WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Travelling

tentang kereta


Well, setelah salah ingat karena sempat berpikir bahwa saya masih punya simpanan tulisan di draft, akhirnya saya memulai halaman baru ini. Tapi persis sebelum mengetik kalimat kedua ini saya akhirnya ingat saya mengimpannya dalam bentuk word jadi saya posting dulu. Sementara itu ini akan menjadi postingan ringan yang lain saja.

Hmm, di tengah perdebatan soal banyak hal yang berseliweran di media sosial, juga drama-drama kantor dan kerjaan yang sampai hari ini belum ada kejelasan dan justru semakin ruwet dari hari ke hari seiring semakin banyaknya orang yang masuk, saya menyadari bahwa tentu benar, bahwa semua orang ingin mengamankan dirinya sendiri dalam banyak hal. Ini juga persoalan mbak-mbak yang ingin pulang ke Indonesia, orang-orang yang menuntut WNI Wuhan buat dijemput tapi nggak mau tinggal di sebelahnya, atasan saya yang belum mampu menerima kenyataan, atau saya dan teman-teman yang akhirnya berani mengambil langkah penting. Semuanya mengandung kepentingan pribadi yang kental. Kita hanya sugar coating kepentingan itu dengan sok bersolidaritas atau mengatasnamakan sesuatu di luar diri. Barangkali, saya menyadari bahwa saya pun begitu.

Terlepas dari apapun pandangan kita, mari saya kesampingkan lagi. Saya mau membagi kehokian saya dalam berkereta Jakarta-Jogja-Jakarta. Lagi.

Ketika menjelang akhir 2019, KAI membuat sebuah aturan baru yang menjadi acuan perubahan jadwal dan akhirnya harga tiket kereta di Indonesia. Tentu saja sebagai orang yang kerap kali pulang pergi Jakarta-Jogja, juga sering kali bersama rombongan PJKA regional manapun, saya mulai memahami pentingnya kejelasan trayek kereta tertentu.

Tahun ini tepat saya satu tahun nyetrika rel Jakarta-Jogja dan sebaliknya. Selama itu juga saya sudah mencoba jalur utara, tengah, selatan, transit di Purwokerto, Semarang, Kroya, Solo, menjajal naik kereta dari waktu paling cepatnya yaitu 7 jam saja sampai yang harus menempuh 16 jam karena lewat Bandung. Karenanya perubahan Gapeka 2019 membuat saya tidak bisa lagi naik Brantas yang harga tiketnya hanya 88rb, tapi bagian baiknya saya jadi suka balik ke Jakarta naik Bengawan yang harga tiketnya masih 74rb.

Jadwal Brantas ini menarik. Pertama kali mencoba jalurnya saya merasa ini nekat sekali karena saya baru diijinkan pulang jam 16.30 sementara kereta berangkat 17.00 dari Stasiun Senen. Waktu itu sudah berjanji, kalo dua kali percobaan gagal saya tidak akan mencoba untuk ketiga kalinya. Tapi ternyata percobaan pertama berhasil, tapi dibarengi lari-lari dari pintu keluar ke dalam kereta. Cukup bodoh karena memaksa print tiket sebelum masuk. Yang kedua kalinya saya punya cukup waktu, 15 menit sebelum keberangkatan sampai bisa beli minum dan roti. Setelah itu, sampai akhirnya saya mengakhiri perjalanan dengan Brantas, saya belum pernah ketinggalan kereta meskipun pernah sekali hanya kurang 3 menit udah dimarahi bapak-bapak bagian tap tiket (ini id card sampe nggak ditanyain).

Sekali waktu pernah juga hampir telat kurang 2 menit karena ambil kereta dari Kutoarjo, sementara harus naik Prameks dulu dari Jogja. Ini juga terakhir kali saya naik Sawunggalih dari Kutoarjo. Biasanya Prameks dan Sawunggalih punya jarak waktu 30 menit, jadi jika dihitung sebetulnya lumayan aman. Tapi yang salah, saya lupa kalau titik berangkat Prameks dari Solo, bukan dari Jogja. Alhasil saya sampai di Stasiun Kutoarjo 2 menit sebelum keberangkatan. Lalu harus lari memutar kereta karena salah keluar pintu. Dobrak-dobrak pintu kereta sampe teriak-teriak berdua sama mbak-mbak yang tidak saya kenal tapi senasib. Begitu melangkah masuk kereta si kereta langsung jalan. Bagian paling kocak tapi juga ngeselin karena waktu itu bawa-bawa cobek 24cm titipan teman yang istrinya ngidam cobek batu Merapi. Pergelangan tangan berasa mau copot dan waktu lari-lari udah kepingin lempar cobeknya ke samping rel. Tapi yah, kalo udah kejadian tetep kocak.

Lantas semalam. Kami harus melakukan pengukuran lapangan di Bekasi, dengan jarak lokasi dari Stasiun Bekasi sekitar 45-60 menit jarak tempuh dengan kendaraan. Sementara itu dari Stasiun Bekasi ke Stasiun Senen membutuhkan waktu sekitar 45-60 menit juga untuk naik KRL. Sialnya, entah kenekatan apa, saya baru beranjak dari lokasi pukul 20.30 karena baru selesai melakukan pengukuran. Sampai di Stasiun Bekasi masih pukul 21.15 tapi sayang sekali kereta pertama masih 21.45. Saya hanya punya waktu 45 menit untuk sampai di Stasiun Senen.

Sedikit cerita, sebetulnya kita bisa naik kereta di Stasiun berikutnya dari Stasiun pemberangkatan di tiket. Tapi sayang seribu sayang, tidak ada perjalanan ke timur yang berhenti di Stasiun Bekasi, semuanya harus berangkat dari Senen. Jadi sembari memikirkan ini, akan bodoh sekali jika saya jauh-jauh ngejar kereta dari Bekasi hanya untuk ketinggalan kereta di detik-detik terakhir. Maka sepanjang Stasiun Bekasi ke Jatinegara saya mengatur strategi kira-kira di stasiun mana sebaiknya saya turun. Atau sekalian saja saya turun di Stasiun Senen. Pilihan yang terakhir pernah saya ambil di tahun 2014 dan berakhir lari-larian turun-naik underpass, check in, turun-naik underpass lagi sampe napas copot. Berhasil sih, tapi beresiko.

Saya mengecek jam tangan, 22.08, hampir sampai Stasiun Jatinegara. Kondisi di luar hujan, meskipun tidak lebat. Dengan nekat, tapi juga sadar dan tidak mematok ekspektasi tinggi, saya memesan ojek online, satu menit sebelum pintu dibuka. Beruntung langsung dapat dan bapaknya sudah nangkring di seberang Stasiun persis, yang mana saya cukup tahu tempatnya. 22.10, saya lari dari pintu kereta sampai ketemu tukang ojek, hanya butuh waktu 1 menit. Saya menolak jas hujan karena ribet, jadi kami buru-buru tancap gas.

Saya ngasihtau bapaknya bahwa saya tengah mengejar kereta. Saya sampaikan kalau keretanya berangkat 22.30, juga ditambahi embel-embel ‘kalo nggak dapet tapi nggak papa kok Pak’. Di sepanjang jalan juga berharap hujan nggak makin lebat. Sebodo amat ada barang ketinggalan di kantor, tidak bawa jaket, dan basah dikit kena ujan.

22.21. Ini bagian yang paling menyebalkan. Di perlimaan Pasar Senen sedang ada proyek perpanjangan underpass. 24/7 simpang itu macet total (seorang teman pernah menempuh 2,5 jam dari Senen ke Monas), dan butuh waktu lumayan untuk keluar dari kerumitannya. Di motor saya sudah tidak sabar ingin turun lari ke stasiun, tapi berpikir akan semakin bodoh kalau sudah di depan mata tapi harus berakhir ketinggalan kereta. Jadi saya sabar. Untungnya kami berhasil nyelip-nyelip dan mencapai gerbang Senen jam 22.24. Langsung lari tanpa permisi ke orang-orang. Dan senang sekali karena keretanya ada di jalur 1 jadi tidak perlu turun-naik underpass karena napasnya udah mau ilang.

Bapak bagian tiket sudah teriak-teriak ‘yang penting masuk dulu mbak’, padahal masih ada 3 menit. Yaudah, saya naik di pintu yang paling dekat, jalan ke gerbong makan dengan gontai. Baju basah, jaket ketinggalan, sepatu basah dan kotor kena air jalanan. Dan laparr. Sekali ini, saya masuk kereta langsung beli makan dan minum karena sedari siang belum menyentuh nasi. Ah bukan, ini kedua kali, yang pertama kali sewaktu bawa-bawa cobek. Itu juga langsung makan enak. Hahaha.

Yah, setelah ini, semoga kehokian, juga semangat berstrategi mengatur waktu bisa selalu membersamai saya. Huehehe.

wordsflow

Menjadi Jakarta (ii)


Tanpa disadari saya sudah memasuki bulan ke tujuh di kota asing ini, yang yah, selama seminggu-dua minggu belakangan banyak dibicarakan karena sempat menduduki peringkat pertama kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Rasa-rasanya bahkan tanpa indikator itu pun, udara Jakarta memang tidak jelas juntrungannya. Anehnya, saya setiap malam selimutan karena kedinginan meskipun tidur tanpa ac atau kipas angin. Barangkali iklim di sekitar kosan saya memang lebih asik. Saya pribadi sebetulnya bodo amat dengan indikator ketercemaran itu. Tanpa itu pun masalah yang dihadapi Jakarta sudah sangat banyak. Dan barangkali indikator polusi udara hanya selentingan kecil dari bergitu banyak masalah yang ada di Jakarta. Itu kita belum membicarakan soal air, RTH, apalagi daya dukung lingkungan.

Kadang ketika membayangkan apakah sebuah kota betul-betul punya limit tertentu? Padahal jika dibandingkan dengan kota-kota megapolitan lain yang ada di dunia, Jakarta belum lah sepenuh itu. Manhattan misalnya, dengan gedung yang lebih tinggi, kepadatan yang lebih intens, dan seterusnya, terasa lebih apa ya, ‘ramah’ aja gitu ketimbang Jakarta. Meski demikian saya yakin ground coverage Jakarta sudah melebihi batas sih. Tidak ada ruang bagi tanah di bawah Jakarta untuk bernapas lebih bebas.

Eniwei, disamping kesemrawutan Jakarta, saya sendiri menyukai beberapa detil kecil yang mungkin luput oleh orang lain, atau tidak dirasakan orang lain karena mereka tidak berada di kondisi seperti saya. Beruntung sekali misalnya, jalur berangkat saya lewat Menteng dimana pohon-pohon besar masih tumbuh di kanan kiri. Selalu masih bisa melihat kabut-kabut tipis yang sifatnya lokal saja di Taman Suropati, agaknya ini adalah taman terbaik di Jakarta. Sementara itu untuk pulang saya selalu bisa naik trans Jakarta yang selalu penuh sepanjang waktu, semalam apapun saya pulang dari kantor.

Lagi-lagi, di tengah semrawutnya Jakarta, ada cukup banyak hal yang masih menyenangkan. Tentu saja menyebut hal-hal setelah ini sebagai sesuatu yang menyenangkan berakar dari potensi besar untuk terus merasa kesepian di kota ini. Sebuah keniscayaan ketika teman kantormu meskipun masih seumuran tapi rata-rata sudah berkeluarga dan tinggal sedikit lebih keluar kota, atau teman-temanmu yang belum menikah mayoritas sudah lama tinggal di Jakarta dan yah, sudah memiliki geng gaul sendiri dimana gaya mainnya bukan tipemu. Dan faktor yang selalu membuat saya maju-mundur, adalah kenyataan bahwa saya sering ogah basa-basi main dengan orang lain yang saya belum betul-betul paham karakternya. Masalahnya, memahami karakter rekan kerja ternyata sedikit lebih rumit dibandingkan yang saya bayangkan karena praktis tidak ada kegiatan non formal apapun yang bisa menjadi gerbang masuk analisis karakter, sehingga apa-apa jadinya ya formal aja. Begitulah, saya menyerah mencari teman karib yang baru di kota asing.

Maka pilihan yang paling tepat adalah berteman karib dengan diri sendiri. Hehehe. Bagian ini sedikit rumit karena bahkan di waktu-waktu tertentu saya sendiri juga sering kesal dengan diri sendiri. Ngerti lah ya maksudnya. Hubungannya agak love-hate relationship sih, tapi saya berusaha lebih banyak love-nya. Hahahaha.

Yak begitulah. Jakarta menawarkan tiga hal baru yang bisa saya masukkan ke dalam daftar kesibukan harian saya. Bedanya, seluruh kesibukan itu baru bisa saya lakukan selepas pulang kerja, yang artinya di atas jam 18.30 mengingat hampir tidak mungkin lagi bagi saya untuk pulang tepat waktu.

Pertama, wisata kuliner. Suatu hari di awal pindah saya, Mbak Teppy (iya betul, yang suka review film itu) mempromosikan akun @darihaltekehalte (saya curiga itu dia yang bikin sih, hampir yakin 100%) yang ngasih info tempat-tempat makan enak sekitar halte. Pas banget momennya dengan dibukanya jalur MRT secara resmi dan voila, dalam beberapa bulan mereka sudah super femes dengan ratusan rekomendasi tempat makan. Premisnya seru sih, karena Jakarta adalah kota rantau, kamu akan bisa menemukan makanan paling enak dari semua daerah di Indonesia. They tried to prove that they are right, and they did it.

Yang lumayan seru sih karena kantor saya deket jalan Sabang yang merupakan salah satu penggal jalan paling terkenal se Jakarta karena makanannya. Jadilah ketika istirahat siang hari Jumat yang lebih lama dari biasanya, kami sempatkan menjajal beberapa tempat makan bergantian setiap minggu. Salah satu favorit saya sih Claypot Popo. Tampilannya asik, makanannya enak, dan kopi tariknya enak banget. Atau kalau malam saya juga sering jalan sampai Sarinah untuk sight seeing atau mampir beli makanan di beberapa warung tendanya. Beberapa kali saya bahkan sengaja naik MRT atau KRL sekedar untuk menuju tempat makan yang membuat saya penasaran. Sesederhana itu sebetulnya, tapi wisata kuliner adalah hal yang paling bisa ditawarkan oleh kota seruwet Jakarta.

Kedua, menjadi anak nonton. Sebetulnya, Jakarta tidak betul-betulnya memaksa saya jadi anak nonton sih. Berawal dari mengenal JAFF di akhir tahun lalu dan menjadi merchant partnernya, saya merasa terbuka wawasannya akan seasik apa sih punya hobi nonton, hehehe. Alhasil setelah selesai event dan tidak berhasil nonton film apapun karena semua tiket sold out, saya mulai nonton sendiri karena jauh lebih efektif dan efisien tanpa perlu berdebat soal apa, kapan, dan dimana mau nonton film. Juga bertemu dengan akun film baru yang adminnya tengil, jadi saya terpanggil buat follow, hahahaha.

Begitulah, ya walaupun nggak ngerti-ngerti amat soal dunia perfilman, artis dan aktor embuh siapa, atau franchise film semacam Toy Story misal (yang baru saya tonton tepat sebelum nonton film ke empatnya). Apalagi banyak bioskop enak di sekitar kosan yang jaraknya nggak sampai 5 menit, banyak pilihan bioskop murah dengan layar segede gaban, jam tayang banyak, dan yang paling penting, promo diskon :’. Penyelamat kantong banget. Susah sih ya mau banyak gaya tapi hemat di ibu kota tuh butuh strategi, hehe.

Dan terakhir tentu saja, performing art dan pameran yang sebetulnya ada banyak tapi kudu check dan recheck tanggal. Salah satu yang paling saya tunggu-tunggu dari dulu adalah nonton Jakarta City Philharmonic. Sudah ngikuti dari jaman mereka baru dibentuk pertama kali berkat Mas Suta yang merupakan idola violinist sejak jaman masih sering nampil di Tembi atau di ISI ternyata gabung orchestra ini juga. Yha meskipun kadang kalo nonton suka super ngantuk karena repertoarnya yang enak, tapi pengen nonton banget.

Atau event-event lain yang diselenggarakan oleh Galeri Indonesia Kaya misalnya, atau Salihara, atau komunitas-komunitas kreatif di Jakarta yang kegiatannya juga super banyak. Banyak sih pilihannya. Cuman kadang kalo udah naik bis pengen langsung aja sampe kosan terus leyeh-leyeh. Hehe.

Okeeiii. Demikian cerita bahagia dari saya sebagai perayaan karena saya sudah menemukan foto profil yang pas untuk akun whatsapp saya. Huehehehhehehe.

Semoga kalian berkenan. Love you.

wordsflow

Tentang Kota-kota yang Ternyata Tidak Kecil (i)


Setelah mendedikasikan diri untuk menjelajahi berbagai kota di Indonesia demi tercapainya petualangan yang tidak jelas, saya secara tidak sengaja menemukan kesempatan-kesempatan untuk mewujudkan cita-cita nomer 397 tersebut. Agaknya memang jalan-jalan tidak membutuhkan target tertentu. Beberapa cita-cita yang sengaja diwujudkan terkadang berjalan lebih buruk dari yang paling buruk. Namun beberapa lain yang hanya bermodal kesiapan ternyata berjalan jauh lebih menyenangkan.

Jadi, mari saya ceritakan beberapa hal.

Kegemaran saya mengunjungi kota sebetulnya dulunya spesifik. Lebih karena saya suka dengan dengan suasana kota, jalan-jalan menyusuri trotoar (hal yang hampir tidak pernah saya lakukan di Jogja), mengunjungi museum, menjajal transportasi umum, lalu akhirnya menikmati kerumunan yang super sibuk. Semuanya menyenangkan untuk dijelajahi. Salah satu kota favorit untuk jalan-jalan adalah Jakarta, dan hingga hari ini pun saya selalu takjub dengan kota itu; takjub sebagai wisatawan sih, bukan sebagai penduduk kota. Dan masih sangat banyak tempat yang belum berhasil saya kunjungi, jadi masih akan ada banyak kali saya berkunjung ke kota itu.

Well, mari beralih ke kota yang baru-baru ini saya datangi, Tasikmalaya. Saya sengaja menulis ini ketika masih di kotanya agar si tulisan tidak terlupakan, haha.

Okei, mari mulai dengan rencana.

Barangkali tasikmalaya adalah kota kecil yang paling awal saya tahu tapi tidak pernah sungguh-sungguh saya cari tahu dan mengecek petanya. Nama kota ini sangat menarik karena saat saya duduk di kelas 2 SD ada sebuah cerita dengan latar lokasi Tasikmalaya. Bukunya saya baca di perpustakaan SD saya yang kecil dan seolah menjadi sebuah catatan bawah sadar agar suatu hari bisa berkunjung ke Tasik.

Lalu saya berkawan dengan pacar teman, namanya Amel. Si Amel ini anak Tasik tulen dengan dunia permicinannya. Segala kuliner penuh micin saya pelajari dan kenali dari anak ini.

Suatu hari, tiada angin tiada hujan dia mengirimi saya sebuah poster acara di Tasik. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan tertentu saya mengiyakan ajakannya. Toh tiga hari tidak akan merusak agenda saya selama sebulan, apalagi kalau direncanakan jauh-jauh hari. Jadilah acara itu terpampang di agenda bulanan saya di awal Oktober.

Tapi ternyata ada hal-hal di luar rencana yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Di hari keberangkatan saya mengurus stand bazaar untuk kegiatan amal. Lagi-lagi saya harus berpikir taktis untuk membagi waktu seefisien mungkin demi kesuksesan dua acara sekaligus. Setelah menyakinkan jadwal keberangkatan, saya menata dan mengurus bazaar. Naasnya, Amel berselisih 5 menit memberitahu waktu keberangkatan. Kereta kami ternyata berangkat jam 14.10 WIB dan bukannya 5 menit lebih lambat dari yang saya duga.

Setelah berkali-kali memaksa Pak Gojek buat ngebut, saya berhasil sampai di stasiun jam 14.08 WIB. Lari-larian dari drop out area yang jauh bingit dari pintu masuk, nyelip-nyelip di antara kerumunan orang yang entah kenapa rame banget di hari itu, dan akhirnya menyerobot begitu saja bapak-bapak petugas checking ID card. Ya Allah, maafkan saya bapak petugas dan semua-mua orang yang saya senggol sepanjang pintu masuk sampai peron.

Well, plot twistnya adalah si kereta ndak jadi berangkat on time. Setelah lari-larian tanpa henti sampai paru-paru mau meledak dan dilihatin begitu banyak orang, si kereta akhirnya baru beranjak pergi jam 14.14 WIB. Yah begitulah sensasinya menjadi anak deadline. Sering berakhir dengan memuaskan, kadang justru merasa berlebihan dan bodoh. Hahaha.

Okei, singkat cerita kami sampai di Tasik di hari yang sama, mendekati jam 8 malam. Belum-belum langsung menuju ke lokasi permicinan nomer 1. Ini rekomendasi Amel dan gemar diceritakan selama di Jogja. Namanya baso Oding. Fyi, Amel sering sekali menegaskan bahwa ini adalah baso, tanpa ‘k’. Kuahnya sih enak, tapi begitu menyentuh si baso, ya Allah aduhai asinnya sampai bikin sakit lidah. Bahkan Amel pun menyerah dan memindahkan si baso ke mangkuk emaknya. Belakangan kami ketahui bahwa performa warung baso ini memang menurun sejak beberapa waktu yang lalu.

Lanjut, setelah kenyang kami meluncur ke Galunggung demi mandi air panas. Tapi jam 10 malem doong. Sebetulnya saya sudah lelah tapi apa daya saya kan wisatawan yang numpang. Berasa onsen gitu malem-malem berendam di alam terbuka. Sangat direkomendasikan kalau teman-teman berkunjung ke Tasik yaa. Hari itu berakhir tengah malem dengan kondisi super ngantuk yang sok-sok berusaha seger karena gak enak sama emak bapaknya Amel.

Wisata kuliner ini adalah hal yang sebetulnya tidak pernah saya rencanakan dalam semua acara jalan-jalan. Lebih karena saya enggan mencoba makanan baru di manapun karena bisa berakhir mengubah mood menjadi tidak stabil. Saya juga bukan tipikal anak yang sering penasaran dengan varian rasa baru, atau memasukkan benda asing yang tidak dikenal lidah.

Tapi belakangan, berbekal rekomendasi native setempat, atau berdasarkan rekomendasi media sosial, pelan-pelan saya mencoba kebiasaan untuk menjajal kuliner lokal. Tidak selalu berhasil, tapi lebih sering membuahkan hasil menyenangkan. Dan begitulah, Tasik ternyata tempat seru untuk menjajal makanan.

Setelah di hari pertama saya menjajal golosor (sejenis mie kuning kenyal semacam aci), esok harinya saya mencoba tutug oncom (campuran antara nasi dan remah oncom gitu), leunca (rasanya mirip ceplukan tapi pahit after taste-nya), cipe (aci tempe yang kalau di Jawa disebut mendoan, tapi agak beda), sambal ijo goreng (ini enak), yang ternyata super enak. Lagi-lagi tingkat keasinannya dua level di atas standar saya, tapi ini masih masuk akal karena enak banget.

Siang itu kami akhirnya beranjak ke lokasi kemping fancy yang memang menjadi alasan kami ke sana. Sebegitunya saya nggak peduli dengan acara itu sampai baru belakangan saya tahu kalau hostnya Eddi Brokoli, haha. Lalu ada sejumlah bintang tamu yang saya juga nggak kenal. Ini sebetulnya kemping fancy pertama saya dan mungkin nggak lagi sih, haha.

Kami sampai di lokasi siang hari tengah bolong. Berhubung acaranya di lapangan desa, panasnya luar biasa. Begitu sampai hal pertama yang kami cari adalah tempat berteduh, kemudian yang kedua adalah cilok. Tapi keduanya tidak berhasil kami temukan. Akhirnya kami mencoba euforia free flow kopi Karaha yang dikasih sama panitia. Untungnya mereka menawarkan es juga jadilah hari itu nggak sebegitu membakar.

Sore hari kami mencoba jalan-jalan ke Karaha Bodas. Lokasinya digunakan Pertamina untuk proyek geothermal dan pengembangan kopi Karaha adalah salah satu program CSR mereka. Yah begitulah, setidaknya sore itu nggak berakhir terlalu panas buat kami.

Di lokasi kempingnya kami menjajal ‘wahana’ yang disediain panitia gitu. Sponsornya sih Djarum gitu makanya bisa ada banyak hal secara mereka juga promo. Tapi hal-hal ini baru saya ketahui di lapangan sebagai peserta acara yang take it for granted dan berbekal motivasi jalan-jalan ke kota orang, haha. Semalaman itu saya belajar slackline sampai kasian mas-masnya pantatnya sakit karena ngejagain tali biar nggak goyang banget.

Malam itu melelahkan dan berangin. Pergerakan saya hanya seputar bean bag dan slackline. Setelah itu berangkat tidur deh.

Lalu kami mabok kopi Karaha. Jenis kopinya unik, saya baru pertama mencoba kopi yang rasa aslinya penuh sensani manis. Saya sebetulnya nggak suka arabika, lambungnya nggak kuat. Tapi kalau menjajal beberapa varian sih oke. Mungkin varian ini akan pas dicoba untuk yang baru-baru kepingin mencoba kopi ‘asli’. Saya sih penikmat, semua diminum, haha.

Ada satu tempat ngopi kecil yang menyenangkan menurut saya, namanya Alchemist. Tetep Amel sih yang merekomendasikan, ada menu kopi dan non kopi. Kami nongkrong sesorean menunggu teman Amel yang lain lagi, haha. Amel yang ada di dunia perkopian membuat lingkaran pertemanannya serba kopi. Jadilah saya yang ngintilin juga jadi kenal dengan teman-teman perkopiannya. Uyey, teman baru lagi.

Oiya, salah seorang temannya Amel membelikan saya es bojong. Esnya mirip es doger, tapi isinya lebih banyak dan memakai durian juga. Selama dua puluhan tahun hanya sekali saya mencoba durian waktu di Bogor. Waktu itu teman saya memperkenalkan es durian yang katanya paling enak se-Bogor. Memang sih, tapi saya nggak pernah mencicip durian buah. Terlalu menyengat.

Nah, si es bojong ini rasanya enak banget karena ada kombinasi alpukat, durian, dan nangka. Jadi duriannya nggak mendominasi sebetulnya, tapi menguatkan wangi dan rasa esnya. Aduhai lah.

Oiya, si masnya sendiri punya warung kopi DIY yang asik banget, namanya Tangkal Kopi. Buat masuk ke barnya harus lewat lorong sempit dulu, dan semua-muanya disusun sendiri gitu. Tapi nyamukan dan karena hari itu belum mandi jadi saya dirubung nyamuk deh.

Lalu hari ini, akhirnya saya mencoba jalan sendiri untuk menjajal baso enak karena merasa tidak puas dengan percobaan sebelumnya. Saya nemu baso Ahmad yang katanya enak banget. Ternyata memang enak. Lagi-lagi level micin dan keasinannya satu level di atas saya, tapi masih bisa diterima juga karena memang enak. Catatlah namanya untuk dicoba nanti ya. Warungnya di pinggir jalan, kecil saja dan hanya buka dari jam 11 sampai jam 3 sore menurut info. Kali ini saya puas karena pilihan kuliner saya tepat, hehe.

Bicara soal perkulineran, saya sih anak bawang, masih takut-takut mencoba makanan baru. Belalang goreng aja belum pernah saya makan padahal punya temen yang rumahnya ngegorengin belalang sendiri. Anaknya jireh (yang artinya penakut dalam bahasa Jawa), setengah jijikan. Kalau memang tidak masuk kriteria nggak akan pernah dicobain meskipun sejagad bilangnya enak.

Setelah ini saya pulang, esok akan kembali menikmati kulineran Jogja. Nggak ada yang terlalu dikangenin sih karena makanannya cuman angkringan, burjo, mie ayam, dan kadang-kadang warung prasmanan. Oiya, ini oleh-oleh foto kali aja ada yang kepingin coba, hehe. Tapi saya nggak demen foto makanan, jadi seadanya aja.

Ah satu lagi. Amel mengingatkan saya untuk mencatat soal Gojek di sana. Sejauh pengamaan kami, transportasi online masih larangan di sana sehingga banyak yang memakai atribut atau mengambil penumpang di samping angkot. Kami pernah sekali hampir ribut sama sopir angkot. Lucunya, setiap naik ojek mamangnya selalu nanya ‘pake helm nggak teh?’ instead of ‘teh, ini helmnya’. Yah begitulah, kota-kota selalu menawarkan hal-hal yang berbeda.

Sampai jumpa di postingan selanjutnya.

wordsflow

Si Alchemist tempat ngopi dan laptopan enak.
Baso Ahmad yang enak-tapi-agak-keasinan dengan tahu basonya yang yoi.
Bonus pemandangan untuk headermu, hehe.

this year


It’s been a week since the last post. Having some topic to write but I didn’t intend to. Yeah, but finally I wrote some, right?

Here we arrived at our last days of this year. I was surprised remembering there were so many things happen this year. Quite busy until November and have been doing nothing since then except watching movies, updated to some new things (gadget stuff, apps, news, school things, etc), read some novels, and once again built my enthusiasm on crafting. Leaving the craft business made my working rhythm being forgotten by the hands. I was turning 25 last March and had a turning point too (?) in the middle of this year. Maybe I didn’t really have some year resolutions but I think I’ve made some without I realized.

Beginning this year, I traveled to some places. I spent some time in Bandung and Jakarta, then leaving to Paninggaran doing the small research with my juniors. That was the first time doing anthropological research and quite fun. The place was really beautiful that I never got bored to look around. Getting home on the last day of the holiday and the next day the new semester started over right away.

It was my best semester I guess. I attended some class which required me to discuss, discuss, and discuss like never-ending discussion, having presentations in front of my friends and lecturers, and in the last day of school, we had so many words to write. Actually not really fun when it was happening, quite stressful with the papers, but after all, I finally made it. Hehe. Finished my semester, I intended to apply for some scholarships but sadly I missed the chance. But I was okay with that though. I turned to be a not-so-much-competitive person like before. Just thought that ‘how this world worked was just like that, and so, don’t complain.’

I traveled to Madiun for three days with my friend before finally decided to take my semester off and going to Papua, the place I never imagined before even after many people talking to go there. That was a sudden decision actually just because I got no plan for the half-year end while I’d missed the scholarships, my friends were leaving too, and yeah, maybe a little escape was good for my mind.

I would not tell the whole stories because I did many things from the day I formally joined the program until finally got home, but the best part was that I met so many friends and people, and had to accept that a farewell is a must sometimes. My best friend got home already and don’t have any idea when will we meet again, haha. Besides the problems I got in the program, so much fun I had back then. Experiencing another living space and environment, mode of transportations, and so on. I was able to take flight to Kimaam, one of many places there and really interesting to be there. Kimaam had some colonial historical buildings and been changed by colonial government years ago. They grew rice and farming since the arriving of them and even now they developed their farming methods by themselves.

luckily I could attend the 40-days-after-death ritual

the sasi ritual on airport conflict

the runway

the port

Of course I missed many because of the program; I couldn’t attend my friends’ wedding (even some close friend!), couldn’t meet another who came to Jogja on their holiday, missed some upgrading programs, and so on. A decision always brought some sacrifice (?) right?

Not aiming to look self-pity, but after all I haven’t achieved anything since then. Still spent much of my time doing anything randomly, wrote randomly, purposing nothing, but tried to always live well. Yeah, there are 9 days to go before we leave this year. Maybe next year will be greater than this one, so let’s hold on to it.

wordsflow

Makassar suatu hari,


Mari sedikit bercerita hal biasa.

Benar, Jakarta tampak romantis hari ini, sebagaimana yang sering pula saya ucapkan lirih dalam hati betapa Jakarta tak pernah nggak romantis untuk saya. Beberapa kali saya menghabiskan waktu seorang diri di Jakarta sebagai wisatawan. Beberapa kali juga saya terpaksa dan dipaksa untuk ditemani seseorang, hingga akhirnya saya dengan sukarela mau menjadi guide untuk beberapa kawan.

Well, some moments recalled another memories kan. Dan tentu saja ada hal-hal yang selalu muncul bersamaan dengan bangkitnya romantisme di dalam diri.

Namun perjalanan yang dilakukan bersama teman selalu terasa jauh lebih cepat dibandingkan hanya dilakukan seorang diri. Tidak ada cukup waktu untuk merenungi perjalanan, untuk berbaper ria dengan kenangan, untuk mengagumi hal-hal biasa, untuk terkesima dengan berbagai hal luar biasa. Waktu terlampaui karena obrolan.

Yah, begitu saja cerita malam ini. Hari ini hari terakhir pertunjukan Teater KOMA, besok TIM sudah akan digunakan oleh Jakarta City Philharmonic. Dua-duanya tidak ada yang saya hadiri. Pun konser teman saya di tanggal 2 Desember nanti tidak akan saya hadiri juga. Bagaimanapun, hidup memang pilihan dan satu hal berimplikasi terhadap hal lainnya, langsung ataupun tidak, suka ataupun tidak. Jadi, let’s get use to it, let’s enjoy!

Ini saya kasih bonus foto-foto selama jalan-jalan kota di Makassar.

di komplek Cina; ruko-ruko model lama, lampion, klenteng, everything looks good

lampion-lampion cantik depan klenteng

bukan spot foto, tapi dinding samping klenteng

langit mendung itu gerah tapi teduh

bonus foto saya yang ciamik yhaaaa