Menjadi Jakarta (ii)
Tanpa disadari saya sudah memasuki bulan ke tujuh di kota asing ini, yang yah, selama seminggu-dua minggu belakangan banyak dibicarakan karena sempat menduduki peringkat pertama kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Rasa-rasanya bahkan tanpa indikator itu pun, udara Jakarta memang tidak jelas juntrungannya. Anehnya, saya setiap malam selimutan karena kedinginan meskipun tidur tanpa ac atau kipas angin. Barangkali iklim di sekitar kosan saya memang lebih asik. Saya pribadi sebetulnya bodo amat dengan indikator ketercemaran itu. Tanpa itu pun masalah yang dihadapi Jakarta sudah sangat banyak. Dan barangkali indikator polusi udara hanya selentingan kecil dari bergitu banyak masalah yang ada di Jakarta. Itu kita belum membicarakan soal air, RTH, apalagi daya dukung lingkungan.
Kadang ketika membayangkan apakah sebuah kota betul-betul punya limit tertentu? Padahal jika dibandingkan dengan kota-kota megapolitan lain yang ada di dunia, Jakarta belum lah sepenuh itu. Manhattan misalnya, dengan gedung yang lebih tinggi, kepadatan yang lebih intens, dan seterusnya, terasa lebih apa ya, ‘ramah’ aja gitu ketimbang Jakarta. Meski demikian saya yakin ground coverage Jakarta sudah melebihi batas sih. Tidak ada ruang bagi tanah di bawah Jakarta untuk bernapas lebih bebas.
Eniwei, disamping kesemrawutan Jakarta, saya sendiri menyukai beberapa detil kecil yang mungkin luput oleh orang lain, atau tidak dirasakan orang lain karena mereka tidak berada di kondisi seperti saya. Beruntung sekali misalnya, jalur berangkat saya lewat Menteng dimana pohon-pohon besar masih tumbuh di kanan kiri. Selalu masih bisa melihat kabut-kabut tipis yang sifatnya lokal saja di Taman Suropati, agaknya ini adalah taman terbaik di Jakarta. Sementara itu untuk pulang saya selalu bisa naik trans Jakarta yang selalu penuh sepanjang waktu, semalam apapun saya pulang dari kantor.
Lagi-lagi, di tengah semrawutnya Jakarta, ada cukup banyak hal yang masih menyenangkan. Tentu saja menyebut hal-hal setelah ini sebagai sesuatu yang menyenangkan berakar dari potensi besar untuk terus merasa kesepian di kota ini. Sebuah keniscayaan ketika teman kantormu meskipun masih seumuran tapi rata-rata sudah berkeluarga dan tinggal sedikit lebih keluar kota, atau teman-temanmu yang belum menikah mayoritas sudah lama tinggal di Jakarta dan yah, sudah memiliki geng gaul sendiri dimana gaya mainnya bukan tipemu. Dan faktor yang selalu membuat saya maju-mundur, adalah kenyataan bahwa saya sering ogah basa-basi main dengan orang lain yang saya belum betul-betul paham karakternya. Masalahnya, memahami karakter rekan kerja ternyata sedikit lebih rumit dibandingkan yang saya bayangkan karena praktis tidak ada kegiatan non formal apapun yang bisa menjadi gerbang masuk analisis karakter, sehingga apa-apa jadinya ya formal aja. Begitulah, saya menyerah mencari teman karib yang baru di kota asing.
Maka pilihan yang paling tepat adalah berteman karib dengan diri sendiri. Hehehe. Bagian ini sedikit rumit karena bahkan di waktu-waktu tertentu saya sendiri juga sering kesal dengan diri sendiri. Ngerti lah ya maksudnya. Hubungannya agak love-hate relationship sih, tapi saya berusaha lebih banyak love-nya. Hahahaha.
Yak begitulah. Jakarta menawarkan tiga hal baru yang bisa saya masukkan ke dalam daftar kesibukan harian saya. Bedanya, seluruh kesibukan itu baru bisa saya lakukan selepas pulang kerja, yang artinya di atas jam 18.30 mengingat hampir tidak mungkin lagi bagi saya untuk pulang tepat waktu.
Pertama, wisata kuliner. Suatu hari di awal pindah saya, Mbak Teppy (iya betul, yang suka review film itu) mempromosikan akun @darihaltekehalte (saya curiga itu dia yang bikin sih, hampir yakin 100%) yang ngasih info tempat-tempat makan enak sekitar halte. Pas banget momennya dengan dibukanya jalur MRT secara resmi dan voila, dalam beberapa bulan mereka sudah super femes dengan ratusan rekomendasi tempat makan. Premisnya seru sih, karena Jakarta adalah kota rantau, kamu akan bisa menemukan makanan paling enak dari semua daerah di Indonesia. They tried to prove that they are right, and they did it.
Yang lumayan seru sih karena kantor saya deket jalan Sabang yang merupakan salah satu penggal jalan paling terkenal se Jakarta karena makanannya. Jadilah ketika istirahat siang hari Jumat yang lebih lama dari biasanya, kami sempatkan menjajal beberapa tempat makan bergantian setiap minggu. Salah satu favorit saya sih Claypot Popo. Tampilannya asik, makanannya enak, dan kopi tariknya enak banget. Atau kalau malam saya juga sering jalan sampai Sarinah untuk sight seeing atau mampir beli makanan di beberapa warung tendanya. Beberapa kali saya bahkan sengaja naik MRT atau KRL sekedar untuk menuju tempat makan yang membuat saya penasaran. Sesederhana itu sebetulnya, tapi wisata kuliner adalah hal yang paling bisa ditawarkan oleh kota seruwet Jakarta.
Kedua, menjadi anak nonton. Sebetulnya, Jakarta tidak betul-betulnya memaksa saya jadi anak nonton sih. Berawal dari mengenal JAFF di akhir tahun lalu dan menjadi merchant partnernya, saya merasa terbuka wawasannya akan seasik apa sih punya hobi nonton, hehehe. Alhasil setelah selesai event dan tidak berhasil nonton film apapun karena semua tiket sold out, saya mulai nonton sendiri karena jauh lebih efektif dan efisien tanpa perlu berdebat soal apa, kapan, dan dimana mau nonton film. Juga bertemu dengan akun film baru yang adminnya tengil, jadi saya terpanggil buat follow, hahahaha.
Begitulah, ya walaupun nggak ngerti-ngerti amat soal dunia perfilman, artis dan aktor embuh siapa, atau franchise film semacam Toy Story misal (yang baru saya tonton tepat sebelum nonton film ke empatnya). Apalagi banyak bioskop enak di sekitar kosan yang jaraknya nggak sampai 5 menit, banyak pilihan bioskop murah dengan layar segede gaban, jam tayang banyak, dan yang paling penting, promo diskon :’. Penyelamat kantong banget. Susah sih ya mau banyak gaya tapi hemat di ibu kota tuh butuh strategi, hehe.
Dan terakhir tentu saja, performing art dan pameran yang sebetulnya ada banyak tapi kudu check dan recheck tanggal. Salah satu yang paling saya tunggu-tunggu dari dulu adalah nonton Jakarta City Philharmonic. Sudah ngikuti dari jaman mereka baru dibentuk pertama kali berkat Mas Suta yang merupakan idola violinist sejak jaman masih sering nampil di Tembi atau di ISI ternyata gabung orchestra ini juga. Yha meskipun kadang kalo nonton suka super ngantuk karena repertoarnya yang enak, tapi pengen nonton banget.
Atau event-event lain yang diselenggarakan oleh Galeri Indonesia Kaya misalnya, atau Salihara, atau komunitas-komunitas kreatif di Jakarta yang kegiatannya juga super banyak. Banyak sih pilihannya. Cuman kadang kalo udah naik bis pengen langsung aja sampe kosan terus leyeh-leyeh. Hehe.
Okeeiii. Demikian cerita bahagia dari saya sebagai perayaan karena saya sudah menemukan foto profil yang pas untuk akun whatsapp saya. Huehehehhehehe.
Semoga kalian berkenan. Love you.
wordsflow