WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Films

Kim Ji-Young, Born 1982


Masih segar di ingatan saya, baru semalam kami menontonnya. Sejak sebulan yang lalu praktis saya tidak menyentuh bioskop, antara bingung memilih tontonan hingga alasan tidak ingin mengeluarkan uang atau sekedar ingin segera rebahan. Meski demikian setiap hari saya membuka tutup aplikasi pembelian tiket nonton, juga memantau update film terbaru, juga review orang-orang.

Lalu film ini. Poster film ini muncul beberapa saat yang lalu. Di waktu saya sedang asik-asiknya mengulik kegiatan di sekitaran Jakarta yang bisa saya kunjungi.

Di antara kami bertiga, saya dan dua rekan sekantor saya, hanya saya yang belum menikah. Saya tetap anak tengah di antara mereka berdua. Dan sementara mereka sudah menikah selama 2-3 tahun lamanya, hanya saya yang barangkali belum bisa relate dengan kehidupan rumah tangga. Meski demikian, di atas obrolan mengenai rumah tangga, selalu lebih asik membicarakan mengenai perempuan di tengah memanasnya perdebatan mengenai feminisme, poligami, dan privilege kelas menengah.

Maka ketika film ini muncul pertama kali, baik saya maupun kedua teman kantor sama-sama tertarik sekali untuk menontonnya di bioskop. Sehingga kemarin, kami bergegas pulang untuk mengejar penayangan film ini sebelum hari semakin larut.

Membicarakan perempuan selalu relevan dari masa ke masa. Saya selalu menemukan sesuatu yang baru dari pembicaraan mengenai perempuan. Barangkali lebih karena pada faktanya, banyak perempuan yang akhirnya saling mencaci dan meributkan perjuangan sesama perempuan lain. Pada kasus ini, antara prihatin dan bodoh amat dengan semua hal itu.

Saya menangis deras di beberapa scene film dan secara keseluruhan saya berkaca-kaca saat menontonnya. Ada banyak hal yang menyentil saya sebagai seorang perempuan, anak, calon ibu, atau bahkan entitas bernama manusia. Barangkali intensi yang ditawarkan oleh film tidak sejauh itu, tapi penerimaan seseorang atas film selalu manasuka. Kita barangkali sulit didikte soal kesan, karena kita ‘merasakan’ film itu, ‘mengalaminya’, seolah film itu adalah penjelasan dari suatu bagian hidup yang tidak terjelaskan sebelumnya. Ya, kira-kira begitulah saya melihat deretan film yang saya tonton.

Pengalaman memang sebaik-baiknya guru. Tapi jika saya lebih bijak, pemahaman adalah juga guru terbaik.

Ketika keluar bioskop, banyak hal yang saya semogakan. Tidak ingin terlalu khawatir, tidak ingin terlalu bingung, atau bahkan tidak ingin terlalu erat menggenggam harap. Sangat menyenangkan bahwa perlahan cara saya ‘merasa’ menjadi sedikit berubah. Seolah seperti melihat matahari terbit di puncak gunung untuk pertama kalinya, atau hal-hal sederhana tetapi membuatmu berbunga. Ya begitulah kira-kira, sejauh ini.

Hal semacam itu menjadi bukti bahwa saya bertumbuh, meski sedikit saja.

wordsflow

5 Centimeters per Second (ii)


Mari melipir dari topik penting sejenak ya, saya sedang sungguh malas berpikir.

Berdasarkan hasil survey stats blog, saya menemukan beberapa postingan yang paling sering dibuka. (Ini bagian favorit saya, saya selalu bisa memantau feed blog saya yang agak padat, hehe) Salah satu yang cukup mengejutkan adalah review alay saya soal film 5 Centimeters per Second yang saya buat tahun 2011, weeww (link here). Padahal postingannya sendiri sangat tidak substansial menurut saya. Tapi yah, ada beberapa kalimat yang saya pikir lebih bijak dibanding cara pikir saya hari ini. Postingan ini cukup ramai loh, bahkan menuai banyak komen nggak penting ala anak ABG. Hehe.

Oh, time passed by.

Lalu, kenapa saya berkeinginan untuk membahasnya lagi? Karena ternyata oh ternyata, saya rasa saya salah memahami cerita di dalamnya.

5 Centimeters per Second itu bukan cuman ada animenya saja, tapi dibuat komik dan novelnya. Si novel tidak pernah saya baca tapi saya pernah menghabiskan komiknya secara online. Alasan sebenarnya karena saya sejujurnya nggak terima dengan cerita yang ngambang gitu. Yha padahal semua animenya Makoto Shinkai begitu sih, apa boleh buat. Setidaknya anime ini ada penjelasannya di komiknya.

Topik yang mau diangkat sebetulnya itu soal rasa penasaran (sepertinya). Saya ingat hampir mati bosan ketika menonton bagian pertamanya. Tapi berhubung saya anak yang melankolis, akhirnya saya bertahan hingga bagian satu selesai. Ada teman saya yang menyerah loh, saya sampai sedih karena bahkan dia nggak tertarik dengan grafisnya. Oke lanjut. Cerita kedua sebetulnya yang paling seru dan paling berwarna dibandingkan yang lain. Agak aneh karena judulnya Cosmonaut. Saya hanya menduga kalau Makoto Shinkai ini terobsesi banget sama kereta, astronomi (di semua filmnya begitu, Voices of a Distant Stars salah satunya), dan nuansa langit gitu lah, makanya hampir semua anime besutannya punya nuansa yang sama.

Nah, dari ketiga bagian 5 Centimeters per Second itu, semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu menunggu. Acara menunggu ini sudah jadi hal paling melankolis untuk orang-orang yang punya masalah perasaan. Why it took you so long? Jawabannya cuman satu sih, penasaran. Yaa barangkali begitu mungkin, sampai-sampai Makoto menggambarkan si tokoh utamanya jadi nggak berperasaan gitu di ending.

Curcol dikit. Saya pikir saya agak mirip sih. Orangnya penasaran sampai-sampai nggak berani mencoba sesuatu karena masih memikirkan hal yang, bahkan nyata pun belum tentu. Padahal ya mungkin cukup potensial untuk melangkah lebih jauh atau lebih tinggi. Tapi akhirnya terperangkap di situ-situ aja karena dikungkung oleh pikiran sendiri. Ciehh. Damn.

Yang begitu ya, dilihat tampak nggak rasional, tapi memang sering kali begitulah adanya. Ah, saya jadi ingat mau ngobrolin rasio.

Kemarin kapan saya membaca postingan teman saya soal rasionalitas ini (buka sini). Saya juga punya pertanyaan yang sama dan juga mengira-ngira sih. Tapi saya terganggu dengan istilah itu. Memperdebatkan rasionalitas itu mungkin lebih masuk kalau membahas juga soal akar katanya. (Padahal saya belum pernah baca Webber, Habermas, dkk itu) Dan maafkan karena sebetulnya saya juga nggak paham-paham amat soal tulisan rekan saya.

Kata rasio kan sederhananya adalah perbandingan dua hal yang merujuk pada nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai alasan atas pilihan yang diambil nggak sih? Berarti ada setidaknya dua perkara yang coba diperbandingkan untuk membahas apakah sesuatu itu rasional atau tidak. Dalam konteks yang dibahas rekan saya, yaitu soal efisiensi, variabel pembandingnya menjadi banyak dan bisa jadi tidak terhingga. Agaknya, nalar rasional ini menjadi tampak irasional karena individu yang mencoba merasionalisasi tindakannya mereduksi atau membatasi variabel masing-masing hingga ke pokok yang paling sederhana. Mencoba merasionalisasi nonton film sebagai sesuatu yang terkait dengan efisiensi menjadi agak sulit dibahas kalau hal yang dicoba diperbandingkan nggak jelas. (Hemm, gini nggak sih maksudnya?)

Kalau yang dibahas soal efisiensi ini berhubungan dengan sumber daya secara keseluruhan, barangkali cara membahasnya menjadi terlalu sederhana jika harus mengaitkan antara hal-hal segala hal itu. (Oh, saya nggak paham tapi sok ingin membahas)

Herbert Marcuse menyatakan bahwa dalam memenuhi rasionalitas yang berbasis efisiensi tersebut, manusia pada akhirnya berubah menjadi makhluk irasional. Seluruh upaya rasional manusia akhirnya justru berujung pada hasil-hasil irasional.

Itu yang dicatat si teman. Kalau mencari contoh efisiensi yang menuju irasionalitas, lha bukannya teknologi tuh contoh paling mudah ya? Segala pembagian kerja dan pengembangan teknologi kan untuk mencari waktu luang dan kemudahan. Tapi nyatanya begitu manusia memiliki waktu luang, mereka justru tidak berhenti bekerja dan malah menambah jam kerja. Melompati dimensi ruang dan waktu, akhirnya kita sampai pada era konsumerisme yang gegap gempita ini. Hidup kita kek balapan, sumber daya minim, tapi segalanya diproduksi berlebihan. (Yang begitu bukan sih contoh yang dimaksud?)

Walhasil, muncul manusia-manusia bingung yang mencoba mendedah kembali makna rasionalitas dan efisiensi karena kok kayaknya sudah jauh dari pengertian yang kita pahami. Atau, barangkali yang perlu dibreakdown tuh konsep subsistensi itu tadi. Hehe.

Hemm, kita bahas lebih lanjut nanti saja lah yaaa. Mari kembali ke urusan rasionalitas yang lain tadi.

Yah, begitulah kira-kira manusia. Sukaa aja memilih hal yang barangkali tidak lebih menguntungkan secara keseluruhan. Itu tadi, soalnya yang diambil sebagia variabel pembanding adalah hal-hal yang sudah difilter dengan ketat oleh subjeknya. Makanya dilihat dari luar tampak membingungkan dan irasional, padahal ya kalo dari perspektif pelaku barangkali itu bisa sangat rasional.

Akhirnya kerandoman postingan ini berakhir di sini. Hehe. Selamat tengah malam lah yaa. Besok saya kasih topik yang lebih menarik, hehe.

wordsflow

The Handmaid’s Tale


Saya jarang sekali membahas mengenai film. Boleh jadi saya masuk golongan yang tidak terlalu peduli dengan film, dan cenderung memilih kartun atau animasi untuk ditonton. That’s how I missed the fun part, hehe.

Tapi belakangan saya menonton film. Beberapa film. Terakhir saya menyempatkan diri menerima ajakan nonton Murder on The Orient Express, salah satu cerita karangan Agatha Christie yang paling saya suka. Btw, saya baru tahu kalau suami Agatha Christie seorang arkeolog, dan dia sering ikut si suami penelitian. There she got enough data for her story, right? Ketika saya membacanya, alih-alih menontonnya, saya begitu terpesona dengan ceritanya. Tapi ada hal yang berbeda antara membaca dan menonton film.

Dalam buku, sulit membuat ekspresi terceritakan karena proses bercerita membutuhkan waktu, sehingga ada jarak antara kemunculan ekspresi dan munculnya imaji di dalam pikiran pembaca. Readers need more imagination than how it seems. Apalagi penulisnya. Film dapat mengekspresikan citra, suara, dan momen dalam satu waktu yang sama. Buku harus melakukannya secara berurutan. Jadi, bukankan sebetulnya novel itu sangat menawan jika mengingat segala kesulitan itu?

Cerita itu mengajarkan hal yang cukup gamblang (disebut juga berulang kali dalam film) bahwa satu kejadian bisa menghancurkan banyak jiwa, dan akhirnya menimbulkan dendam. Not only happen in the film. We have that thing every day in our life. Hanya tarafnya saja yang berbeda. Hurting and being hurt is like a natural thing, but it shouldn’t be like that for God sake.

So, am I the good person here? No, I am hurting some people around me too, I have to accept. I just never heard they talked about it directly in front of my eyes.

Lalu, bagaimana si Handmaid’s Tale ini?

Jika saya masih dalam tahap ribut-ribut mendefinisikan perasaan dan sekitarnya, film ini sudah jauh beranjak ke hal yang barangkali tidak terpikirkan. Berlatar di Amerika, ketika itu bayi sudah tidak dapat lahir dengan mudah di seluruh dunia, populasi menurun karena angka kelahiran yang kecil. Beberapa bayi yang lahir tidak dapat bertahan karena kondisi yang buruk. Demi ‘menyelamatkan’ dunia, beberapa orang penting (saya lupa sebutannya apa) mengubah cara hidup mereka.

Para perempuan yang subur dan mampu melahirkan diambil sebagai orang yang akan melahirkan generasi selanjutnya. Mereka dikirim ke rumah-rumah para majikan untuk melahirkan anak-anak mereka. Sangat menarik karena mereka menggunakan kitab suci sebagai dasar berubahnya cara hidup. And they totally thought they did something good.

Tidak ada nama asli bagi para handmaid, mereka mendapat nama dari majikannya. Misal majikannya bernama Fred, mereka akan dipanggil Of-Fred (Offred). Tugas mereka sulit, ditinggikan namun bukan pemilik kekuasaan. Dan target utama mereka hanya satu, menghasilkan anak untuk majikan mereka.

Terlepas dari apapun yang terjadi di dalam film ini, saya menikmati menjadi orang ketiga serba tahu. Sama seperti membaca buku, feels like I know everything, and I can relate to anything I want. But then I realize that I am not the author either. Seperti itu juga hidup. Barangkali saya merasa paling tahu apa yang terjadi di sekitar saya, lagi-lagi, I’m not the author, I’m just a reader.

Seeing film was like learning to change our perspective. Life is not an exact phase, there are something else ahead. Something we never know unless it happen. Again, it made me thought that every time, I’m not the main actress of this life. We are the actor and actress in our own, but beyond that, we are merely someone else in anyone’s life.

“How to make somebody live forever?”

“When they are being remembered by the peoples who love them. As simple as that.”

wordsflow

Temple Grandin


Saya ragu ketika pertama kali membuka file mengenai film tersebut mula-mula. Namun mengingat saya membuka film itu atas rekomendasi seorang teman, maka saya melanjutkan menonton tanpa berekspektasi terlebih dahulu di awal.

Temple sangat menarik sebagai perempuan di mata saya. Dia sangat membahagiakan untuk dilihat, demikian saya lebih suka menyebutnya dibanding mengistilahkannya dengan kata ‘ceria’. Ah sebelumnya, jika ada pembaca yang belum menonton filmnya, silakan menonton dulu kalau tidak ingin saya ganggu dengan review singkat ini, hehehe.

Ketika film baru dimulai, saya menduga-duga cerita macam apa yang akan dibawakan oleh film itu. Lalu apa yang membuatnya istimewa untuk menjadi sebuah film?

Saya jarang menonton film yang dibintangi manusia sungguhan dan lebih suka menghabiskan waktu menyelami dunia-dunia anime yang buat saya jauh lebih dalam dibandingkan film-film yang ada. Temple berbeda, film ini adalah sebuah biografi. Dan sejauh yang saya ingat pula, film yang berdasar pada kisah nyata selalu dan akan selalu memukau saya. A Beautiful Mind, The Theory of Everything, Silent of the Lamb, Snowden, ah dan banyak lainnya selalu bisa membuat saya terpukau. Kisah itu adalah kenyataan yang dinyatakan tanpa pernyataan. Hanya sebuah tampilan sebagaimana kita melihat manusia-manusia lain di keseharian kita. Mewujudkan kemanusiaan mereka sebagai manusia biasa yang berjuang dan melawan hidup.

Manusia-manusia seperti Temple hampir tidak pernah saya temui di dalam hidup. Semua orang yang saya kenal adalah mereka yang berada pada kondisi paling sempurnanya. Hanya dua orang yang seingat saya memiliki kekhususan dalam dirinya, dua-duanya saya kenal ketika masih sekolah dasar. Hingga sekarang saya tidak pernah tahu apa yang membedakan mereka dari kami semua yang menyatakan diri normal saja.

Temple Grandin sangat mengagumkan. Ia memahami bahwa dirinya autistic dan terus berproses sedemikian rupa untuk berdamai dengan kondisinya, tanpa kehilangan masa depannya. Hal semacam itu, adalah sesuatu yang sayangnya tidak saya akrabi selama ini.

Banyak kondisi-kondisi di masa lalu saya yang tidak saya gunakan dengan baik. Waktu yang saya buang untuk hal yang tidak seberapa berguna. Salah menentukan prioritas. Tidak tepat dalam menentukan pilihan-pilihan. Terlalu memikirkan banyak hal yang tidak sungguh layak dipikirkan. Dan akhirnya kehilangan mimpi-mimpi dan tidak mampu memilih di antara begitu banyak pilihan.

Seorang Temple tidak memiliki kekhawatiran semacam itu dalam hidupnya. Ia hanya berusaha terus melakukan hal-hal yang ia sukai, melakukan hal-hal yang menyenangkan, bersungguh-sungguh, dan terus memperjuangkan hal-hal itu sepenuh hati. Dibandingkan dengan begitu banyak manusia yang mengumbar pendapat mengenai hidup yang ideal, saya pikir idealitas mereka tidak sejujur apa yang terjadi pada Temple. Tipu daya saja semuanya. Palsu saja semuanya. Ketidakyakinan saja semuanya.

Tapi tentu saja, ada manusia-manusia yang hidup dengan kemanusiaan yang tulus, dengan keyakinan yang besar, dengan kesenangan yang utuh. Dan ada manusia lain yang tidak mempercayai bahwa ada hal-hal semacam itu di dunia ini. Lalu sebagian lain memilih berada di irisan keduanya, atau menyingkir sama sekali untuk tidak akan bersentuhan dengan kutub ekstrem itu.

Mungkin tulisan ini masih palsu saja. Mungkin saya sebenarnya tidak sungguh mengagumi hal-hal itu. Mungkin saya juga masih begitu ambisiusnya seperti sebelumnya. Mungkin saya hanya berpura-pura. Sering kali orang lebih merasa nyaman meyakini bahwa orang lain berpura-pura bersikap baik, atau sesungguhnya mereka memiliki maksud lain. Entahlah.

Ada banyak hal yang sederhana saja, sesederhana kehidupan Ernest dan Ethel yang ceria, kadang berlinang air mata, kadang penuh kekhawatiran, kadang penuh rasa syukur. Biasa saja.

Apakah hal yang biasa saja itu lantas tidak dalam dan tanpa makna? Saya kira berpikir demikian sama halnya menyatakan kesombongan. Anehnya, tidak ada determinasi tertentu yang dapat digunakan untuk menstandarisasi sebuah kehidupan. Proseslah yang paling nyata dibandingkan semuanya. Karena ia niscaya dan abadi keberadaannya. Terangkum kesemuanya dalam tiga hal saja; lahir, berproses, lalu mati. Sudah begitu saja mungkin.

Beberapa mencapai kemanusiaannya, beberapa bertahan menjadi pecundang, beberapa menolak untuk sekedar menjadi manusia, beberapa yang lain dibutakan hal-hal yang seharusnya hanya sebatas sarana, beberapa tidak tahu apa-apa, beberapa menerima saja segalanya, dan terus beberapa-beberapa yang lainnya. Dan sudahlah, malam telah semakin larut saja.

Untuk yang belum menonton, ini saya kasih linknya.

https://indoxxi.net/movie/temple-grandin-2010-subtitle-indonesia-pxe

wordsflow

Anime Vibes and Everything Behind


“Kok kamu bisa gambar sih?”

Pertanyaan itu beberapa kali disampaikan teman-teman saya ketika mendapati karya saya atau melihat saya sedang menggoreskan pensil di atas kertas. Tidak bisa disangkal, kehidupan perkomikan saya di masa SMP lah yang membawa saya menjadi diri saya hari ini. Mungkin hal itu juga yang membuat saya memberikan ruang tersendiri kepada pengarang-pengarang komik kesukaan saya, cerita-cerita kesukaan saya, hingga akhirnya saya mengenal anime.

Ada komik seri yang sangat saya sukai, dan tidak banyak saya kira yang mengikuti komik ini. Judul komiknya Q.E.D., dan dibandingkan Conan yang kala itu sangat populer, dia jauh lebih sedikit penggemarnya. Sebagai komik yang juga mengangkat tema detektif, maka ia tenggelam di bawah bayang-bayang popularitas Conan. Tapi, mari saya ceritakan mengapa saya katakan itu komik yang paling mempengaruhi hidup saya.

*Date by RADWIMPS is playing*

Saya suka hitung-menghitung sejak kecil. Saya agak lupa bagaimana bisa saya bertemu Q.E.D., tapi kalau tidak salah ingat saya melihat deretan komik itu di tempat peminjaman komik di depan SMP saya. Berbeda dengan Conan, Q.E.D. tidak sekedar menawarkan cerita detektif yang sulit dipecahkan, namun juga ilmu pengetahuan, terutama matematika dan astronomi. Saya mengenal rumus Euler dari sana, mampu menghafal bilangan phi juga dari sana, tahu lubang hitam bahkan dari sana, memahami geometri, dedekind cut, menghitung bilangan prima, atau berbagai urusan lainnya yang berhubungan dengan matematika, praktis saya pelajari dari komik itu. Pun, saya pernah meletakkan impian kuliah saya di MIT karena komik itu. Menelusuri tragedi penyihir Salem juga saya ketahui dari komik itu.

Secara keseluruhan, bisa dibilang komik itulah yang menjadi penunjuk jalan saya selama jenjang SMP hingga pertengahan SMA. Hingga akhirnya Motohiro Katou ini menulis komik yang juga bertema detektif dengan tokoh yang berbeda dan dengan latar penceritaan yang berbeda, C.M.B. Sekali lagi Motohiro Katou berhasil mengubah saya dengan manawarkan komik detektif berlatar arkeologi. Saya kurang tahu seberapa besar popularitas kedua komik ini, yang jelas keduanya mengubah hidup saya dan cara pandang saya.

Saya ingat pernah bertengkar dengan ibu saya karena membaca komik menjadi hal yang menyita waktu luang saya ketika SMP. Ibu saya kala itu menganggap bahwa komik tidak membawa pengaruh apapun dalam hidup, bahkan tidak memberi manfaat dan malah memberikan kerugian. Tentu saja saya marah dengan pernyataan itu, karena sungguh, saya belajar sangat banyak karena berteman akrab dengan dunia perkomikan di kala itu.

Pun begitu dengan menggambar. Saya mempelajari geometri dari komik, dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan saya menggambar karena berharap bisa membuat komik sendiri. Bahkan, ke-Jepang-an itu muncul dan saya pegang teguh hingga masa akhir SMA saya ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kesempatan beasiswa ke Jepang. Sayang sekali dua kali mendaftar saya tidak diterima. Pun demikian dengan cita-cita saya masuk MIT menjadi hal yang begitu jauh ketika saya menyadari bahwa kampus impian saya itu mustahil sekali saya masuki. Lebih-lebih ketika saya tahu dari film A Beautiful Mind bagaimana MIT itu sebetulnya. Tetap saja, saya masih terkagum-kagum menyadari bahwa saya pernah sungguh bermimpi bisa masuk ke kampus itu.

Lebih dari itu, hingga hari ini saya masih menikmati berbagai judul komik yang saya ikuti sejak SMP. Banyak yang masih terus saya baca meskipun saya sudah hafal betul dengan dialog yang ada di dalamnya. Kadang ketika saya ingat bahwa saya ternyata belajar banyak dari komik, saya sadar bahwa mungkin pendidikan bukan hal yang sungguh-sungguh memacu saya untuk melakukan hal-hal di hidup saya. Bisa jadi motivasi itu memang sangat sederhana. Bahkan tidak pula datang dari keinginan untuk membahagiakan keluarga.

Lalu SMA, saya bertemu dengan Ghibli, yang juga mengubah hidup saya. Mungkin memang saya cenderung lebih suka film kartun atau anime dibandingkan dengan film-film Hollywood. Entah mengapa. Saya pun menghabiskan semua film Ghibli selama masa SMA saya dengan mengobrak-abrik tempat DVD bajakan setiap hari Minggu untuk mencari film-film itu. Saya ingat pernah juga berramai-ramai menghabiskan seri Code Geass dengan kerumitan politiknya.

Lalu, di pertengahan kelas 2 SMA, seorang senior cowok saya, tiba-tiba mempopulerkan anime 5 cm per Second. Sebuah anime yang berisi 3 cerita mengenai satu orang tokoh utama. Yang luar biasa adalah, judul itu tidak hanya dibuat anime-nya saja, namun juga ada komik dan novelnya. Sebagai seorang yang doyan anime, yang saya dan teman-teman kritisi waktu itu adalah kemampuan Makoto Shinkai dalam mengolah anime yang dia buat. Kabar-kabari dari senior-senior saya, itu adalah one man project-nya Makoto Shinkai. Saya tidak pernah mencari tahu soal ini, karena saya hanya peduli betapa keren yang ia kerjakan dengan anime itu.

Hayao Miyazaki dan Makoto Shinkai kemudian menjadi dua orang yang saya kagumi di dunia per-anime-an. Sementara anime seri lain yang populer bahkan tidak pernah saya tonton, meskipun sangat ingin memahami ceritanya, misalnya saja One Piece atau Samurai X. Yah, sejauh yang bisa saya ingat, hanya Code Geass dan Death Note yang saya tonton dari episode 1 hingga episode terakhirnya dengan khidmat.

Jepang, menjadi negara impian saya sejak SMP, dan saya pikir kegagalan saya mendapat beasiswa ke negara itu adalah akhir dari impian saya bertandang ke Jepang sebagai seorang mahasiswa. Bagaimanapun waktu tidak dapat diulang, saya akan terus bertambah tua kan. Demikian, angan-angan untuk datang ke Jepang tidak lagi membawa semangat menggebu-gebu seorang pelajar seperti saat saya masih SMP atau SMA dulu.

Meskipun demikian, entah karena alasan apa, suatu hari saya mencari secara iseng di Youtube tentang ‘8 Anime yang wajib kamu tonton’. Beruntung sekali karena daftar saya yang terakhir saya selesaikan kemarin ketika film Koe no Katachi bisa ditonton secara streaming. Meski setelah itu saya menambah daftar anime wajib lagi hingga jumlahnya menjadi 100, hehe.

Inti dari cerita ini apa?

Nggak ada, saya hanya mau cerita tentang hal lain yang sangat mempengaruhi hidup saya melebihi yang saya pikirkan sebelumnya. Ternyata saya pernah berpegangan pada impian-impian besar, bukan melulu pada perasaan terhadap seseorang. Mungkin tulisan ini juga efek saya maraton anime kemarin siang, mengulang Kimi no Na Wa. dan Hotarubi no Mori e. Padahal anime, tapi saya selalu berhasil tersentil dengan sangat dalam oleh mereka, sial.

*Nan Demonai Ya is playing in background*

Dan, lagi-lagi anime tidak bisa dipisahkan dari soundtracknya. Begitulah yang kemudian membuat saya berulang kali memutar lagu-lagu Joe Hisaishi, Cecile Corbel, dan akhirnya RADWIMPS. Anime vibes ini tidak juga berakhir. Jadi, mari tenggelam semakin dalam.

wordsflow

*

Akhirnya saya menulis lagi, hahahahaha. Sudah lama saya ingin mereview hal-hal yang saya suka. Anggap saja saya sedang memberi review Q.E.D. Sungguh, komik itu sangat layak untuk dikoleksi.