WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Fictions

Anime Vibes and Everything Behind


“Kok kamu bisa gambar sih?”

Pertanyaan itu beberapa kali disampaikan teman-teman saya ketika mendapati karya saya atau melihat saya sedang menggoreskan pensil di atas kertas. Tidak bisa disangkal, kehidupan perkomikan saya di masa SMP lah yang membawa saya menjadi diri saya hari ini. Mungkin hal itu juga yang membuat saya memberikan ruang tersendiri kepada pengarang-pengarang komik kesukaan saya, cerita-cerita kesukaan saya, hingga akhirnya saya mengenal anime.

Ada komik seri yang sangat saya sukai, dan tidak banyak saya kira yang mengikuti komik ini. Judul komiknya Q.E.D., dan dibandingkan Conan yang kala itu sangat populer, dia jauh lebih sedikit penggemarnya. Sebagai komik yang juga mengangkat tema detektif, maka ia tenggelam di bawah bayang-bayang popularitas Conan. Tapi, mari saya ceritakan mengapa saya katakan itu komik yang paling mempengaruhi hidup saya.

*Date by RADWIMPS is playing*

Saya suka hitung-menghitung sejak kecil. Saya agak lupa bagaimana bisa saya bertemu Q.E.D., tapi kalau tidak salah ingat saya melihat deretan komik itu di tempat peminjaman komik di depan SMP saya. Berbeda dengan Conan, Q.E.D. tidak sekedar menawarkan cerita detektif yang sulit dipecahkan, namun juga ilmu pengetahuan, terutama matematika dan astronomi. Saya mengenal rumus Euler dari sana, mampu menghafal bilangan phi juga dari sana, tahu lubang hitam bahkan dari sana, memahami geometri, dedekind cut, menghitung bilangan prima, atau berbagai urusan lainnya yang berhubungan dengan matematika, praktis saya pelajari dari komik itu. Pun, saya pernah meletakkan impian kuliah saya di MIT karena komik itu. Menelusuri tragedi penyihir Salem juga saya ketahui dari komik itu.

Secara keseluruhan, bisa dibilang komik itulah yang menjadi penunjuk jalan saya selama jenjang SMP hingga pertengahan SMA. Hingga akhirnya Motohiro Katou ini menulis komik yang juga bertema detektif dengan tokoh yang berbeda dan dengan latar penceritaan yang berbeda, C.M.B. Sekali lagi Motohiro Katou berhasil mengubah saya dengan manawarkan komik detektif berlatar arkeologi. Saya kurang tahu seberapa besar popularitas kedua komik ini, yang jelas keduanya mengubah hidup saya dan cara pandang saya.

Saya ingat pernah bertengkar dengan ibu saya karena membaca komik menjadi hal yang menyita waktu luang saya ketika SMP. Ibu saya kala itu menganggap bahwa komik tidak membawa pengaruh apapun dalam hidup, bahkan tidak memberi manfaat dan malah memberikan kerugian. Tentu saja saya marah dengan pernyataan itu, karena sungguh, saya belajar sangat banyak karena berteman akrab dengan dunia perkomikan di kala itu.

Pun begitu dengan menggambar. Saya mempelajari geometri dari komik, dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan saya menggambar karena berharap bisa membuat komik sendiri. Bahkan, ke-Jepang-an itu muncul dan saya pegang teguh hingga masa akhir SMA saya ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kesempatan beasiswa ke Jepang. Sayang sekali dua kali mendaftar saya tidak diterima. Pun demikian dengan cita-cita saya masuk MIT menjadi hal yang begitu jauh ketika saya menyadari bahwa kampus impian saya itu mustahil sekali saya masuki. Lebih-lebih ketika saya tahu dari film A Beautiful Mind bagaimana MIT itu sebetulnya. Tetap saja, saya masih terkagum-kagum menyadari bahwa saya pernah sungguh bermimpi bisa masuk ke kampus itu.

Lebih dari itu, hingga hari ini saya masih menikmati berbagai judul komik yang saya ikuti sejak SMP. Banyak yang masih terus saya baca meskipun saya sudah hafal betul dengan dialog yang ada di dalamnya. Kadang ketika saya ingat bahwa saya ternyata belajar banyak dari komik, saya sadar bahwa mungkin pendidikan bukan hal yang sungguh-sungguh memacu saya untuk melakukan hal-hal di hidup saya. Bisa jadi motivasi itu memang sangat sederhana. Bahkan tidak pula datang dari keinginan untuk membahagiakan keluarga.

Lalu SMA, saya bertemu dengan Ghibli, yang juga mengubah hidup saya. Mungkin memang saya cenderung lebih suka film kartun atau anime dibandingkan dengan film-film Hollywood. Entah mengapa. Saya pun menghabiskan semua film Ghibli selama masa SMA saya dengan mengobrak-abrik tempat DVD bajakan setiap hari Minggu untuk mencari film-film itu. Saya ingat pernah juga berramai-ramai menghabiskan seri Code Geass dengan kerumitan politiknya.

Lalu, di pertengahan kelas 2 SMA, seorang senior cowok saya, tiba-tiba mempopulerkan anime 5 cm per Second. Sebuah anime yang berisi 3 cerita mengenai satu orang tokoh utama. Yang luar biasa adalah, judul itu tidak hanya dibuat anime-nya saja, namun juga ada komik dan novelnya. Sebagai seorang yang doyan anime, yang saya dan teman-teman kritisi waktu itu adalah kemampuan Makoto Shinkai dalam mengolah anime yang dia buat. Kabar-kabari dari senior-senior saya, itu adalah one man project-nya Makoto Shinkai. Saya tidak pernah mencari tahu soal ini, karena saya hanya peduli betapa keren yang ia kerjakan dengan anime itu.

Hayao Miyazaki dan Makoto Shinkai kemudian menjadi dua orang yang saya kagumi di dunia per-anime-an. Sementara anime seri lain yang populer bahkan tidak pernah saya tonton, meskipun sangat ingin memahami ceritanya, misalnya saja One Piece atau Samurai X. Yah, sejauh yang bisa saya ingat, hanya Code Geass dan Death Note yang saya tonton dari episode 1 hingga episode terakhirnya dengan khidmat.

Jepang, menjadi negara impian saya sejak SMP, dan saya pikir kegagalan saya mendapat beasiswa ke negara itu adalah akhir dari impian saya bertandang ke Jepang sebagai seorang mahasiswa. Bagaimanapun waktu tidak dapat diulang, saya akan terus bertambah tua kan. Demikian, angan-angan untuk datang ke Jepang tidak lagi membawa semangat menggebu-gebu seorang pelajar seperti saat saya masih SMP atau SMA dulu.

Meskipun demikian, entah karena alasan apa, suatu hari saya mencari secara iseng di Youtube tentang ‘8 Anime yang wajib kamu tonton’. Beruntung sekali karena daftar saya yang terakhir saya selesaikan kemarin ketika film Koe no Katachi bisa ditonton secara streaming. Meski setelah itu saya menambah daftar anime wajib lagi hingga jumlahnya menjadi 100, hehe.

Inti dari cerita ini apa?

Nggak ada, saya hanya mau cerita tentang hal lain yang sangat mempengaruhi hidup saya melebihi yang saya pikirkan sebelumnya. Ternyata saya pernah berpegangan pada impian-impian besar, bukan melulu pada perasaan terhadap seseorang. Mungkin tulisan ini juga efek saya maraton anime kemarin siang, mengulang Kimi no Na Wa. dan Hotarubi no Mori e. Padahal anime, tapi saya selalu berhasil tersentil dengan sangat dalam oleh mereka, sial.

*Nan Demonai Ya is playing in background*

Dan, lagi-lagi anime tidak bisa dipisahkan dari soundtracknya. Begitulah yang kemudian membuat saya berulang kali memutar lagu-lagu Joe Hisaishi, Cecile Corbel, dan akhirnya RADWIMPS. Anime vibes ini tidak juga berakhir. Jadi, mari tenggelam semakin dalam.

wordsflow

*

Akhirnya saya menulis lagi, hahahahaha. Sudah lama saya ingin mereview hal-hal yang saya suka. Anggap saja saya sedang memberi review Q.E.D. Sungguh, komik itu sangat layak untuk dikoleksi.

tentang kematian (v): Rasa


Ada sebuah adegan yang begitu ia ingat ketika menonton tayangan TV kala itu. Dalam filmnya yang entah apa judulnya, Nirina Zubir memperagakan bagaimana ia mencoba adegan memakan cabai tanpa merasa pedas seolah itu adalah cemilan yang telah biasa ia makan. Maka ia pun mencobanya, dan memang rasanya hambar saja.

Dalam benaknya, banyak hal yang menari-nari tak karuan, seolah mimpi yang selama ini menghantuinya muncul ke permukaan kesadarannya.

Apa yang lebih sakit dari hati yang telah dihancurkan? Apa yang lebih menyesakkan dari menemukan diri tidak mampu merasai kembali?

Segalanya telah hilang, segalanya telah dihancurkan oleh Kehendak, oleh waktu. Seolah tak ada yang ingin bekerjasama dengan dirinya, seolah semua yang ia lakukan tidak akan membawa hasil kepada apapun. Nihil. Semua kosong. Dan kematian selalu tampak begitu menggiurkan untuk ditempuh.

“Apakah mati semenggoda itu hingga kamu begitu ingin?” tanya Baik di dalam dirinya.

“Tidakkah kau lihat, betapa indah kematian itu? Itu adalah sebuah kepastian yang niscaya. Begitu dingin, begitu tenang, begitu hening, begitu anggun, begitu teduh,” jawabnya tanpa berhenti mengambil cabai dan mengunyahnya dalam bisu yang tak ia pahami sendiri.

“Apakah dunia ini begitu buruknya hingga kematian menjadi jauh lebih mudah diterima?” sekali lagi Sang Baik bertanya dengan gaduhnya.

“Dua hari lalu aku terbangun dan menyadari bahwa laki-lakiku tidak mencintaiku. Ibuku bunuh diri karena ayahku berselingkuh. Dia bahkan tidak bersedih di pemakaman ibuku, dan tidak pula ia mau mengakui perselingkuhannya. Adikku yang paling kecil gila kerena ayahku, sedang adikku yang lain kabur dari rumah ini. Kebaikan apa lagi yang bisa ditawarkan oleh dunia ini?”

Baik dirinya maupun Sang Baik terdiam memandang dinding kosong. Ruangan itu gelap, namun ada sebuah celah kecil di antara gorden yang ia biarkan sedikit terbuka. Cahaya yang masuk dari celah kecil itu begitu kontras sehingga menyakitkan mata. Tidak ada suara apapun di ruangan itu, kecuali detak jam dinding, dan suara mengunyah yang sangat pelan. Sayup-sayup suara radio juga terdengar dari pos ronda di ujung jalan, juga gelak tawa kecil dari keluarga bahagia sejauh 10 meter dari rumahnya.

Baginya sudah tidak ada lagi guna Jahat dan Baik di dalam dirinya. Telah lama ia melebur dengan Jahat itu sendiri, berharap bahwa ia akan segera mampu menghabus Baik dari dalam dirinya dan menetapkan diri untuk mati. Ia tidak peduli akan perkataan Heidegger tentang kematian, baginya, itu telah menjadi keputusan final.

“Tidak ada yang bisa menetapkan kematian seseorang,” Sang Baik mencoba sekali lagi.

“Tidak. Tapi tidak ada pula yang bisa memastikan kebahagiaan,” balasnya ketus.

Hari itu ia telah memastikan, bahwa begitu sinar terakhir hilang, maka ia akan bunuh diri. Memastikan bahwa tidak akan ada lagi yang merasa kehilangan, atau tidak akan ada rasa yang tertinggal untuknya. Biarkan saja ia mati di rumah itu seorang diri; begitu dingin, begitu tenang, begitu hening, begitu anggun, begitu teduh. Membayangkan kematian tidak lagi menakutkan untuknya, ia tampak bagaikan masa depan yang jauh lebih menjanjikan.

“Apa yang membuatmu yakin mati akan lebih baik?”

“Sebagaimana aku akan bertanya kepadamu apa yang membuatmu yakin tetap hidup akan lebih baik. Baik itu relatif dari mana kau melihatnya.”

“Justru karena itu, jangan mengambil keputusan dengan gegabah. Waktumu masih panjang. Kau bahkan belum 25 tahun.”

“Tak masalah. Aku akan hidup lagi. Lalu mati lagi. Hidup dan mati hanya perkara repetisi.”

Semburat jingga mulai terlihat, menandakan hari akan menuju penghabisannya. Matanya masih menatap kosong pada celah gorden yang sedikit terbuka.

Baginya, tidak ada lagi hal yang patut untuk diperjuangkan. Semua orang bahkan seolah bersatu untuk menghancurkan hidupnya. Ayahnya pergi dengan perempuan lain, hanya berselang beberapa minggu setelah kematian ibunya. Adiknya di rumah sakit jiwa, sementara adik yang lain memilih kabur dari rumah dan tidak ada tanda-tanda akan kembali. Laki-laki yang diharapkannya untuk mendampingi hidupnya tak pelak hanya menginginkan tubuhnya. Bagaikan terbuang sia-sia, hanya benda tanpa jiwa. Hanya objek tak bernyawa. Segalanya tampak begitu brengsek di matanya. Seolah segala sesuatu bersekongkol untuk menggilasnya.

“Seharusnya aku minta untuk tidak pernah dilahirkan di dunia ini,” gumamnya, seberkas air mata menggenang di matanya.

Ia tidak pernah ingat kapan meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan pada suatu keluarga yang demikian. Kapan ia meminta sebuah tubuh yang demikian. Kapan ia menuliskan keinginan untuk hidup dengan cara yang demikian. Ia tidak pernah minta apapun, bahkan doa pun ia lupakan. Ia menerima begitu saja hingga semuanya begitu menyesakkannya, hingga ia merasa kehilangan segala rasa yang pernah begitu ia nikmati begitu dalam dan pekat.

Ke mana jiwa yang begitu tangguh dan teguh dalam menempuh hidup itu? Baginya ia telah mati sejak ibunya bunuh diri.

Tetes pertama air matanya tumpah begitu saja. Pandangannya kabur dalam bulir-bulir besar air mata yang begitu panas. Kala itu, ia tersedak begitu keras, merasakan bagaimana panas membakar tenggorokannya, perutnya, menggilas keseluruhan syaraf perasanya. Baru sekali itu ia merasakan hidup yang begitu hidup, seolah setiap ujung tubuhnya merespon segala yang terjadi padanya. Seolah seluruh tubuhnya bekerja sama untuk memintanya tinggal di dunia, untuk memintanya menghentikan perangnya dengan Hidup dan memilih Mati sebagai imamnya.

Sang Baik tak mampu melakukan apapun ketika gadis itu meraung-raung dalam tangis yang begitu dalam dan pekat, dalam gelap yang temaram karena secercah cahaya dari sela antara gorden yang terbuka. Menurutnya, begitu saja ia mampu memenangkan pertarungannya dengan si gadis. Celah gorden itu, seperti sebuah kesempatan kedua untuk hidup. Bahwa di antara gelap yang begitu pekat, ada cahaya yang masih harus menyala agar ia tahu ke mana harus berjalan, terduduk, atau bersimpuh.

Maka ia biarkan si gadis terus berurai air mata hingga mungkin tandas tiada bekas. Memeluknya dalam harap yang begitu besar, bahwa kehilangan dan kesedihan akan membawanya kembali pada rasa dalam segala rupa.

wordsflow

 

catatan:

Meski seolah cerita mustahil merupakan sebuah kenyataan, namun saya menyaksikan bahwa cerita-cerita ini nyata adanya. Jika tidak, saya tidak akan mampu menceritakannya, atau merenungkannya dengan cara demikian. Sebagaimana Baik dan Jahat selalu bertarung di dalam diri, Gelap dan Terang (akan hidup) juga berkelindan membentuk sesuatu yang kita sebut sebagai dinamika.

Dalam dunia yang tidak kita tahu ini, kita memilih untuk merayakannya dengan beragam cara, hingga sadar kemudian kematian hanya sejarak kedipan mata saja.

tentang kematian (iv): Pagi


Bukan, namanya adalah Maharani.

Gadis itu tidak tinggi, namun setidaknya tangannya masih dapat menggapai kunci atas pintu rumahnya. Penampilannya selalu sederhana, dan begitu pun ia tetap cantik, menarik, dan bahkan membuat banyak laki-laki tak mampu berpaling. Itu bukan birahi, tapi sungguh kau harus melihat sendiri gadis itu untuk mampu paham bagaimana ia mampu membuat setiap laki-laki bersusah payah memperbaiki diri.

Ia punya dua nama panggilan, Hara atau Maharani. Selain dengan nama itu ia tidak akan pernah mau menoleh, karena menurutnya hanya dua panggilan itu yang identik dengannya. Bagaimanapun, sebenarnya ia punya nama kecil; Pagi.

Aku tidak pernah menjadi Maharani–ah, aku lebih suka memanggilnya Hara, maka begitu pula yang bisa aku ceritakan hanya hal-hal yang berhubungan dengan aku dan Hara. Penggal cerita ini juga, tidak lepas dari kebetulan yang ada ketika aku dan Hara sama-sama duduk di peron stasiun sembari menunggu pagi.

Ketika itu aku bermaksud melakukan perjalanan seorang diri ke Bogor, sebuah perjalanan kecil mengarungi kota yang padat. Keretaku berhenti di Stasiun Senen pukul 1 dini hari, dan dalam kesendirian itu aku bertemu dengan Hara. Wajahnya yang bening begitu saja mampu mengalihkan perhatianku. Aku berhenti sejenak sebelum akhirnya meneruskan membeli secangkir kopi dan roti di sebuah gerai waralaba. Malam itu, aku bermaksud untuk menghabiskan malam dengan membaca buku yang sengaja aku bawa untuk menemani perjalanan.

Ketika itulah aku terpaku menatap Hara, yang juga sedang melihat ke arahku. Matanya tersenyum dalam gelap itu, dan entah apa yang membuatku tergerak, aku menuju ke arahnya.

“Hai,” sapaku, memberi isyarat untuk duduk di sampingnya. Dengan gesit ia memindahkan tasnya ke bawah kakinya, dan tersenyum. Ah, andai aku seorang laki-laki kukira aku akan menulis dengan cara ini; hari ini adalah hari di mana aku menemukan tatap mata yang ingin kulihat setiap pagi sepanjang sisa hidupku. Sayang, aku masih normal untuk menyukai laki-laki saja.

“Suka kopi?” itu kalimat sapanya kepadaku. Aku tergelak kecil, tidak menyangka ia akan mengajukan pertanyaan itu.

“Iya. Aku bisa minum kopi lebih sering dari minum air putih,” jawabku menjelaskan.

“Bentukmu seolah ingin kabur dari kenyataan,” katanya lagi, lebih mengagetkanku.

“Ha?” aku celingukan mencoba menata diri, “Oh, ini aku mau jalan-jalan ke Bogor. Sengaja bawa barang seadanya aja. Besok juga udah balik ke Jogja lagi sih. Hehe. Kamu sendiri?” Tanyaku sembari duduk lebih dekat dengannya. Dari jarak itu aku bisa mencium wangi tubuhnya yang sederhana. Malam itu bahkan ia hanya mengenakan selembar kaos lengan panjang, kerudung abu-abu, dan celana jeans biru gelap.

“Hemm, istilahnya, kabur dari masa lalu,” jawabnya nyengir seolah menegaskan guraunya. “Tapi sungguh, aku kabur dari orang-orang yang mencintaiku,” lanjutnya. Kali ini serius.

Kalimat-kalimat awal ini lah yang membuatku semakin terhanyut dengan pesona Maharani. Ada keteguhan aneh yang ia simpan dalam hati, seolah seluruh hidupnya adalah rahasia, meski secara sepotong-sepotong ia mencoba menjelaskan kontradiksi-kontradiksi dalam hidupnya.

Belakangan, ketika jam telah menunjukkan pukul 2.30 dini hari, cerita kami telah memasuki bagian yang paling penting dari Hara.

“Aku terlalu lelah untuk menerima begitu banyak orang yang mendaku mencintaiku. Tidak pula mereka mau bertanya seperti apa cinta yang aku bayangkan seorang diri,” katanya menerawang.

“Apakah dicintai itu menakutkan?” Bagiku, pertanyaan itu terlampau sulit untuk aku jawab seorang diri. Seluruh pengalamanku adalah seputar mencintai, tapi aku bahkan tidak mampu merasakan bagaimanakah menjadi seorang yang dicintai.

“Lebih tidak menyenangkan karena kau tidak punya pilihan kecuali menyakiti, atau menerima.” Aku mendengarkan dengan takzim. “Aku melakukannya kepada banyak orang di hidupku yang telah lampau; menerima hanya sebuah cinta, lantas mencampakkan sisanya. Rasanya begitu menyakitkan,” lanjutnya.

“Apakah, kau memiliki cinta yang kau harapkan sendiri?” tanyaku kepadanya.

“Apa kau pernah tahu cerita tentang Putri Kaguya? Ah, Ghibli membuatnya dengan baik, dan aku terus menerus memikirkan itu. Kupikir, setiap perempuan memiliki impian yang sederhana saja, tentu punya keluarga kecil yang bahagia dan bisa hidup dengan tenang seumur hidupnya. Tapi tentu saja, manusia di hari ini tidak sekedar dihadapkan pada perkara itu, kau tahu? Setiap hal mendapat kualifikasinya sendiri-sendiri, setiap orang menerapkan standarnya sendiri, dan terutama yang paling mengerikan untuk perempuan adalah, setiap perempuan mendamba sebuah standar kecantikan yang juga diamini laki-laki di dunia ini. Aku bisa mengatakan itu karena aku adalah bagian dari generasi itu.

“Bagian yang paling aku sesalkan adalah, baik aku, kamu, atau mungkin manusia-manusia yang berusaha melawan segala hal itu, akhirnya akan harus terperangkap pula pada cara pandang manusia lain yang kita temui. Pada akhirnya, orang-orang yang kita kagumi pun, sebenarnya kita sakiti. Orang yang kita anggap sedang kita cintai pun, sebenarnya sedang kita sakiti,” lanjutnya.

Kali ini aku harus merasa kagum pada Hara. Sepertinya ada sesuatu yang begitu dalam ia pikirkan, entah tentang dirinya atau bahkan manusia-manusia di kehidupannya. Bagaimana pun, perempuan ini masih begitu misterius dan aku semakin yakin harus menjadikannya tidak sekedar sebagai seorang kenalan yang bertemu di stasiun.

“Ceritakan sedikit tentangmu,” katanya. Senyumnya begitu menawan.

“Kupikir tidak ada hal khusus yang bisa aku tukar dengan ceritamu,” jawabku nyengir.

“Dusta. Adalah sebuah hal yang luar biasa menemukan gadis yang belum juga genap 22 tahun berkelana seorang diri sejauh ini. Hanya demi sebuah kota yang tak seberapa besar,” sergahnya.

Maka aku bercerita tentang kegelisahan yang sama perihal perempuan. Ketika gadis sepertiku berkelana seorang diri, tidak berpenampilan sebagaimana masyarakat memberikan standar dan bagaimana lingkungan sosial menuntut, kita seolah sedang turut andil untuk memerangkap diri pula. Kadang begitu marah untuk mampu melawan. Toh pada kenyataannya, selalu ada Sang Kehendak yang bekerja tanpa pernah meminta kerja sama.

Cukup lama kami membicarakan perihal perempuan. Mencoba saling bertukar pikiran, antara seorang perempuan yang dikelilingi oleh manusia-manusia yang mengaku mencintainya, dan seorang perempuan sepertiku yang bahkan belum mampu paham bagaimana dicintai itu bentuknya. Dia begitu terbuka dengan setiap pendapat, terutama yang berhubungan dengan topik yang kami bicarakan.

Hingga, ketika hari menjelang subuh, Hara mendongengkan kepadaku kisah hidupnya.

“Aku membenci laki-laki yang mengganggap perempuan itu harus lemah lembut–ah bukan, maksudku harus tak berdaya. Seolah menjadi kuat adalah sebuah kesalahan. Mereka salah. Aku telah menerima kekerasan sejak aku masih kecil kukira. Di luar sana banyak orang jahat,” ucapnya tersenyum getir kepadaku. “Begitu kejamnya hingga aku berkeinginan untuk merusak diri sendiri. Agar aku tidak lagi menjadi ‘cantik’ seperti yang mereka katakan.

“Berkali-kali aku dikecewakan oleh banyak laki-laki. Mereka datang dengan senyum, dengan cinta, tapi meminta belas kasih atas rasa itu. Meminta paksa kepadaku untuk memberikan yang mereka minta. Maka kukatakan bahwa setiap cinta selalu menciptakan luka. Kadang bahkan, luka itu terlampau berat untuk diterima, hingga seseorang menjadi begitu kejam pada yang mereka cintai. Hal-hal semacam ini, meskipun tampaknya hanya gurauan, tapi nyata dirasakan banyak orang.”

“Dan kamu mengalaminya?” tanyaku secara otomatis. Tentu saja aku telah tahu jawabannya.

“Pada gilirannya, orang yang tidak mampu memahami kapasitas dirinya, akan meledak dan melukai lebih banyak orang. Yang begitu, kadang harus dihilangkan.”

“Maksudnya gimana sih? Dibunuh?”

“Hahaha, kamu kasar sekali. Tapi yah, begitu mungkin kira-kira.”

Aku terdiam sejenak, memandang jauh menerawang ke langit yang telah mulai terang. Subuh sudah semakin dekat kukira, dan sebentar lagi akan ada komuter pertama ke Bogor.

“Ah, orang yang kutunggu telah tiba. Selamat berpisah, akan kukunjungi kamu kapan-kapan,” katanya tiba-tiba.

Dan aku terbelalak melihatnya terbang, melayang ke depanku dan berubah transparan. Ia tersenyum, cantik. Bahkan aku tidak berteriak karena hal itu, seolah hal itu bukan pertama kali aku lihat dalam hidup. Tanpa mampu membalas kalimatnya, ia menghilang begitu saja di langit yang semakin terang.

Aku tersadar beberapa saat kemudian, dan mencoba meyakinkan, aku menoleh ke samping melihat tas yang sempat ia pindahkan. Tapi tidak ada apa-apa di sana, tidak ada bekas jejak apapun. Aku mencubit tanganku. Sakit. Aku ngucek mataku, menengok ke arah jam, pukul 05.12. Aku menoleh ke kanan-kiri, semua orang tampak berkegiatan normal. Meski tergagap, aku tetap tidak mencoba menyangkal bahwa aku baru saja mengobrol dengan hantu. Sejak hari itu aku lebih suka memanggilnya ‘Pagi’.

Hingga hari ini aku tidak pernah tahu siapa yang ia tunggu waktu itu, seolah yakin aku akan bertemu dengannya lagi, aku menyusun begitu banyak pertanyaan untuk ditanyakan kepada si cantik Maharani.

wordsflow

 

catatan:

Begitu absurdnya sebuah cerita dimulai dan diakhiri, seperti yang satu ini, atau yang sebelumnya, bahkan mungkin yang akan datang. Tapi terima kasih sudah membaca.

tentang kematian (iii): Senja


Sore itu hari tidak hujan, begitu berbeda dengan hari-hari di sepanjang 21 hari di bulan itu. Ada apa gerangan?

Gadis muda itu tidak menemukan ada yang berbeda dari hari-harinya. Hari itu ia tidak sedang merayakan sesuatu, atau tidak ada pula hal luar biasa yang terjadi terhadapnya. Ia telusuri kamarnya sedetil mungkin, sembari menunggu penghabisan hari untuk sekedar menikmati semburat senja yang sudah lama ia rindukan.

Kali terakhir ia menemukan senja adalah jalan-jalannya ke ujung atas bumi. Sebuah perjalanan kontemplatif dia bilang, seorang diri mendaki bumi untuk melakukan refleksi. Itu hari terakhir musim panas ia duga. Umurnya telah lepas 27 tahun, dan ia semakin lama semakin paham bagaimana segala hal bekerja.

Baginya, ketinggian membuatnya selalu merasa nyaman, lebih nyaman dari yang mampu ia duga. Dari sana, ia bisa melihat segalanya dengan lebih bebas, dan segalanya juga tampak lebih luas dan tidak berbatas. Ia semakin merasa candu merasai betapa kecil dirinya, melayang seorang diri di angkasa yang tidak jelas juntrungannya. Menyatakan diri sebagai sebuah subjek penting yang berada tanpa tahu dari masa asalnya, melebur bersama tujuh milyar manusia lainnya di bumi yang tidak seberapa luas ini. Bahkan tempat itu telah terlampau sakit untuk dinyatakan layak huni.

Kemana lagi manusia bisa lari?

Sepulang mendaki itu, badai terus berlangsung selama 3 hari tanpa putus, dan ia menemukan dirinya hanya bisa mengurung diri di kamar, dan menghabiskan hari-hari dengan tidak melakukan apapun kecuali membaca buku dan menulis fabel. Cerita tentang manusia telah begitu memuakkan untuknya. Sementara begitu banyak orang yang berkeluh kesah, baginya semuanya tidak jauh berbeda. Adalah manusia-manusia yang butuh belas kasih dan kurang kasih sayang yang bisa bercerita tentang manusia juga. Melelahkan sekali. Satu hal itu, yang kemudian juga membuatnya enggan untuk menulis cerita tentang manusia, hidupnya sendiri belum juga usai ia ceritakan.

Hanya dalam tiga hari itu, sebuah kumpulan cerita gambar telah berhasil ia susun dengan baik. Dan di hari ketujuh hari hujan itu, naskahnya sudah siap ia kirim ke editornya. Mungkin dalam beberapa bulan ia akan melihat satu buku lain lagi yang terpampang namanya di sana, Atmosfera Diana.

Ponselnya bergetar di ujung meja, dan ia tidak merasa tergugah untuk segera menelusuri gawainya itu. Pikirannya kembali mengingat hari-hari hujan itu, dan mencoba menggali semakin dalam tentang hal-hal yang telah ia lupakan selama 21 hari belakangan. Sejauh ini belum ada yang ia temukan di ingatannya. Sampai hari ke tujuh tidak ada hal yang ia lupakan, semuanya rapih ia simpan di dalam ingatan.

Di hari ke delapan, ia membuka laptop untuk mencoba menulis kumpulan sajak. Sudah lama ia merangkai beberapa saja yang terus menerus ia hafal. Lebih sering ia melakukan itu dari pada membaca kitab sucinya. Saking hafalnya, ia hampir mampu selalu bisa menyanyikannya dalam nada yang sama, emosi yang sama, dan penggal yang sama pula. Entah hal apa yang membuatnya begitu yakin kumpulan sajaknya kali ini akan terbit sebagai best seller di salah satu penerbit. Bukankah akan menjadi gebrakan penting untuk dirinya yang tidak pernah menelurkan karya sastra itu?

Maka tuts itu kembali bernyanyi selama 7 hari yang lain. Bahkan kumpulan sajak yang tidak juga membutuhkan halaman yang lebih banyak dari fabelnya, ternyata membutuhkan waktu yang terlampau panjang, jauh lebih panjang dari yang ia duga. Tapi toh ia menikmatinya. Bayangan dirinya dalam cermin sering berkata bahwa semua hal yang membutuhkan waktu lebih lama terasa lebih manis dan indah, pun lengkap. Bukankah itu kedengaran menyenangkan di telinga?

Di tengah bulan itu, hujan yang petir terjadi begitu dasyatnya. Ia tidak tahu pasti, apakah hujan itu termasuk badai atau tidak, membahayakankah atau hanya fenomena biasa? Tapi dengan pasti ia keluar rumahnya dalam hujan itu, terlalu terpesona pada petir dibandingkan dengan ukuran hujan itu di mata petugas-petugas BMKG. Matanya mungkin cukup kesulitan menangkap citra petir jauh di atas sana, tapi ia berhasil mencuri beberapa momen petir yang paling fenomenal dalam hidupnya. Dilihatnya pohon jambu di depan rumahnya yang kecil bergoyang-goyang hebat, lalu roboh menimpa ujung rumahnya.

Ia bahkan hanya terdiam menyaksikan hal itu. Lebih karena dilihatnya atap kamarnya aman saja di tengah badai itu. Tidak ada ranting apapun yang membahayakan genting-genting di atas kamarnya. Maka ia justru semakin bahagia karena pohon jambu yang menghalangi pandangannya kini telah tumbang. Menyisakan pemandangan langit berpetir tanpa halangan apapun baginya. Senyumnya semakin lebar terus termenung di bawah hujan. Entah berapa lama ia terus melakukan itu hingga tersadar olehnya kuku tangannya berubah biru. Maka ia bergegas masuk dan menjarang air, berganti pakaian dan menyelimuti dirinya dengan selimut tebal. Dihabiskannya sore itu dengan menyesap teh sedikit demi sedikit hingga tandas. Diulangnya dua kali sebelum akhirnya ia ingat kamar tamunya kini pasti telah penuh air.

Tidak salah apa yang kemudian ia duga. Didapatinya kamar tamunya telah tergenang air setinggi 1 cm, melebar secara merata memenuhi ruangan. Hanya berhenti di depan kamar tamu karena ada karpet yang keburu menyerap seluruh air yang menyentuhnya. Ia bergegas membereskan kekacauan itu. Agak menyebalkan karena hujan itu tidak juga reda, dan ini sudah hari ke 14!!

Susah payah selama sisa hari setelahnya ia membereskan seluruh kekacauan di rumahnya itu. Pertama-tama ia mengeluarkan karpet basah itu di halaman belakang, tempatnya biasa menjemur pakaian, meski di hari lain ia sering pula menggelar karpet dan piknik makan siang di sana sembari memperhatikan ikan-ikannya yang tumbuh gendut nan gesit. Kursi-kursi kayu ia angkat ke pinggir, ditumpuk dalam satu tumpukan tinggi di sana. Lalu membuat saluran air ke arah luar rumahnya, dan karena lelah menyerbunya, ia meninggalkannya begitu saja dalam keadaan basah.

Tentu saja hari-hari setelahnya ia sibuk mencari genting yang masih baik di halaman belakang. Ayahnya yang baik itu pernah berpesan bahwa beliau meninggalkan beberapa buah genting kalau-kalau ada yang bocor. Pun alat-alat pertukangan yang ia koleksi sejak masih kuliah ia simpan bersama genting itu di gudang kecil di halaman belakang. Gudang itu terbuat dari jendela-jendela bekas, dan ditutup atap seng di bagian atasnya. Membuatnya tampak seperti akuarium, tapi berisi perkakas. Ia menemukan ide kecil itu ketika berkeliling di kompleks bangunan Belanda, lantas menemukan sebuah gudang kaca yang membuatnya ingin mencongkelnya dari bangunan utama hari itu juga.

Ia menemukan tumpukan genting itu, lantas mengangkutnya ke halaman depan dan menatanya dengan rapih di samping tembok. Ia harus membersihkan ranting dan pohon jambu yang tumbang. Maka seharian itu ia bahkan tidak sempat menyentuh genting yang patah berhamburan di atap, dan malah memotong-motong kayu, lantas memasukkannya ke dapur rumah, menatanya dengan rapi di atas tungku untuk diasapi.

Maka selama 5 hari setelahnya ia disibukkan dengan kegiatan membereskan, memotong, mengangkut, memanjat, dan menata buah-buah genting yang telah ia temukan di gudang belakang. Begitu puas dirinya menemukan rumahnya kembali bersih dan rapi seolah tidak ada yang terjadi. Satu-satunya hal yang janggal adalah halamannya yang koyak bekas bersemayamnya akar pohon jambu. Kini ia bagaikan kuburan yang baru saja dibongkar.

Sudah lama tidak ada yang berkunjung ke rumahnya. Terakhir kali ia ingat ada seorang lelaki paruh baya yang mengantar sebuah undangan ke rumahnya. Memintanya untuk datang ke pelaminannya. Lantas dalam cengiran cangung menanyakan kapan dirinya menikah.

“Menikah terlalu klasik untukku. Aku butuh yang lebih dari itu, sekaligus yang tidak semewah itu,” jawab si gadis dalam ketenangan patung giok. Sementara pikirannya terus berkecamuk meminta diri untuk melupakan segala hal tentang si pria paruh baya.

“Ah, aku lupa bahwa kau tak bisa diajak berbicara hal-hal yang terlampau biasa.”

“Adalah kau yang mengajarkanku untuk melupakan hal-hal semacam itu. Kalau begitu aku ganti jawabanku, aku akan menikah di senja pertama setelah hujan selama 21 hari. Aku tidak datang ke pernikahanmu, besok akan hujan,” katanya seraya menutup pintu.

Si lelaki paruh baya berdiam lama di sana, lantas melihat langit sejenak, dan berlalu pergi. Si gadis baru ingat penggal cerita itu, awal kutukan yang menyebabkan rumahnya diguyur hujan selama 19 hari tanpa putus. Dan itu artinya ia harus menikah di senja pertama setelah hujan selama 21 hari. Bukankah itu tiga hari lagi?

Ada yang aneh menurut si gadis, karena ia lupa apa yang ia kerjakan selama 3 hari sisanya. Meski sore itu ia kemudian ingat ia harus menikah. Tapi dengan siapa ia melakukannya? Persiapan apa yang telah ia lakukan?

“Aku menemukannya!” didengarnya seseorang berteriak di dalam kepalanya. Tapi dirinya sedang berada di kamarnya, di rumahnya yang hanya ia sendiri yang tinggal. “Aku menemukannya!” sekali lagi teriakan itu didengarnya. Suara lain silih berganti memenuhi kepalanya. Pandangannya menjadi kabur dan ia semakin sulit mengenali kamarnya. Tanpa tahu mengapa, semuanya menjadi gelap gulita. Ia bahkan tidak dapat melihat ujung hidungnya sendiri.

*

Si gadis kembali hilang ingatan, ketika akhirnya ia mampu melihat ujung hidungnya sekali lagi. Di sekitarnya terdengar begitu banyak orang bergumam, entah membicarakan apa. Diangkatnya sebelah tangannya, ia menemukan namanya masih sama; Atmosfera Diana. Itu artinya ia belum juga berreinkarnasi atau pindah ke dunia lain. Serbuan ingatan itu membanjirinya tiba-tiba.

Tentang semua barang yang ia persiapkan untuk pendakian terakhir kali sebelum ia menjadi istri orang lain. Sebuah pendakian kontemplatif yang lain di hari hujan ke 20, yang ia yakin akan bertahan hingga hari ke 21. Maka ia berkemas dan menuju ke gunung terdekat untuk mendaki seorang diri. Meski ia jarang membaca kitab suci, ada keyakinan aneh bahwa memperjuangkan doa akan membuatnya terkabul dengan mudah. Ia hanya berharap satu hal dari jalan-jalannya itu, bahwa esok hari sepulang pendakian senja akan kembali tiba, dan ada seseorang yang mengajaknya menikah.

Alangkah sederhana permintaan itu, sebuah doa kecil dari gadis yang hidup seorang diri.

“Ah, kamu sudah bangun! Kupikir kamu akan mati, sudah dua hari kami mencarimu dan betapa anehnya menemukanmu berlutut di puncak gunung dalam keadaan hampir mati!” seorang laki-laki paruh baya menyerbunya dengan kalimat itu.

“Mati tidak menakutkanku. Yang kutakutkan adalah mati tetapi mayatku tidak dikremasi.”

wordsflow

tentang kematian (ii): Hidup


Dan ia berdiri dengan penuh percaya diri di depan cermin kamarnya. Ia telusuri rasa lelahnya yang setiap hari menghiasi parasnya, seolah ada duka yang begitu dalam dan tidak terjelaskan, bahkan oleh dirinya sendiri. Dari mana rona lelah itu berasal? Dari mana semua kesedihan itu datang? Bagaimana bisa keduanya memilihnya untuk bersemayam?

Ia lelah dengan tubuhnya, meski ia begitu mencintai setiap lekuknya. Ia sudah sangat hafal bagian manapun dari tubuhnya. Dari benjolan kecil di kepalanya karena tertimpa kayu saat umur 5 tahun, hingga tahi lalat yang bersembunyi cantik di punggung bagian atasnya. Tubuhnya bukan lagi sebuah rahasia baginya, meski ia tentunya masih sulit memahami bagaimana sakit bermula, atau sebuah rasa tercipta. Semua terlampau sulit untuk dijelaskan.

Maka, ia terus menerus menelusuri hal-hal terlihat dari tubuhnya yang tidak seberapa indah itu, sembari mengutuki beberapa bagian jika hatinya sedang tidak nyaman, atau harinya terlampau buruk.

Setiap saat menjelang mandi, ia akan terus menerus memperhatikan setiap bagian tubuhnya, seolah dengan begitu dia akan menemukan hal baru di sana. Tapi sekonyong-konyong ia hanya menemukan paras yang semakin sendu, dan kerutan baru di wajahnya yang telah cukup tirus itu. Dahinya dihiasi oleh titik-titik keringat hasil yoganya di kamar sempit ukuran 2,5×3 meter itu. Meski kamarnya hanyalah kamar kecil tanpa ventilasi, dengan jumlah barang yang terlampau banyak, ia tetap menolak membeli sebuah kipas angin untuk kamarnya. Menurutnya kipas hanya membawa debu-debu beterbangan dengan liar, menciptakan badai mini di kamarnya.

Ia bergegas mengambil handuk, melilitkannya menutupi pinggang sementara bagian atas tubuhnya masih terbalut kaos, mengambil sabun, pasta gigi, dan sikat giginya, dan berlalu begitu saja membiarkan kamarnya tetap terbuka.

Kamar mandi selalu menjadi ruangan yang ia sukai, seolah di sanalah segalanya bermula dan terlahir kembali. Bahkan menurutnya, jika banyak orang membicarakan reinkarnasi dengan segala teorinya, mereka salah. Kamar mandilah yang menciptakan reinkarnasi bagi jiwa-jiwa yang terperangkap tubuh-tubuh kelelahan seperti dirinya. Rutinitasnya selalu sama; meletakkan peralatan mandi di bibir bak, menggantung handuk, membuka pakaian hingga tandas, dan menyalakan keran air. Suara itu sangat ia sukai, seolah dunia berhenti begitu suara keran menyergap telinganya.

Bersetubuh dengan air (begitu ia memberinya istilah), membuatnya selalu merasai hidup dengan begitu sederhana. Siapa lagi yang mampu menyetubuhi setiap lekuk tubuhmu semudah air melakukannya? Begitu ia berkata setiap kali bayangannya sendiri bertanya. Setiap guyurnya ia nikmati sebagai sensasi menelusuri diri sendiri yang kadang terlampau asing untuk dinyatakan sebagai ‘diri’. Sulit sekali menjelaskan apa itu tubuh, dan bagaimana cara merasai si tubuh sebagai bagian dan bukan bagian dari diri.

Telanjang dan sendiri, begitulah setiap orang dilemparkan ke dunia, dan berakhir pula di lubang kubur. Tidak ada yang lebih nyata dari pengalaman menyatakan diri dalam keadaan telanjang dan sendirian. Pengalaman itu membuatnya mampu berpikir dengan lebih jernih, tentang kesedihan, nasib buruk, takdir, cita-cita, keberuntungan, dan cinta kasih yang ia rasakan sepanjang perjalanan hidupnya. Seolah-olah kesemua itu menyerbunya menuju kesadaran akan hidup. Dan di sela-sela itu selalu ada air mengguyur, dan suara air yang saling beradu memcipta gemericik yang disukainya. Ah, alangkah sederhananya hidup, katanya, hanya sebatas makan, berkegiatan, tidur, dan mandi. Dan dengan mandi, begitulah manusia berreinkarnasi.

Favorit keduanya adalah memandang dirinya yang telanjang dan sendirian di hadapan cermin; menantang diri sendiri tanpa penutup, tanpa sekat, begitu saja tanpa apapun. Ia berpikir keras, bagaimana bisa tubuh itu menjadi mempesona? Bagaimana tubuh itu nantinya akan membahagiakan seorang laki-laki dalam hidupnya, menyimpan bakal bayinya, dan memberikan kehidupan untuk bayi-bayi itu, hingga nanti kematian merenggutnya dari dirinya sendiri. Aneh sekali karena memikirkan kematian sembari merasakan sentuhan jemarinya di perutnya, rasanya menggelitik, menelusur lehernya, pipinya, hidungnya, matanya. Ia berkedip, dan pantulan itu ikut berkedip. Ah, betapa sederhananya kesadaran akan hidup itu.

Ia ingat teman-teman lelakinya sering berkelakar tentang perempuan, seolah-olah perempuan adalah objek bodoh yang pantas dibicarakan begitu saja. Ia menjadi muak. Rasa muak itu dalam sekejap berubah menjadi kemarahan begitu ia mengingat rasa yang tak mampu ia tampik meski juga tak berjawab. Kenapa perempuan menjadi perempuan? Dan mengapa ia menjadi demikian? Ia lelah memandang parasnya yang selalu lelah, dan bahkan dalam raut bahagianya ada duka yang terselip dengan rapihnya.

“Kamu akan baik-baik saja,” begitu katanya pada cermin setiap kali ia bersedih hati. Bahkan meski ia tahu kalimat itu tidak akan mengubah apapun, ia tetap terus mengucapkannya bagai mantra.

Ia suka merawat dirinya. Mengoleskan cairan-cairan kental dan wangi ke lengan dan kakinya. Kadang ia ulas bibirnya dengan gincu merah muda yang menawan, sembari mengagumi bibirnya sendiri; bisa terjadi banyak hal dari tempat itu! Hanya matanya yang tak pernah mampu sungguh-sungguh ia tatap. Seolah ada yang berkata tentang betapa seringnya jiwa dan raga itu menipu dirinya sendiri, mencoba meracik harmoni namun selalu hanya menemukan diri terbelenggu tuntutan-tuntutan tak terjawab. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi. Demikian, ritual itu mengakhiri reinkarnasinya di hari itu.

Sekonyong-konyong, bagian yang ia sadari berikutnya adalah dirinya yang sedang berjalan seorang diri menenteng es kopi. Hari ini telah diputuskan olehnya untuk mencoba berbahagia. Telah lupa pula kapan ia bisa tersenyum kepada setiap orang yang ia temui di jalan. Baginya, waktu terlampau membingungkan untuk memberikan konteks pada hal-hal yang terjadi padanya.

Ia ingat ada seorang lelaki dalam hidupnya yang selalu ingin ia baca isi pikirannya. Belakangan ia sadar bahwa hal itu imajinasi belaka, karena bahkan terkadang ia tidak mampu menjelaskan dirinya sendiri. Bukankah menyedihkan sekali hal itu? Menemukan diri terus meratapi hal yang sudah ia sadari tiada berguna. Bahkan ketika bibirnya tersenyum begitu rupa pada sesiapa yang ia temui di bangku tongkrongannya siang itu, pikirannya masih melayang-layang pada laki-laki yang sama.

Satu momen itu, ia ingin terus hidup dan memastikan diri bahwa ia tidak akan terus menerus memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Bahwa dirinya yang sebenarnya telanjang dan sendiri itu mampu melangkah untuk terus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, tentu juga tentang mati.

Satu momen itu, menjadi keinginan terakhirnya ketika dirasai jantungnya berdetak begitu kencang hingga seolah bergaung di dalam kepalanya sendiri begitu keras. Detak yang begitu hanya berlangsung sebanyak tiga hitungan yang sangat pelan.

Detak pertama ia bertanya apa yang terjadi pada dirinya? Seketika menemukan jawaban bahwa benar sekali dugaannya, raga sama sekali bukan milik kita, karena kita hanyalah jiwa.

Detak keduanya, ia mengingat reinkarnasinya yang terakhir kali, menyesali diri bahwa ternyata itu akan menjadi kali terakhir reinkarnasinya. Seketika kesedihan melanda dirinya.

Detak ketiga, ia ingat pernah begitu bertanya-tanya tentang siapa yang akan menangisinya ketika kematian datang, yang mengantarnya hingga ke pemakaman, dan terkadang menjenguknya dalam kesendirian. Pilu itu semakin dalam ia rasakan, karena bahkan pertanyaan yang paling ingin ia temukan jawabannya itu pun tidak akan pernah ia tahu lagi.

Penghabisan detak itu, ia mengguratkan pilu yang dalam di parasnya yang telah lama lelah. Rebah bagai tertidur pulas di bawah pohon dengan sebuah buku masih di genggaman.

Setidaknya, kita kemudian tahu bahwa kematian sudah tidak lagi merupakan misteri bagi si gadis.

wordsflow