WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Life

a postcard.


Ingat betul terakhir kali berkirim surat serius di pertengahan kelas 2 SMA sewaktu kami masih terpisah provinsi. Kegiatan surat menyurat dan berkirim kartu ucapan praktis memasuki tahun ke empatnya hingga akhirnya surat terakhir tidak terbalas. Alih-alih karena merasa sudah tidak lagi menyenangkan untuk bersurat, waktu itu lebih karena terlalu banyak kesibukan yang berkaitan dengan sekolah dan segala kegiatannya.

Di tahun-tahun dewasa setelahnya, kegiatan bersurat sepertinya tidak lagi saya lakukan setelah pindah kembali ke Jogja. Pernah sekali dua kali menuliskan surat cinta pada orang lain, atau berkirim email pribadi non pekerjaan untuk beberapa orang. Tetapi lagi-lagi, selebihnya kegiatan surat menyurat saya sudahi begitu menginjak kuliah.

Meski begitu, beberapa kali saya punya alasan, dan mencari alasan untuk bisa berkirim postcard. Mayoritas saya lakukan bersama sahabat karib dan sahabat pena saya, Anis. Dia berkali-kali punya kesempatan untuk main ke negara orang, dan di kesempatan-kesempatan itu berkenan berkirim postcard ke saya. Beberapa kali saling bertukar postcard ada yang sampai ada yang tidak. Beberapa di antaranya tidak diketahui keberadaannya karena juga sulit untuk dilacak.

Ingat betul sewaktu mengirim postcard untuk Anis yang waktu itu di Jepang, bapak Posnya sampe terheran-heran dan nanya-nanya kenapa masih kirim kartu pos dan seterusnya. Soal ini sepertinya saya beruntung betul karena tidak semua orang pernah punya pengalaman berkirim kartu pos, menantikan kiriman surat dan kartu pos, menahan cerita tertentu untuk hanya diceritakan lewat surat dan kartu pos. Lucu juga di era begini.

Anyway, tulisan pendek ini didedikasikan pada Anis yang sudah jauh-jauh mengirimkan kartu pos dari London. Kami hampir putus asa dan berpasrah saja kalau kartu pos yang ini juga akan hilang. Tapi dua hari setelah kami membicarakan ini di chat, sebelum berangkat sekolah saya menemukan kartu pos ini diselipkan di bawah pintu kontrakan. Senang betul. Berharap masih akan mendapatkan kartu pos lain di masa yang akan datang.

wordsflow

hampir tahun depan.


Tidak lebih dari 2 bulan lagi sudah tahun depan. Terasa cepat betul, terutama kurun Agustus sampai November ini. Bisa jadi karena saya baru berubah kebiasaan dan seringkali dipusingkan dengan keresahan untuk meyakinkan diri bahwa pilihan ini tidak saya ambil dengan terlalu gegabah dan tanpa pertimbangan.

Setiap kali bertemu orang, terutama mereka yang tahu bahwa ‘seharusnya’ berada di Jakarta, pertanyaan seputar apa yang saya lakukan kembali di kota ini seringnya menjadi bahasan utama. Hal ini juga sebetulnya yang membuat saya sedikit banyak enggan untuk bertemu dengan beberapa kawan lama saya, atau lebih tepatnya saya belum siap untuk bertemu. Lebih dari itu, saya sering merenungkan masa-masa sekolah saya di dua periode sebelumnya, apa yang signifikan, apa yang bisa ‘dibanggakan’, apa yang bisa diambil pembelajarannya? Kadang juga masih memikirkan apakah langkah yang diambil betul akan memberikan manfaat yang seharusnya dan bukan sekedar memperpanjang kegagalan?

Di saat orang lain sering melayangkan pujian atau ungkapan ketidakpercayaan atas pilihan-pilihan hidup yang saya ambil, sering kali saya hanya bisa nyengir kuda karena tentu saja ada orang-orang lain di atas saya yang juga saya pandang jauh lebih baik atau saya gunakan sebagai parameter secara sadar maupun tidak. Kadang masih memikirkan hal-hal yang tidak saya ambil, misalnya mencoba sekolah ke luar negeri atau ke universitas yang lebih bergengsi. Tapi juga menyadari kelemahan-kelemahan dan ketidakmampuan, kemalasan, keengganan, dan hal-hal lain yang melingkupi. Lebih-lebih takut jika ternyata begitu berhasil membuka jalan, ternyata merasa terkekang dengan ikatan kerja yang sedang dijalani.

Memang pada dasarnya semua hal itu pilihan, menjadi ini atau itu, mengambil langkah ini atau itu. Tapi sedikit banyak saya juga percaya bahwa jalan yang dimudahkan itulah sinyal-sinyal yang diberikan, yang mana saya pilih untuk saya ambil alih-alih saya abaikan hanya sebagai pertanda. Kadang sulit juga untuk merasionalisasi hal-hal, tapi juga kadang menjadi lebih masuk akal untuk justru fokus pada konsekuensi atas pilihan yang sudah diambil.

Di tengah-tengah menjalani hari-hari sekolah ini, saya juga sering merenungkan masa kecil saya dan impian-impian yang muncul ketika itu sebagai anak desa biasa saja. Sering kali juga lupa bahwa jalannya sudah panjang dan melelahkan. Tapi lebih-lebih menerima bahwa di tengah kesulitan itu sebetulnya kita menyenangi tahapan-tahapan yang dilalui juga. Jadi, bisa dibilang saya bisa memahami dan memakfumkan bahkan jalannya menyenangkan kok. Juga bahwa untuk mencapai hari ini, semua tahapan hidup yang dijalani itu valid, juga bahwa capaian-capaian yang sudah dilalui juga valid.

Menjelang tahun depan, berharap bahwa akan semakin tenang menjalani hari-hari yang akan dilalui di periode sekolah ini. Berharap bisa terus menerima pembelajaran baru dan menerima orang-orang baru yang hadir dalam hidup, atau orang-orang lama yang memutuskan untuk berpisah.

wordsflow

apreciating silence


Ketika menulis ini, ada pasangan bisu yang sedang mengobrol seru di meja sebelah, menggunakan bahasa isyarat yang seru dan kadang diselingi tawa. Tentu saja menimbulkan rasa penasaran karena saya dihadapkan pada hal yang tidak umum saya temui, lantas merasa sepertinya saya harus belajar bahasa ini karena terlihat menarik.

Walau demikian, sering kali sulit untuk merasa biasa bertemu dengan teman-teman difable. Lebih karena mengagumi skill mereka yang tidak saya kuasai sama sekali, seakan sedang menyaksikan orang yang berbicara bahasa asing.

Pernah suatu waktu ke sebuah cafe di Jakarta yang pemiliknya juga bisu. Dia menanyakan pesanan dan saya dengan kikuk menjelaskan, tanpa sadar bersuara. Lantas setelahnya merasa bersalah, berpikir keras apa yang menjadi tujuan ketika memutuskan jauh-jauh mencoba kopi di cafe itu.

Tentu saja karena penasaran, ingin tahu, seperti apa the other yang akan kita temui. Dalam hal ini, saya pribadi merasa bahwa semakin beragam dan semakin banyak jenis orang yang saya temui, maka akan semakin baik pemahaman saya tentang hal-hal, terutama tentang orang-orang sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Jelas sekali kekurangan saya juga banyak, masing sering melabeli orang, juga punya daftar tipe orang yang tidak akan mau saya ajak berteman. Sebuah kewajaran. Bahwa orang lain berprinsip berbeda, it’s okay, selama tidak merugikan saya atau orang lain.

Perihal kesunyian ini, setelah melihat percakapan meja sebelah saya, saya teringat suatu kali bercerita ke rekan kerja, bagaimana saya bisa tinggal di kos selama weekend tanpa bertemu orang lain, bahkan tetangga kamar. Pertanyaannya kemudian ‘kok kamu betah sih ga ngobrol sama orang?’

Jika diingat-ingat, barangkali diam ini salah satu skillset yang saya kuasai sejak lama. Ketika ada hal yang tidak sesuai dengan perasaan, belakangan lebih sering mengekspresikan ketidaksukaan itu dalam diam, alih-alih berkoar-koar. Ini pergeseran kepribadian yang saya sadari setelah pindah ke Jakarta. Sulitnya menemukan orang yang bisa memahami pemikiran juga mendorong kesunyian ini. Tentu saja kondisi ini bisa begitu kontras jika saya menemukan orang yang tepat untuk diajak ngobrol, berbagi keresahan, atau yang bisa menerima pemikiran-pemikiran random saya.

Kira-kira begitu. Saya cukup nyaman dengan keheningan, atau sunyi yang disengaja walaupun tidak juga menolak percakapan dan bebunyian. Hanya saja ternyata mampu merasa nyaman dalam sunyi seringkali sulit dinikmati orang lain.

wordsflow

playlist


Sebelum menulis ini, saya memutar playlist saya yang sudah bertahan lebih dari 3 tahun. Playlist ini saya buat ketika karantina covid sekitar 3 tahun yang lalu, berisi beberapa soundtrack anime dan beberapa lagu yang mewakili perasaan saya selama pandemi. Tentu saja, playlist ini kemudian menyimpan banyak sekali kenangan, baik perasaan maupun momen-momen ketika saya mendengarkannya di periode 2020-2022.

Ingat betul (saya sudah menuliskan beberapa kali) saya mencoba untuk berkompromi dengan pandemi dengan menonton anime, membaca banyak sekali komik, sembari menulis thesis saya sampai selesai. Di masa itu, saya memilih lagu-lagu yang mendorong saya untuk menulis, lalu merasa terpikat secara khusus pada beberapa lagu yang saya temukan ketika menonton anime.

Berlanjut setelahnya, playlist yang sama juga selalu saya dengarkan ketika bersepeda dari kos ke kantor setiap harinya. Sepanjang perjalanan yang singkat antara kos dan kantor, sering kali saya hanya menghabiskan 4-5 lagu saja. Tapi menyenangkan, dan saya membangun imajinasi yang kuat sepanjang durasi 5 lagu tersebut. Sepanjang itu pula saya menyadari bahwa setelah satu cita-cita selesai, setidaknya saya harus punya cita-cita lain untuk dikejar. Tentu saja juga di antaranya mengorek-orek kembali daftar yang belum terwujud.

Semalam mood saya tidak baik, butuh lebih dari 2 jam untuk dapat menenangkan diri, dan berakhir terlelap dengan perasaan lelah dan tidak nyaman. Jangankan tidur nyenyak, di dalam mimpi pun saya sedih, haha. Setelah bertahun-tahun mengakrabi perasaan semacam ini, saya baru sadar bahwa momen semacam itu semakin jarang saya rasakan sehingga ketika meledak, atau terlampau lama tidak pernah merasakannya, saya akan butuh waktu lebih lama untuk menenangkan diri.

Lagi-lagi, begitu mendengarkan playlist ini, saya seolah diingatkan pernah melakukan perjalanan setahun penuh bolak balik dari kos ke kantor dengan jiwa yang penuh harapan. Di antara banyak kekecewaan yang pernah dialami, atau yang sulit untuk dilupakan, saya pernah menghabiskan begitu banyak waktu berdialog dengan diri sendiri tentang masa lalu dan masa depan. Apa yang ingin dicapai bersama, apa yang diharapkan. Jika dipikirkan lagi, sepertinya masa bersepeda dari kos ke kantor adalah hal yang paling saya nikmati selama tinggal di Jakarta. Di masa itu ada banyak improvement di hidup saya. Belajar mengatur waktu kembali, mulai rutin membuat dan membawa bekal ke kantor, rajin membuat buku untuk orderan, dan seterusnya.

Ya barangkali saya hanya butuh waktu untuk kembali merasa mapan di kota ini lagi. Segenap perubahannya kadang terlampau halus tidak kentara sampai-sampai ketika tersadar cukup merasa tertampar dengan kenyataan. Merasa mampu memahami pun tidak sepenuhnya begitu. Di waktu tertentu bisa saja bertindak di luar pemahaman sendiri. Di waktu yang lain bisa menerima hal-hal dengan baik dan ikhlas.

Begitulah, mari lanjut menenangkan diri dengan playlist yang sudah memasuki putaran keduanya di hari ini. Tabik.

wordsflow

30s


Entah mengapa, hari ini terdorong untuk membuat postingan baru, setelah sekian lama membuka-tutup blog ini tanpa bisa menuliskan apapun. Saya baru pula menyadari bahwa saya menulis sudah lebih dari setahun yang lalu. Dalam satu tahun, ada sangat banyak hal yang terjadi, dan saya cukup terkejut dengan arah lajunya sampai dibuat bingung menjelaskan bagaimana masing-masing hal bisa terjadi di hidup saya.

Pasca pindah kosan ke tempat baru setahun yang lalu, saya merasa itu kosan terbaik yang pernah saya miliki sejauh ini. Ruangan yang tidak terlalu besar maupun kecil, dengan fitur yang lengkap dan mendorong saya untuk mengembangkan personal space yang betul-betul saya sukai. Setelah selesai mendekorasi ruangan, saya bahkan pernah berjanji untuk paling tidak baru akan memikirkan untuk pindah setelah sekitar 3 atau 4 tahun tinggal di sana.

Lalu hal-hal lain berjalan bergantian, pasca atasan saya dimutasi dan digantikan dengan atasan baru, hampir setiap hari sepanjang tahun saya bekerja tiada lelah dan pulang larut malam. Kami menyadari bahwa perubahan struktur organisasi bisa sangat mengubah mood kami dalam bekerja. Semangat untuk membawa hal-hal baik sedikit banyak harus ditelan dengan pahit, setiap hari menahan kesal karena satu dan lain hal, serta begitu sulitnya untuk menyampaikan hal-hal yang dulu dirasa mampu dijangkau. Dunia politik praktis tiba-tiba terasa dekat dan memuakkan, ya memuakkan.

Singkat cerita, tahun berganti dan secara mendadak pula saya diberikan tanggung jawab untuk menanggung beban lebih banyak dari teman-teman satu angkatan. Belajar memimpin orang lain, belajar bernegosiasi dengan orang-orang yang lebih tinggi, mengambil tanggung jawab, dan hal-hal lain. Setiap minggu hampir-hampir kehilangan harapan namun beruntung betul masih punya forum-forum kecil untuk membicarakan hal-hal dan keresahan dengan sesama kami. Saya sempat jatuh iri dengan rekan-rekan kerja yang bersemangat mencari beasiswa master dan membuka kesempatan untuk belajar kembali di luar lingkungan kerja dan mengambil jarak sementara dari kantor yang terasa semakin mengekang.

Tapi ternyata kesempatan itu juga datang ke saya sedemikian rupa, beberapa bulan setelah memasuki umur 30 tahun. Saya hanya punya waktu kurang dari 1 bulan untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah. Saya mengumpulkan berkas, mendaftar tes toefl dan TPA, memilih dosen untuk dihubungi, membuat surat ijin ke atasan, dan memilih tema untuk calon penelitian tanpa memiliki bekal keilmuan sedikit pun. Lelah bekerja selama 4 tahun terakhir menjauhkan dari kegiatan membaca buku dan memperkaya pengetahuan sehingga rasa-rasanya saya kembali menjadi anak-anak yang baru saja lulus SMA. Saya memikirkan keputusan cukup lama, menunggu hasil tes toefl dan TPA sebelum akhirnya menghubungi dosen dan meminta ijin atasan, mengabarkan ke teman-teman, meminta pertimbangan ke rekan yang lebih senior di dunia pekerjaan, sampai saya teryakinkan bahwa ‘sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar, kita mengambil jarak dan rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari’. Dua hari sebelum penutupan pendaftaran, saya menyelesaikan semua hal dengan baik.

Perihal ini, selama 4 tahun pula saya dan karib saya bertukar mimpi. Saya seolah ditulari semangatnya untuk mengejar sekolah impian, walau saya berakhir menjadi orang yang terlalu oportunis dan penuh kemalasan untuk mengejar mimpi-mimpi. Episode ini berbeda, saya menyadari betul ada banyak hal yang kurang tentang diri saya. Saya menyimpan kekaguman tentang orang lain dengan banyaknya energi yang mampu mereka curahkan untuk hal-hal yang diimpikan, sedangkan saya bergelung kemalasan di dalam kamar kosan. Meski telah bekerja cukup lama, tapi masih menyimpan banyak keraguan akan hal-hal yang dikerjakan, apakah masih ada waktu untuk mengejar mimpi? 10 tahun lagi ingin ada di mana? menjadi apa? dan seterusnya. Tentu saja sebagaimana 1 tahun dapat mengubah banyak hal, saya tidak mampu dan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi dalam 3 bulan terakhir saya menyadari, saya tidak lagi terlalu takut dengan perubahan.

Malam tadi kami membicarakan banyak hal. Ketika membuka peta, kami menyadari bahwa hal-hal berjalan dengan caranya sendiri, kadang yang didapatkan justru ada persis di sebelah hal yang sebetulnya kita impikan. Tentu saja jika bukan karena menerima pekerjaan, barangkali saya tidak akan memiliki kesempatan untuk sekolah lagi. Tapi juga sembari berterima kasih ke diri sendiri sudah mampu bertahan dan berkembang di lingkungan yang tidak dikenal.

Lalu, saat sudah kembali ke lingkungan yang dirasa sudah dikenal pun, ada banyak hal yang juga berubah dan sedikit terasa asing. Sekre yang tutup, domisili yang bergeser, teman-teman yang entah sudah ada di mana dan akan di mana. Bagaimanapun, I’ll make it just alright. This year is so challenging, and so much thank you for the opportunities that came to me.

wordsflow