2020.
Memandang tahun ini sedikit dengan rasa… aneh. Sudah berganti dekade. Hampir-hampir saya ingin menulis refleksi tentang satu dekade ke belakang, tapi urung saya lakukan. Nanti saja, kalo sudah waktunya.
Saya masih hutang 2 tulisan, tentang pemikiran saya soal anime, juga soal kuliah pak kumis. Ini dua hal yang berbeda. Dan barangkali di samping gundah-gulana dan ketidakmampuan saya mengejar ritme hidup, mari saya antarkan Anda ke beranda tulisan ini.
Anime
Per 1 Januari 2020 kemarin, instansi saya resmi tidak ada, dalam artian kami sedang tidak beridentitas karena ketetapan baru belum juga diterbitkan. Pun demikian status saya juga belum ada kejelasan. Tapi itu soal lain. Saya mau membahas ekosistem yang digadang-gadang akan mampu memperbaiki ekonomi Indonesia.
Sekitar 4 tahun yang lalu, saya menemukan satu logo yang tidak saya kenal di acara ArtJog. Logo inilah yang teryata menjadi tempat kerja saya selama satu tahun belakangan. Singkat cerita, ibarat bertahun-tahun tidak punya tempat untuk mengadu, akhirnya ada satu lembaga yang bisa menjadi tempat pelaku kreatif untuk mengadukan nasibnya, memberi saran, menyampaikan kritik, atau minta bantuan. Ada banyak hal, tidak bisa saya ceritakan satu per satu, pun saya malas sekali menjelaskan tentang opini pribadi saya mengenai instansi ini, juga hal-hal lain di baliknya.
Ketika menilik program pembangunan ekosistem kreatif di Indonesia, saya sering bertanya-tanya kenapa getol sekali untuk mengkomodifikasi ‘budaya’ atau memaksa budaya lama tidak berkembang dengan narasi ‘melestarikan budaya’ hanya untuk menjualnya ke negara asing?
Ini hal yang sangat dekat dengan hal-hal yang saya kerjakan sekarang, juga kuliah-kuliah saya sebelumnya. Saya kerap kali mendengar bahwa orang dengan bangga menyampaikan bahwa ada kelompok/komunitas yang terus melestarikan budaya setempat, lantas berusaha untuk mempopulerkan budaya tersebut sebagai destinasi wisata, atau sesuatu yang bisa dijual. Ke belakang, ketika orang mulai lelah melakukannya karena tidak betul-beul memahami kenapa ritual atau praktik budaya tersebut dipraktikan, teralienasi dari makna sesungguhnya, praktik budaya hanya merupakan kebiasaan.
Bali tampak luar biasa di mata banyak orang. Saya juga berpikir demikian. Tapi saya belum pernah ke Bali. Belum pernah ngobrol dengan mereka dalam hubungannya dengan pariwisata. Saya merasa barangkali mereka baik-baik saja karena praktik budaya yang dijual adalah apa yang sehari-hari mereka praktikkan. Keduanya tidak saling meniadakan, hanya mengisi relasi yang ada saja antara pengunjung dan masyarakat tempatan. Tapi akan sangat berbeda jika ‘ide’ soal pariwisata model Bali diterapkan di daerah yang sudah tidak lagi memiliki praktik budaya yang serupa, atau yang sesuai dengan istilah ‘budaya’.
Jadi ketika melihat bisnis anime Jepang, saya kepikiran bahwa negara semacam Jepang dengan praktik budaya yang ketat dan seolah tidak tersentuh, memiliki hal lain yang jauh lebih layak jual. Tidak memaksakan bahwa komik atau anime Jepang harus merepresentasikan ‘budaya’ Jepang, pun tradisi Jepang. Mereka tidak harus pakai kimono dan ibadah di kuil. Toh tetap mendapat devisa.
Pendapat ini tidak saya isi dengan data yang cukup, saya paham. Saya malas betul mengubek-ubek google atau situs tertentu untuk mencari statistik tertentu tentang sesuatu yang sebetulnya maknanya hanya sebatas grafik semata. Saya kepikiran dengan masyarakat di daerah yang dianggap memiliki budaya yang bisa dijadikan atraksi wisata atau sebagai tujuan wisata. Naif sekali. Saya tetap lebih setuju untuk memilih hal lain yang tidak menganggu hidup masyarakat pun jika hal itu harus menjadi komoditas wisata.
Korea bahkan melakukan hal yang sama saya kira. Mereka tidak memaksanakan budaya Korea dalam bermusik masuk merasuk ke industri musik mereka, ke boyband dan setiap hari tampil dan memiliki fans jutaan. Yang penyanyi-penyanyi lakukan pun tetap disebut sebagai budaya. Ketika mendengar lagu gubahannya, kita akan langsung tahu bahwa ini ‘Korea sekali’. Di saat yang bersamaan budaya lama Korea tetap dipratikkan oleh sebagian orang.
Lagi-lagi ini opini. Baik Jepang maupun Korea, saya belum pernah ke sana. Saya hanya berpikir bahwa menarik sekali jika pemikiran kreatif masyarakat Indonesia tidak dibatasi oleh istilah ‘sesuai dengan budaya setempat’. Budaya yang mana? Kapan? Sementara budaya itu tidak ajeg, istilah itu otomatis menjadi invalid jika memiliki pakem yang tidak berubah.
Kulkas
Pokok bahasan kedua soal salah satu materi kuliah saya tahun lalu. Waktu itu Pak Kumis memberi satu kuliah tentang perkembangan kebudayaan. Menurutnya, salah satu temuan paling mengubah gaya hidup adalah kulkas. Saya ceritakan kenapa, meskipun saya lupa-lupa ingat.
Saya sering membeli bahan makanan, dan cenderung kesulitan menghabiskan sayur mayur karena bahan yang dijual dipaket dalam bundelan standar tokonya. Jadilah saya harus berbagi dengan tetangga kamar atau memaksa diri menghabiskan dalam 1-2 hari sebelum membusuk.
Persoalan ini muncul karena mindset kulkas. Penemuan kulkas mengubah gaya konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya jangka pendek ke konsumsi jangka panjang. Ketika punya kulkas, kita merasa aman membeli lebih banyak bahan makanan karena ada alat untuk mengawetkan. Tapi habit itu bertahan, bahkan di hari-hari kemudian, karena ukuran barang yang harus dibeli kemudian menjadi ajeg.
Dalam praktiknya, terkadang lebih banyak bahan makanan yang tidak terolah untuk terpaksa dibuang. Tapi hal itu tidak mengubah gaya konsumsi, kita lagi-lagi akan membeli dalam jumlah yang sama. Tentu karena punya kulkas untuk mengawetkan makanan.
Saya ingat betul, ketika masih kecil, saya selalu membeli bahan makanan untuk satu hari itu saja, juga mengambil makanan dari kebun hanya untuk hari yang sama. Beberapa yang tidak seperti bumbu masak, bawang merah, bawang putih, cenderung bertahan lebih lama, tapi alakadarnya. Kita menggunakan pengawetan alami dan tertib dengannya. Untuk daging yang berlebih misalnya, kita bisa mengasapi atau membuat dendeng, digarami, diungkep. Tapi yak, saya sendiri setiap hari kesulitan mengatur bahan makanan agar tidak sampai busuk sebelum dimasak.
Begitu kira-kira tulisan ini. Saya akhiri saja. Semoga tetap berkenan. Tanpa bermaksud menebar kenegatifan diri atau kepasrahan, semoga tahun ini berjalan cukup lancar, atau setidaknya memberikan kita pilihan-pilihan yang menarik, juga kesempatan untuk berimprovisasi dan berkembang lebih baik lagi.
Tabik.
wordsflow