WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Nothingness

random.


Baik sekali kiranya jika pertama-tama saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek bagi teman-teman yang merayakan. Muram sekali bahwa 4 minggu pertama di tahun ini diwarnai dengan berbagai hal yang penuh duka, dari banjir Jakarta, kebakaran hutan dan hujan es di Australia, vulkano, dan virus corona dari China. Untuk itu, mari menjaga diri dan tetap mewaspadai hal-hal yang terjadi secara sadar, apapun itu.

Selama seminggu ini, cukup banyak hal yang juga saya bebankan ke diri sendiri. Saya hampir tidak keluar kosan selama 2 hari libur akhir pekan dan hanya berkutat dengan ponsel sembari menyesali keteledoran saya yang berdampak pada kondisi ponsel saya yang mulai memburuk. Saya tidak menyentuh laptop juga peralatan prakarya, pun buku-buku bacaan. Juga membiarkan barang-barang berserakan begitu saja tanpa berkeinginan untuk merapikan. Kerjaan saya hanya gegoleran di kasur, kanan kiri, kanan kiri, merem, melek lagi, repeat.

Tapi tentunya ada batasan tertentu yang ternyata melekat di diri saya, juga dorongan entah dari mana sehingga 3 jam yang lalu saya bangkit dari kasur, membereskan barang-barang, memasak makan malam, menyeduh kopi, menyelesaikan prakarya yang belum selesai, dan akhirnya membuka laptop ini.

Sudah seminggu saya berhutang resensi buku yang minggu lalu saya selesaikan. Setelah buku itu, belum ada lagi buku yang saya selesaikan meskipun saya nganggur saja selama seminggu.

“Aries is so good in not finishing what they’ve started”

Ketika menemukan ini, meski ramalan zodiak sangat basi, tapi saya sering merasa tertarik untuk membacanya sekadar untuk pengingat atau pemantik. Dan tentu, kalimat di atas cukup menampar saya pada waktunya.

Malam ini saya belum akan menulis resensi, waktunya terlalu mepet karena ini sudah menjelang tengah malam, semoga dalam minggu ini saya bisa posting resensinya.

Kemarin saya menonton 1917. Sejujurnya saya bukan penggemar film perang, lebih karena saya sering nggak sanggup nonton dan sering kepikiran sampai besok harinya. Tapi sebagai film yang banyak dibicarakan dan diulas, juga saya sungguh penasaran dengan scene lari-larian yang ternyata arah larinya paralel dengan bentang parit, akhirnya saya nonton juga.

Agak melompat langsung ke akhir cerita, di sepanjang film saya hampir-hampir tidak merasa sedih sama sekali. Justru lebih ke terpukau, tegang, emosional, nggak karuan, tapi bukan sedih. Saya hanya berkaca-kaca di dua adegan, saat Sco ngasih susu ke bayi, dan yang kedua saat akhirnya bertemu kakaknya Blake. Tapi di samping dua scene itu, dialog di sepanjang film juga sukses membuat saya kepikiran, dan sinematografinya yang terlalu memukau. I just can’t… TT.TT

Well, while try to write more for this post, I looked up for more info about current coronavirus and got terrified about what is happening worldwide. Can’t write more at this post so let me left it like this.

There is one thing I’m worrying about since the virus have been confirmed at Malaysia and Singapore. Most of South East countries confirm that there are suspects. We haven’t found one. Means two things; there isn’t any suspect yet or they failed to identified one. For that, let’s be aware of everything.

wordsflow

Menjadi Jakarta (iii)


Sudah sejak hari Senin lalu saya memendam satu topik untuk saya tuliskan di blog ini. Saya hampir menuliskan perjalanan perkeretaapian saya setelah sejak Februari tidak pernah sungguh saya bahas meskipun perjalanan sudah menjadi rutinitas mingguan atau dua mingguan saya. Kadang malas sekali menuliskan apa-apa atau karena laptop saya yang sudah tidak lagi bisa kooperatif untuk mendukung kebutuhan saya belakangan. She’s been working so hard all this time and I thought I need to move on from her.

Karena lawakan minggu lalu agaknya sudah basi untuk saya tertawakan, jadi cerita perkeretaapiannya saya anulir dulu, menunggu saya dapat topik lain yang menarik. Hehe.

Nah, melanjutkan series tulisan soal ‘menjadi Jakarta’ ini, saya kira Jakarta adalah surganya geliat kesenian sebagaimana Jogja. Betul kata teman saya, barangkali saya hanya belum menemukan komunitas yang menarik perhatian saya atau tempat yang dapat memuaskan saya akan kebutuhan-kebutuhan non fisik semacam berkesenian. Maka dengan semangat seminggu lalu saya iseng menjadi acara di salah satu platform langganan. Tentu yang saya cari adalah event gratisan secara bulan ini saya sedanf mencoba mengubah gaya hidup dan menjadi lebih bijak ((not sure it will works tho)).

Salah satu tempat yang menarik perhatian saya adalah IFI. Sepanjang bulan dia punya acara pemutaran film yang sebetulnya digratiskan untuk orang yang les di sana. Sementara untuk umum berbayar atau, bisa aja ngambil yang gratis di IFI Wijaya. Saya menyempatkan diri beberapa kali mengunjungi tempat itu meski agak sedikit grogi di kunjungan pertama. Usut punya usut, bangunan IFI Thamrin sebelumnya adalah kedutaan sehingga penjagaannya ketat dan harus x-ray. Tapi bapaknya baik dan dia terheran-heran saya mau ke sana ‘hanya’ untuk nonton film. Sendirian pula. Haha.

lobby IFI Thamrin, berharap kapan-kapan bisa nongkrong di sini sebelum gelap

IFI Thamrin sejalanan kaki aja dari Sarinah yang biasa saya pakai untuk transit antara bus GR1 dan TJ untuk menghemat tenaga jalan kaki. Kadang saking sudah setiap hari suka aja mampir Sarinah meskipun cuma beli odol atau atau ambil duit di atm. IFI Thamrin lantas menjadi opsi lain kenapa turun Sarinah selalu menyenangkan.

Pilihan utama saya jatuh ke Taman Ismail Marzuki. Saking seringnya ke sana saya sampai melihat perubahan bertahap dari belum diapain dan sempet nonton di bioskopnya sampai kompleksnya direvitalisasi. Dari jaman jalanannya masih baik-baik saja sampai pohonnya ditebang jadi trotoar dan jalan makin sempit-karena-tetep-buat-parkiran-jadi-tetep-macet.

Surprise sekali karena minggu ini ada serentetan acara Pekan Komponis Indonesia. Bulan kemarin saya skip nonton Jakarta Philharmonic karena harus pulang larut malam dari kantor, padahal saya sudah ada tiketnya (lagi-lagi untung gratis), sehingga yang satu ini semacam ‘pengganti’ buat saya.

Acaranya menarik meskipun saya nggak ngerti-ngerti amat. Tapi lagi-lagi saya terkesan karena ternyata teatrikal sekali yang ditampilkan. Saya juga baru tahu ketika profil masing-masing orang dibacakan, ternyata ISI tersebar di banyak tempat di Indonesia dan karenanya lulusannya punya rasa setempat yang menarik sekali. Salah satu performance yang menurut saya wah sekali adalah pertunjukan berjudul Mangatok oleh Hamidun Syaputra. Ia menampilkan dua orang yang menggubah musik dari suara alami dan instrumen tambahan dari pakaian yang mereka pakai. Saya sangat terhipnotis oleh penampilan keduanya.

babak akhir dari performance

Selepas performance ini, saya teringat Mawang yang sempat viral sekitar sebulan yang lalu. Saya sendiri ngakak nggak ketulungan sewaktu menonton videonya dan benar-benar tertawa setiap teringat Mawang. Tapi setelah melihat ini, yang mana secara konsep tidak jauh berbeda dengan cara Mawang mengekspresikan emosinya, saya jadi mikir barangkali memang poinnya di emosi. Yang sebetulnya membuat Mawang ‘nyebelin’ itu tuh speech di awal sebelum nyanyi. Hahaha.

Well, dengan tulisan ini, saya merasa sedikit terbuka dalam membicarakan kehidupan saya dan upaya menikmati proses untuk ‘menjadi Jakarta’. Tentu saja banyak hal lainnya. Tapi kenapa memilih yang lain jika ada yang semenarik ini, hehe.

Minggu depan sampai akhir bulan ada Festival Teater Jakarta full selama 3 minggu (so much fun!), dan akan jadi hiburan saya yang lain selain badmintonan. Sambil scroll update dari DKJ saya sering mikir sebentulnya beruntung sekali orang-orang Jakarta ini karena punya lembaga dan organisasi seni yang super aktif selama setahun nonstop. Ini belum membicarakan hal-hal yang lain, konser-konser populer atau tempat pameran yang lokasi sedikit-agak-di-luar-Jakarta-jadi-saya-suka-males-ngedatengin.

Terakhir, saya kasih bonus beberapa foto lain dari acara Pekan Komponis Indonesia 2019.

Jaluna oleh Gempur Sentosa
pameran alat musik baru

wordsflow

routines.


Saya selalu menorehkan beberapa kalimat yang paling membekas di ingatan saya. Salah satunya bahwa kebudayaan berkembang karena adanya waktu luang, yang karenanya manusia bisa mengistirahatkan fisiknya dan mengasah kemampuan berpikirnya untuk berinovasi atau menciptakan sebuah pemikiran baru. Saya kira itu benar adanya mengingat sekarang saya cenderung merasa tengah mengalami penumpulan ketajaman berpikir akibat rutinitas harian yang begitu padat hingga tidak menyisakan ruang untuk mengistirahatkan pikiran.

Ada hal-hal yang ternyata tidak sejalan dengan harapan-harapan saya di bulan yang sama di tahun lalu. Jika boleh mengutarakan apa yang sebetulnya saya rasakan, banyak pilihan-pilihan saya yang akhirnya justru menempatkan saya pada keterpurukan yang tidak dapat saya terima dengan lapang dada. Barangkali benar bahwa saya telah cukup berhasil memetakan fluktuasi emosional dan mental saya, namun ternyata di waktu-waktu tertentu saya juga gagal untuk mengontrol kedua hal tersebut pada level yang saya inginkan. Akibatnya, saya terkadang menghabiskan waktu luang bukan untuk mengembangkan cara berpikir saya guna menghadapi perubahan yang tengah terjadi tetapi justru meratapi apa yang tidak saya dapat dan saya lewatkan dalam hidup saya pribadi.

Sebuah kemunduran yang mengecewakan pribadi saya di masa lalu. Saya kira di waktu sebelum ini saya cenderung lebih bersemangat dan berapi-api dalam menjalani sesuatu, tidak pernah berpikir dua kali untuk mengorbankan apapun untuk orang lain (setidaknya seseorang pernah mengatakan ini pada saya) dan mungkin jauh lebih berpengharapan bahwa meski hidup tidak selalu berjalan baik, saya akan selalu mampu melaluinya.

Namun lagi-lagi di tempat seasing ini saya dihadapkan pada kenyataan bahwa saya tidak memiliki sesiapapun untuk mengadukan hal-hal yang mungkin menimpa saya sehari-hari. Saya tidak memiliki tempat bernaung seasik Satub untuk dijadikan tempat perlindungan dan obat segala penyakit hidup yang menimpa saya. Akhirnya saya harus berkali-kali menerima kekalahan dalam menghadapi egoisme diri soal betapa mampunya saya dalam mengalahkan banyak hal.

Dalam perseteruan batin dengan diri sendiri, saya juga lagi-lagi harus menerima bahwa kini saya merupakan bagian dari sebuah kesatuan besar yang sedang diprotes oleh manusia satu negara ini. Posisi ini begitu sulitnya saya rasakan sampai kadang saya merasa begitu tidak berguna. Haha. Getir.

Tentu bukan tanpa hal baik bahwa terkadang saya bersyukur memiliki partner yang memiliki pemikiran yang sejalan dan selalu bisa diajak bekerja sama. Tapi dia tidak akan lama tinggal karena tidak memiliki kontrak yang sama dengan saya; sesuatu yang saya sayangkan dan pada saat yang bersamaan juga saya syukuri bahwa seterusnya dia tidak akan mengutuki diri sendiri sebagaimana yang saya lakukan.

Dan saya kira persoalan benar dan salah tetap menjadi perkara yang terus membebani pikiran saya. Hidup bukan hanya soal konsekuensi, bahwa di waktu tertentu ada hal-hal moralis yang lebih sering mengganggu pikiran dibandingkan apa-apa yang mampu dianalisis dan diperkirakan. Entahlah, saya semakin tidak punya keyakinan dengan pikiran saya sendiri.

Tapi buat sesiapapun yang tetap menjadi pembaca halaman ini, saya kira menakar hal-hal yang bertebaran di kanal-kanal media sosial membuat sesiapapun turut frustasi. Tentu apa-apa yang disajikan di sana tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan atau kita ekspektasikan sebagai sesuatu yang seharusnya terjadi. Terus menerus dikecewakan dan merasa dikelabui oleh kata-kata dan harapan-harapan. Begitu memiliki kesempatan untuk mengutarakan pendapat atau menanggapi fenomena lebih merasa frustasi oleh komentar-komentar yang terlontar. Semakin tidak memiliki tempat.

Dan baiklah agaknya saya cukup mampu mencuri 20 menit ini untuk menulis di sini. Sembari pelan-pelan menyadari bahwa tiap-tiap orang tidak menakar sesuatu dengan cara yang sama, bahwa cara saya membebani pikiran tidak memiliki tempat di pikiran orang lain dan sebaliknya, bahwa permasalahan saya dengan pekerjaan tidak otomatis menjadi permasalahan bersama, dan seterusnya. Tidak juga mengeluh dan bermuram durja akan selamanya menolong saya mempertahankan prinsip-prinsip hidup saya yang mulai kehilangan pegangannya.

Betul barangkali, saya pikir rutinitas memang membunuh.

wordsflow

Shoplifter


From several months ago, I remember it was at the end of the year, the first time I heard about this movie title, and sadly I didn’t get any chances to watch it after several times trying to see the movie screening. But yeah, thanks God that we have the free channel to watch good movies for free, hehe, so that I finally could have it for myself today.

You know, I need 5 minutes to recover after seeing the final scene. Every part of it was really touching and even after hours I still feel the after-effect strongly. Maybe because I feel that it was too true to be just being a film, or it touched something inside me yet making me unable to stop thinking about it.

Their simplicity of loving, and their view toward a family somehow left a big hole in my chest, too sweet yet bitter at the same time. No words could describe it better than that.

wordsflow

selingan


Soal Kemuning, mari kita lewati dulu sampai yah, beberapa waktu ke depan. Saya kira saya butuh lebih dari sekedar imajinasi untuk meneruskan cerita itu dengan asik.

Well, saya baru saja membeli kuota internet 50gb yang muncul sebagai promo dan tanpa ragu membelinya. Karenanya internet saya tidak akan putus selama di kosan. Yeeyyy.

Saya mau bercerita tentang moda transportasi saja ya malam ini.

Belakangan saya suka sekali bepergian dengan angkutan umum, terutama sekali kereta. Selama 4 bulan terakhir misalnya, saya sudah mengunjungi begitu banyak stasiun, dari Tasik, Kroya, Purwokerto, Pekalongan, Semarang, Solo Jebres, Bandung, Jakarta, Bogor, dan beberapa stasiun transit lainnya. Cukup takjub dengan pilihan-pilihan stasiun dan kelas kereta yang saya gunakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan lebih menarik lagi ketika harus berebut tiket murah, memantau tanggal dan hari, memilih kursi, bersiasat untuk mencari waktu terbaik, rute terbaik, dan harga paling murah di saat semua orang lain juga menginginkan hal yang sama. Ritme ini lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan sebelumnya.

Belakangan saya juga memaksa diri untuk lebih menyukai hal-hal yang meresahkan atau bahkan yang cenderung tidak saya sukai sebelumnya. Bagaimanapun perasaan itu tidak akan mengubah keadaan faktualnya. Jadi mari mencari kesenangan di sela-sela kemuraman.

Salah satu kabar baiknya, saya menemukan klub badminton baru dengan jarak tempuh yang tidak begitu jauh. Lalu keinginan-keinginan baru mulai muncul, dan melalui satu dan lain cara mencoba menghidupkan ritme lama yang terlanjur begitu melenakan. Saya memaksakan diri untuk mengadopsinya ke ruang saya yang baru tapi tidak boleh terlalu nyaman hingga membuat saya lupa jalan pulang.

Dan saya sudah mengantuk. Kita sambung lain waktu.