yang memakai atribut atau mengambil penumpang di samping angkot. Kami pernah sekali hampir ribut sama sopir angkot. Lucunya, setiap naik ojek mamangnya selalu nanya ‘pake helm nggak teh?’ instead of ‘teh, ini helmnya’. Yah begitulah, kota-kota selalu menawarkan hal-hal yang berbeda.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya.

wordsflow

Si Alchemist tempat ngopi dan laptopan enak.
Baso Ahmad yang enak-tapi-agak-keasinan dengan tahu basonya yang yoi.
Bonus pemandangan untuk headermu, hehe.

bisnis makanan, eh properti maksudnya


Sore ini ada seorang klien datang ke kantor saya untuk ngobrolin urusan bisnis dengan Pak Bos. Alkisah, di akhir-akhir pembicaraan yang entah udah berapa lama ngobrolnya, si Bapak bertanya ke kami. “Menurut kalian tempat makan mana yang bagus?” Berpikir lah kami kesana kemari. Dicari-cari, tidak kami temukan jawaban yang sesuai sampai saya bilang Bale Bebakaran. Hemm, lumayan bisa diterima lah ya jawaban saya. “Bagus apanya? Pelayanannya? Makanannya?” Pertanyaan kedua.

Saya mencoba memutar otak, kenapa saya bilang dia paling bagus? “Hemm, dia pelayanannya bagus, makanannya enak, harganya cocok, sistem di warungnya nggak bikin ribet dan pembayarannya mudah.” Begitu jawaban saya pada Bapaknya.

Tapi bukan masalah itu yang ingin saya bahas sekarang. Karena bapaknya merasa belum ada tempat makan yang enak dan nyaman di Jogja, saya jadi berpikir tentang nilai masing-masing tempat makan dan apa daya pikat mereka sampai mampu bertahan dalam keramaian persaingan bisnis makanan di Jogja.

Semenjak saya (iseng-iseng) terjun di perusahaan interior, saya jadi tahu banyak tempat-tempat makan di Jogja dan sekitarnya. Nah, jadi coba ya saya sebutkan beberapa alasan kenapa (mungkin) mereka bisa bertahan di Jogja. Siapa tahu ini penting juga untuk taktik membuka bisnis makanan. Hehe. Berasa sok penting banget saya nulis ini.

Pertama, butuh.

Tempat makan yang akan selalu dikunjungi orang adalah tempat yang menyediakan kebutuhan asupan gizi manusia-manusia malas masak setiap harinya. Hitunglah sehari manusia normal makan 3 kali, sedangkan mahasiswa bisa 1-4 kali. Dengan intensitas makan yang tidak teratur begitu, mau nggak mau budget menjadi hal yang patut dan yang pertama bakal diperhitungkan oleh mahasiswa. Makanya, tempat-tempat makan yang mampu menyediaan kebutuhan mereka; 4 sehat 5 sempurna dan es teh, akan selalu ramai oleh pengunjung, apa lagi tempat makan yang murah semacam burjo. Duh, godaan tiada akhir. Atau junk food yang emang menyediakan kebutuhan mahasiswa, makanan enak, murah, wifi, tempat duduk nyaman, dan lumayan hits.

Kedua, photoable.

Percayalah, kini oleh lebih suka eksis daripada menabung. Maka, setiap beberapa kali dalam sebulan atau seminggu, akan ada manusia-manusia yang menyisihkan sebagian (besar) uangnya untuk berfoya-foya, barang sehari saja kan ya nggak papa. Nah, untuk tetap merasa eksis, dibutuhkan tempat ngeksis dan layak foto. Belakangan eksistensi dipersempit maknanya hanya dengan sebatas upload foto selfie dan update tempat nongkrong. Biar semua orang di dunia tahu kalau kita eksis.

Duh, sinis banget ya saya. Padahal saya juga nggak jauh beda.

Padahal mungkin menu di setiap tempat makan atau cafe ini sama saja dengan cafe lain, hanya saja penamaannya saja yang berbeda hingga akan terasa semacam menjual menu yang berbeda pula. Padahal ya sama-sama saja. Beneran deh. Ini sih berdasar pengalaman saya beberapa kali intip-intip menu makanan orang dan nanya-nanya sama orang yang bisa masak.

Ketiga, unik dan berbeda.

Untuk tetap bertahan hidup di bersaingan yang begitu ketat, jadilah berbeda dari tempat-tempat makan seumumnya. Sekarang di Jogja banyak tempat yang menjual kopi-kopian. Entah jenisnya kayak apa yang jelas hampir semua tempat menyediakan single origin. Ya ya ya, coffee culture jadi semacam jamur dimana-mana.

Nah, makanya, jadilah berbeda dari orang kebanyakan. Contohnya, buatlah tempat makan yang nggak bisa disaingin menu makanannya. Bikin aja restoran timur tengah, atau restoran ala Jamaika, atau sesuatu yang memang nggak ada pesaingnya dan susah disaingi. Artinya, segala yang dijual harus original buatan sendiri, resep sendiri, eksperimen sendiri. Dengan embel-embel nggak ada duanya ini, banyak kok yang bisa sukses dan merajai bisnis makanan di Jogja.

Keempat, enak.

Perhatikan, sekarang susah mencari makanan enak yang dijual secara umum. Saking banyaknya permintaan makanan di pasaran, orang begitu aja menjual makanan yang kadang-kadang levelnya cuma ‘asal bisa dimakan’. Bersyukur banget punya rekan kerja tukang masak yang bisa masak segala jenis makanan, jadi nggak perlu khawatir kekurangan gizi. Makanya, karena jarang ada makanan enak, sekalinya ada yang enak banget, orang akan berbondong-bondong kesana. Mungkin semacam Pak Kobis bisa lah dibilang begitu (meskipun saya nggak pernah kesana). Bagaimana pun bentuk warungnya, entah rasa jorok dan berantakan kalo dia menyediakan makanan enak orang pasti akan datang kesana kan.

Jadi begitulah, kalau mau membuka warung makan silahkan pelajari dulu tren jaman sekarang, siapa target pasarnya juga. Ahahaha.

Lebih dari itu, terkadang bisnis makanan disandingkan juga dengan bisnis properti. Misalnya saja Mc D. Kata temen saya suatu ketika, Mc D lebih banyak membuat outletnya di persimpangan. Kenapa? Karena ketika nanti mereka mau pindah atau menutup tempat, bangunannya akan lebih mudah dijual karena di tempat yang stategis. Ada juga jenis pemilik yang membuat properti di dalam tempat makannya bisa dibeli orang dan ya, beberapa orang memang melakukan hal-hal itu. Ya mungkin istilahnya sih, sekarang kalau kita nggak punya strategi bisnis yang inovatif susah dong bertahan lama. Paling cuma bertahan beberapa waktu saja.

Ah begitu sudah, saya sudahkan saja tulisan ini.

Selamat pagi,

wordsflow