tentang kereta
Well, setelah salah ingat karena sempat berpikir bahwa saya masih punya simpanan tulisan di draft, akhirnya saya memulai halaman baru ini. Tapi persis sebelum mengetik kalimat kedua ini saya akhirnya ingat saya mengimpannya dalam bentuk word jadi saya posting dulu. Sementara itu ini akan menjadi postingan ringan yang lain saja.
Hmm, di tengah perdebatan soal banyak hal yang berseliweran di media sosial, juga drama-drama kantor dan kerjaan yang sampai hari ini belum ada kejelasan dan justru semakin ruwet dari hari ke hari seiring semakin banyaknya orang yang masuk, saya menyadari bahwa tentu benar, bahwa semua orang ingin mengamankan dirinya sendiri dalam banyak hal. Ini juga persoalan mbak-mbak yang ingin pulang ke Indonesia, orang-orang yang menuntut WNI Wuhan buat dijemput tapi nggak mau tinggal di sebelahnya, atasan saya yang belum mampu menerima kenyataan, atau saya dan teman-teman yang akhirnya berani mengambil langkah penting. Semuanya mengandung kepentingan pribadi yang kental. Kita hanya sugar coating kepentingan itu dengan sok bersolidaritas atau mengatasnamakan sesuatu di luar diri. Barangkali, saya menyadari bahwa saya pun begitu.
Terlepas dari apapun pandangan kita, mari saya kesampingkan lagi. Saya mau membagi kehokian saya dalam berkereta Jakarta-Jogja-Jakarta. Lagi.
Ketika menjelang akhir 2019, KAI membuat sebuah aturan baru yang menjadi acuan perubahan jadwal dan akhirnya harga tiket kereta di Indonesia. Tentu saja sebagai orang yang kerap kali pulang pergi Jakarta-Jogja, juga sering kali bersama rombongan PJKA regional manapun, saya mulai memahami pentingnya kejelasan trayek kereta tertentu.
Tahun ini tepat saya satu tahun nyetrika rel Jakarta-Jogja dan sebaliknya. Selama itu juga saya sudah mencoba jalur utara, tengah, selatan, transit di Purwokerto, Semarang, Kroya, Solo, menjajal naik kereta dari waktu paling cepatnya yaitu 7 jam saja sampai yang harus menempuh 16 jam karena lewat Bandung. Karenanya perubahan Gapeka 2019 membuat saya tidak bisa lagi naik Brantas yang harga tiketnya hanya 88rb, tapi bagian baiknya saya jadi suka balik ke Jakarta naik Bengawan yang harga tiketnya masih 74rb.
Jadwal Brantas ini menarik. Pertama kali mencoba jalurnya saya merasa ini nekat sekali karena saya baru diijinkan pulang jam 16.30 sementara kereta berangkat 17.00 dari Stasiun Senen. Waktu itu sudah berjanji, kalo dua kali percobaan gagal saya tidak akan mencoba untuk ketiga kalinya. Tapi ternyata percobaan pertama berhasil, tapi dibarengi lari-lari dari pintu keluar ke dalam kereta. Cukup bodoh karena memaksa print tiket sebelum masuk. Yang kedua kalinya saya punya cukup waktu, 15 menit sebelum keberangkatan sampai bisa beli minum dan roti. Setelah itu, sampai akhirnya saya mengakhiri perjalanan dengan Brantas, saya belum pernah ketinggalan kereta meskipun pernah sekali hanya kurang 3 menit udah dimarahi bapak-bapak bagian tap tiket (ini id card sampe nggak ditanyain).
Sekali waktu pernah juga hampir telat kurang 2 menit karena ambil kereta dari Kutoarjo, sementara harus naik Prameks dulu dari Jogja. Ini juga terakhir kali saya naik Sawunggalih dari Kutoarjo. Biasanya Prameks dan Sawunggalih punya jarak waktu 30 menit, jadi jika dihitung sebetulnya lumayan aman. Tapi yang salah, saya lupa kalau titik berangkat Prameks dari Solo, bukan dari Jogja. Alhasil saya sampai di Stasiun Kutoarjo 2 menit sebelum keberangkatan. Lalu harus lari memutar kereta karena salah keluar pintu. Dobrak-dobrak pintu kereta sampe teriak-teriak berdua sama mbak-mbak yang tidak saya kenal tapi senasib. Begitu melangkah masuk kereta si kereta langsung jalan. Bagian paling kocak tapi juga ngeselin karena waktu itu bawa-bawa cobek 24cm titipan teman yang istrinya ngidam cobek batu Merapi. Pergelangan tangan berasa mau copot dan waktu lari-lari udah kepingin lempar cobeknya ke samping rel. Tapi yah, kalo udah kejadian tetep kocak.
Lantas semalam. Kami harus melakukan pengukuran lapangan di Bekasi, dengan jarak lokasi dari Stasiun Bekasi sekitar 45-60 menit jarak tempuh dengan kendaraan. Sementara itu dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Senen membutuhkan waktu sekitar 45-60 menit juga untuk naik KRL. Sialnya, entah kenekatan apa, saya baru beranjak dari lokasi pukul 20.30 karena baru selesai melakukan pengukuran. Sampai di Stasiun Bekasi masih pukul 21.15 tapi sayang sekali kereta pertama masih 21.45. Saya hanya punya waktu 45 menit untuk sampai di Stasiun Senen.
Sedikit cerita, sebetulnya kita bisa naik kereta di Stasiun berikutnya dari Stasiun pemberangkatan di tiket. Tapi sayang seribu sayang, tidak ada perjalanan ke timur yang berhenti di Stasiun Bekasi, semuanya harus berangkat dari Senen. Jadi sembari memikirkan ini, akan bodoh sekali jika saya jauh-jauh ngejar kereta dari Bekasi hanya untuk ketinggalan kereta di detik-detik terakhir. Maka sepanjang Stasiun Bekasi ke Jatinegara saya mengatur strategi kira-kira di stasiun mana sebaiknya saya turun. Atau sekalian saja saya turun di Stasiun Senen. Pilihan yang terakhir pernah saya ambil di tahun 2014 dan berakhir lari-larian turun-naik underpass, check in, turun-naik underpass lagi sampe napas copot. Berhasil sih, tapi beresiko.
Saya mengecek jam tangan, 22.08, hampir sampai Stasiun Jatinegara. Kondisi di luar hujan, meskipun tidak lebat. Dengan nekat, tapi juga sadar dan tidak mematok ekspektasi tinggi, saya memesan ojek online, satu menit sebelum pintu dibuka. Beruntung langsung dapat dan bapaknya sudah nangkring di seberang Stasiun persis, yang mana saya cukup tahu tempatnya. 22.10, saya lari dari pintu kereta sampai ketemu tukang ojek, hanya butuh waktu 1 menit. Saya menolak jas hujan karena ribet, jadi kami buru-buru tancap gas.
Saya ngasihtau bapaknya bahwa saya tengah mengejar kereta. Saya sampaikan kalau keretanya berangkat 22.30, juga ditambahi embel-embel ‘kalo nggak dapet tapi nggak papa kok Pak’. Di sepanjang jalan juga berharap hujan nggak makin lebat. Sebodo amat ada barang ketinggalan di kantor, tidak bawa jaket, dan basah dikit kena ujan.
22.21. Ini bagian yang paling menyebalkan. Di perlimaan Pasar Senen sedang ada proyek perpanjangan underpass. 24/7 simpang itu macet total (seorang teman pernah menempuh 2,5 jam dari Senen ke Monas), dan butuh waktu lumayan untuk keluar dari kerumitannya. Di motor saya sudah tidak sabar ingin turun lari ke stasiun, tapi berpikir akan semakin bodoh kalau sudah di depan mata tapi harus berakhir ketinggalan kereta. Jadi saya sabar. Untungnya kami berhasil nyelip-nyelip dan mencapai gerbang Senen jam 22.24. Langsung lari tanpa permisi ke orang-orang. Dan senang sekali karena keretanya ada di jalur 1 jadi tidak perlu turun-naik underpass karena napasnya udah mau ilang.
Bapak bagian tiket sudah teriak-teriak ‘yang penting masuk dulu mbak’, padahal masih ada 3 menit. Yaudah, saya naik di pintu yang paling dekat, jalan ke gerbong makan dengan gontai. Baju basah, jaket ketinggalan, sepatu basah dan kotor kena air jalanan. Dan laparr. Sekali ini, saya masuk kereta langsung beli makan dan minum karena sedari siang belum menyentuh nasi. Ah bukan, ini kedua kali, yang pertama kali sewaktu bawa-bawa cobek. Itu juga langsung makan enak. Hahaha.
Yah, setelah ini, semoga kehokian, juga semangat berstrategi mengatur waktu bisa selalu membersamai saya. Huehehe.
wordsflow