WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Question

heading up to nowhere


Suddenly wanting to write in English but only for this opening paragraphs since I don’t write nor speak well in the language.

Knowing that probably things not gonna change for following months (I mean yeah, quarantine will just continue), and the spirit to keep up with works getting less interesting lately, I’m feeling kind of lack of adrenaline. You see, back then I was chasing over something, and at the final stage realized that I’m not good enough in the field, so I begin to doubt myself. I turn to get excited on other thing when talking about field work because it does challenging, but things wasn’t going in my favor so that I have to compromise. And to accept finally that things indeed changed and nothing I can do because I am mere a staff.

Still, fancying a bit about what might come next, I can’t help myself to feel excited although I now that I don’t have the ability to do it, probably. Been dreaming on one and other thing, also to realize that actually I’m only 28yo which means there should be long way ahead. I could learn much then. But this is the question after all, what I want to learn next?

Well, almost positive for me that I never intent to mastering anything, nor to be precise I wasn’t able to mastered anything in particular. To be a master of something means being passionate about it, never stop exploring what might hidden and keep developing the skill needed and recreate yet transform the previous finding to the new one. But besides being so, I merely satisfied after reaching the starting point. I was not even try to take one tough step and aiming to advancing.

So, this must be the core question i should ask myself during this quarantine; where am I heading to–where do I want to lead myself into.

tentang hari kemarin.


Manusia terpisah sepenuhnya dengan apa-apa yang tidak pernah dialami olehnya. Tapi kita punya hal-hal yang bisa membantu kita untuk memahami dan berempati, pertama adalah imajinasi, dan kedua adalah memori.

saya yang kemarin

Baiklah kita mulai tulisan ini dengan sebuah sempalan pemikiran yang tiba-tiba mampu saya sarikan dari permikiran saya yang yah, rumit. Saya katakan demikian karena selama sekian lama saya meyakini bahwa imajinasi dan kemampuan manusia untuk berkesenian merupakan hal yang amat sangat penting dalam fungsinya untuk membantu kita merencanakan, melakukan, dan memaknai hidup tapi saya selalu bingung menyarikan pemikiran itu ke dalam kalimat yang mudah dipahami. Walhasil, perbincangan mengenai hal tersebut atau diskusi-diskusi yang terbentuk sebatas pada ungkapan kegelisahan saya tanpa betul-betul mampu saya jelaskan kenapa pernyataan itu muncul, tujuan adanya diskusi tersebut, dan apa korelasinya dengan hidup.

Kebetulan sekali saya baru membaca Sapiens setelah saya anggurin selama satu tahun terakhir. Tidak jauh berbeda dengan semua buku yang membicarakan tentang evolusi makhluk hidup dengan sengaja atau tidak kemudian membahas manusia sebagai pokok perbincangannya, kesemuanya menempatkan ‘kemunculan’ manusia atau dalam bahasa lebih kerennya adalah evolusi manusia sebagai sesuatu yang menurut saya, absurd. Dengan fakta-fakta yang terkumpul bahwa pembentukan manusia murni sebagai sebuah proses evolusi yang tidak sengaja, dimana geraknya juga mana suka dan bahkan perkembangannya juga tidak terduga, saya merasa bahwa yah, kita ini biasa saja. Sebatas buah dari ketidaksengajaan semesta.

Saya tentu akan dikutuk oleh manusia beriman di hari ini jika dengan entengnya berkata demikian, tapi mari akui hal itu. Meski demikian, begitu saya mencoba untuk memasuki keyakinan bahwa manusia tercipta sebagai proses evolusi, ada bagian diri saya yang berontak dan menafikkan fakta itu. Pertama, disamping karena dengan mencoba meyakininya saya menjadi insecure, saya juga tidak suka karena dengan demikian, saya jadi menganulir proses berpikir yang saya lakukan sekarang ini, detik ini. Apa sebab? Karena jika memang evolusi berjalan begitu saja dan mana suka, artinya tidak ada hal khusus yang sebetulnya ditujukan untuk individu atau makhluk tertentu karena jelas, semua orang memiliki kesempatan berkembang yang sama sebagaimana yang lainnya. Saya hanya buah ketidaksengajaan; lalu saya ini apa?

Anehnya, pada saat yang bersamaan pernyataan barusan juga secara tidak langsung mempercayai bahwa akan ada individu atau entitas tertentu yang punya daya juang dan daya lesat jauh mengungguli entitas lainnya. Bukankah itu jadi membingungkan karena perdebatan ini akhirnya juga saya debat kembali dengan pernyataan yang berlawanan. Kadang saya berhenti membaca sesuatu karena kegelisahan saya meningkat dan tidak tertanggungkan. Seperti misalnya mencoba mendalami Sapiens dan mempertanyakan “Apa jangan-jangan pada akhirnya hidup sebegitu tidak ada gunanya? Bahwa kita betul-betul tanpa kecuali hanya sebatas satu makhluk biasa di antara 7 milyar yang lainnya”.

Beruntungnya, Harari tidak berhenti sampai di awal penjelasannya tentang manusia. Masih ada bab-bab lain yang akan bisa menjelaskan kegelisahan saya dan mungkin menjawab pertanyaan eksistensial saya yang sampai hari ini belum juga terjawab oleh diri saya sendiri. Tapi secara singkat pusat kegelisahan saya memang hanya pada tahap kemunculan dan proses pembentukan spesies kita. Jadi yah, bagian selanjutnya tidak serta-merta menenangkan pemikiran saya, pada akhirnya. Hehe.

Well, anggaplah kemudian bahwa beberapa paragraf di atas adalah permulaan dari pembahasan saya lebih lanjut tentang hal-hal yang saya pikirkan. Postingan ini hanya sebatas ingin menjelaskan tentang pernyataan di awal mengenai pentingnya imajinasi dan seni–setidaknya begitulah yang saya bayangkan.

Pertama-tama, semua ini bermula karena kegelisahan saya ketika sedang mengambil studi lintas jurusan lantas begitu sering mendapatkan pertanyaan mengenai alasan saya mengambil studi demikian. Kadang terasa begitu naif ketika menjawab bahwa saya ingin mempelajari hal yang saya suka atau setidaknya membuat saya penasaran. Toh akhirnya saya juga berakhir di bangku ini menjadi pekerja kantoran dan melakukan kerja-kerja harian yang menurut kebanyakan orang membosankan.

Tapi bukan itu persoalannya. Beberapa kali dalam perbincangan saya dengan sahabat saya sejak kecil memunculkan kesadaran bahwa inti perkembangan kita ada pada akhirnya soal imajinasi. Bahwa sebagaimana yang juga dikatakan oleh Harari, Diamond, Marx, atau banyak tokoh antropologi, sosiologi, atau bahkan tukang dongeng sekalipun, kesemuanya, secara langsung maupun tidak langsung berkata bahwa manusia berkembang dan mengembangkan kemampuannya atas dasar mitos, imajinasi, atau harapan-harapan tentang sesuatu yang tidak ada, belum mewujud, sesuatu yang baru akan ada di masa depan. Itu juga berlaku pada keinginan untuk berkreasi maupun dalam aspek apapun yang dilakukan manusia di dunia ini.

Jadi, eksistensi kita tidak berhenti sebatas pada apa yang saya lakukan sekarang. Bahwa saya menjadi pekerja kantoran dan rela duduk 8 jam dalam sehari melakukan hal monoton yang membosankan tidak serta merta menurunkan makna saya sebagai individu. Pun tidak lantas seseorang lain yang mungkin memiliki keseharian yang jauh lebih dinamis menjadi orang yang bermakna lebih dibandingkan dengan saya yang biasa saja.

Pada titik inilah kemudian saya tersadar bahwa demikian, dalam posisi apapun kita tidak lantas menjadi entitas yang sekadarnya saja, yang bukan menjalani sesuatu karena memang begitulah jalan yang harus kita lalui, bukan sebuah ketidaksengajaan yang mana suka lagi karena kita bukan organisme tanpa kesadaran. ‘Kepasrahan’ pada jalan hidup yang akhirnya kita terima bukan pada persoalan apa yang dikasih, lagi-lagi semua ini bermula dari apa yang kita imajinasikan tentang sesuatu yang ingin kita dapatkan. Bingung nggak?

Saya bayangkan misal pada kurikulum pendidikan yang menghilangkan pendidikan keterampilan dan belakangan ilmu sosial, akan secara perlahan menghilangkan kemampuan kita untuk menciptakan dan berempati karena kita pelan-pelan kehilangan imajinasi tentang itu. Pengembangan kreativitas atau ‘ekstraksi’ imajinatif kita akan sesuatu, misalnya dalam menciptakan kerajinan, bermusik, atau hal-hal non-praktikal dan keilmuan lainnya sebetulnya membantu kita mencerminkan eksistensi kita pada sesuatu di luar diri, apapun itu. Pada benda mati, pada hasil karya kita, pada entitas lain, pada manusia lain, pada maha luasnya alam semesta, atau pada fananya tubuh manusia.

Sebetulnya ini juga semacam repetisi pemikiran internal saya setiap kali kecemasan meningkat. Ada hal-hal yang tetap istimewa bagi saya sebagai sebuah entitas tunggal, bahwa misalnya, saya bisa mencintai satu orang secara khusus di hidup saya. Atau jika benar kita sebegitu tidak berguna, ada begitu saja dan tanpa tujuan, setidaknya saya masih bisa melihat ketersesatan itu dialami banyak orang secara bersama-sama. Dan oleh karenanya kita menjadi sesuatu setidaknya untuk satu sama lainnya.

Persoalan imajinasi ini menjadi sebuah pokok pemikiran saya dan juga untuk menjelaskan kenapa saya butuh media untuk mengekspresikan pemikiran saya atau hal-hal yang saya pikirkan untuk mewujud di dunia ini. Misalnya alasan-alasan kenapa saya tetap menulis, mengerjakan hal-hal kecil seperti merajut, menggambar, membuat buku, berimajinasi, mengarang cerita, atau bahkan bermimpi dan membangun cita-cita baru, pada dasarnya adalah upaya untuk menjadikan perjalanan hidup tidak sekadar soal penerimaan. Pun dengan berbagai upaya pengembangan imajinasi itu dan memperkaya pengalaman hidup apapun, saya memiliki bekal yang cukup untuk menempatkan diri pada posisi entitas lain yang ingin saya pahami.

Tapi kemudian harus saya sampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksud mengajak kalian untuk melakukan sesuatu atau beralih menyetujui pendapat saya. Lagi-lagi semua ini saya tuliskan untuk menenangkan keresahan eksistensial saya sebagai manusia dan sebagai individu dan karenanya, biarkan saya cukup puas dengan penjelasan ini.

Saya hanya merasa menemukan sesuatu yang sebelumnya berada pada posisi ‘sepertinya saya paham tapi sulit menjelaskan’. Barangkali rangkaian kalimat ini masih begitu membingungkan untuk pembaca sekalian, atau ternyata kalian anggap sebagai ‘oh, itu mah aku juga paham’. Untuk itu harus saya katakan bahwa saya tidak masalah dengan apapun yang kalian pikirkan. Petualangan saya untuk mempertanyakan hal-hal dan mencari jawabannya toh tidak akan berhenti hanya dengan penjelasan ini. Barangkali–siapa yang tahu?–ini hanyalah hal-hal yang saya percayai sejak saya pahami hingga saya selesai mengetikkan semuanya, hehe. Tapi begitulah, memang kita akan terus menerus dibelenggu oleh pertanyaan eksistensial. So cheers!

wordsflow

sebuah utas


Barusan saya membaca satu utas di twitter tentang mental illness.

Saya sering kali takjub dengan cara orang membahas suatu hal, menanggapi, mengaitkan dengan kondisi sekitar, membandingkan satu kasus dengan kasus lainnya, menarik kesimpulan, memberi sanggahan, atau pada akhirnya mencaci-maki suatu bahasan.

Belakangan memang self-diagnose sedang populer di media sosial. Sekiranya saya juga pernah melakukannya di manapun, misal di platform ini atau platform lainnya, saya minta maaf jika itu justru mengganggu teman-teman. Tapi mari membahas itu.

Begini, sebagai orang yang pernah mengambil tes kesehatan jiwa beberapa kali, merasa punya gangguan mental, hingga akhirnya betul-betul pernah ke psikolog, harus saya katakan bahwa orang-orang dengan gejala gangguan mental sering melakukan hal-hal yang menarik perhatian. Meski harus juga saya perjelas di awal bahwa saya bukan dokter jiwa jadi hal-hal yang saya sampaikan sebatas yang pernah saya alami saja ya.

Kecemasan sudah menjadi barang umum di sekitar saya dan mendapat sambutan hangat dari teman-teman saya begitu saya menginjak jenjang magister. Orang mendewasa dengan permasalahannya masing-masing yang mengubah skala prioritas atas masing-masing permasalahan ini. Beberapa kali kami sharing masalah hingga ke pembahasan pada inti-inti masalahnya. Cukup menarik karena salah seorang teman saya betul-betul menegosiasikan permasalahannya untuk mencari jalan keluar terbaik yang ia bisa. Hasilnya, segalanya berjalan lebih baik dari yang kami harapkan.

Dari begitu banyak obrolan saya dengan orang lain, beberapa hal yang bisa saya bagi adalah begini,

  1. Kita adalah orang yang paling mengenal diri sendiri. Hal-hal yang terjadi di hari ini bukanlah hasil dari waktu yang singkat, tapi menyejarah dan memiliki alur. Maka, penelusuran mengenai ini penting untuk dilakukan agar memahami hal-hal yang membentuk kita, titik balik dari masing-masing fase hidup, untuk akhirnya sampai pada inti persoalan eksistensi kita di dunia ini.
  2. Meski saya juga kurang sependapat, psikolog saya bilang bahwa segala hal yang kita rasakan adalah ekspresi dan reaksi atas apa yang masuk dan kita proses dalam pikiran. Jadi, berhentilah memikirkan hal-hal yang rumit atau hal-hal yang pada dasarnya belum memiliki kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Kadang kita lebih mudah termakan pikiran sendiri sementara faktanya toh tidak serumit itu.
  3. Chill. Atur diri sebelum memberikan reaksi. Tidak bertindak ketika marah atau sedih. Kalaupun harus, saya pikir hal-hal semacam itu bisa diekspresikan atau ditaruh di tempat-tempat khusus biar kita bisa memetakan perjalanan emosional kita sendiri.
  4. Meditasi dan hipnotis. Ini bagian yang belum saya selesaikan dan sayangnya harus saya tinggalkan karena satu dan lain hal. Tapi sudah pernah berhasil meskipun butuh lebih dari itu.

Intinya, saya ingin bilang bahwa tidak ada orang yang bisa bebas dari rasa cemas. Yang ada kita berkompromi dengan berbagai hal itu. Saya pikir bagian ini yang paling susah karena bukan hanya harus sampai pada tahap aksi, tapi sebelumnya kita harus betul-betul menggali tanpa ampun sumber-sumber permasalahan, lantas mengakuinya dengan berani dan berkompromi dengan apapun itu.

Saya menulis ini bukan dalam rangka sok pamer dan sok keren soal permasalahan ini. Tidak ada yang suka punya mood yang jelek, gangguannya banyak dan cenderung susah menahan hal-hal. Saya cukup beruntung memiliki ruang untuk membuang uneg-uneg dan menjadi diri saya sendiri. Saya katakan demikian karena banyak juga yang berakhir membebani orang di sekitar tentang persoalan ini.

Untuk bagian terakhir ini, saya berterima kasih kepada orang-orang yang pernah menjadi tumpuan saya dengan mau mendengarkan dan menerima uneg-uneg itu, mendengarkan dan merelakan dirinya saya seret paksa ke keruwetan pikiran saya. Tapi saya suka, saya cukup puas dengan proses ini.

Dan untukmu, sesiapapun yang belum sampai pada dasar galianmu, mari kita berjalan bersama. 🙂

Tabik.

The Cost of Friendship


Kadang-kadang saya sebel juga kalau sadar bahwa saya cenderung lebih suka menulis judul dalam bahasa Inggris. Atau sering kali merasa bahwa ada hal-hal yang jauh lebih jelas tersampaikan ketika menggunakan bahasa Inggris. Hemm, agaknya saya perlu memperbanyak kosakata dan belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Oke, itu selingan.

Sewaktu jalan-jalan sore tadi, topik ini tetiba mampir ke pikiran saya karena beberapa latar belakang. Pertama, seorang yang sangat berjasa menghidupi diri saya selama saya melakukan pengambilan data lapangan di Makassar tetiba menghubungi saya karena akan datang ke Jogja dalam waktu dekat. Kedua, sahabat karib-tapi-sering-berantem saya akhirnya punya ponsel baru dan kami video call sore ini. Ketiga, seorang teman yang saya pikir memahami saya ternyata memiliki kepribadian tekstual yang berbeda terhadap saya. Keempat, ada orang yang baru bertemu dan bekerja sama dengan saya pertama kalinya akhirnya menjadi orang yang paling sering saya ajak main. Kelima, ada teman yang bertahan sangat lama bahkan ketika kami hanya pernah bertemu sekali saat bazaar bersama. Dan rupa-rupa pertemanan lainnya yang kadang saya pikir dekat ternyata sejauh satu detik cahaya. Kadang ada orang yang saya pikir jauh sekali ternyata memiliki komposisi pikiran dan perasaan yang serupa dengan saya dan barangkali yang paling mengerti diri saya.

Pertanyaannya, apakah berteman membutuhkan pengorbanan-perngorbanan agar pertemanan itu tetap berjalan baik?

Ada banyak rupa-rupa pertemanan memang. Terkadang justru mereka yang paling sering kita temui justru bukan orang yang paling dekat dan paling tidak memahami. Terkadang orang yang baru pertama kali kita temui menjadi orang yang paling menyenangkan untuk diceritakan keluh kesah dan bersama mereka kita merasa tidak sendirian. Seolah-olah begitu banyak orang di dunia ini yang pernah berpapasan dengan kita toh tidak membuat kita merasa memiliki teman.

Anehnya, memang anggapan ini sering membuat saya pribadi merasa terombang-ambing.

Ada anggapan bahwa karena orang yang paling dekat mengerti betul apa yang terjadi dengan kita, bagaimana kepribadian kita, bagaimana daya juang kita, bagaimana etos kerja kita, dan sebagainya, maka mereka akan berlaku sesuai pemahaman mereka tentang diri kita. Saya akhirnya berpikir bahwa bukan ketidakpedulian yang sedang ditunjukkan oleh orang-orang yang kita anggap tidak peduli ini, terkadang yang mereka berikan justru ruang bagi kita untuk berbenah dan menemukan sendiri apa yang sedang kita butuhkan.

Suatu hari seorang junior saya yang tingkat kedewasaannya dalam menghadapi berbagai masalah harus saya akui berada jauh di atas saya pernah ditanya orang anggota baru. “Apa pahitnya masuk Satub?” Dia menjawab, “Kamu tidak bisa memilih teman. Siapa yang mendaftar, siapa yang sudah ada, dan siapa yang akan datang, itulah orang-orang yang akan menjadi temanmu, bagaimanapun bentuknya”.

Ada masa ketika saya beranggapan bahwa tidak ada wujud pertemenan murni di mana kita terikat oleh rasa kebersamaan yang erat dan perasaan saling membutuhkan yang pekat. Hal itu karena saya cenderung merasa bahwa orang-orang di sekitar saya berusaha untuk mengambil keuntungan-keuntungan dari pertemenan yang kami jalin. Sekecil apapun wujud keuntungan itu.

Tapi kembali ke sisi yang berbeda. Benarkah demikian? Benarkah saya juga tidak berusaha untuk mengambil keuntungan-keuntungan dari pertemanan yang saya bangun?

Entahlah. Silahkan menilai sendiri. Tapi saya memiliki kepuasan-kepuasan tersendiri pada setiap pertemanan yang saya bangun. Kadang-kadang ada dorongan untuk menuntut hal-hal yang saya idealisasikan dalam sebuah pertemanan. Tapi di waktu yang lain saya merasa begitu antagonis posisinya dalam hubungan pertemanan ini.

Kontradiksi-kontradiksi semacam ini kerap terjadi. Bahkan sering kali terjadi bersamaan di mana bagian baik dari diri saya menimbang dengan kebijaksanaannya sebagai manusia dan seorang teman. Sedangkan sisi antagonis saya muncul sebagai sosok yang cenderung apatis, oportunis, dan sinis.

Lagi-lagi itu soal lain di balik hal-hal yang akhirnya saya lakukan dalam hidup. Barangkali ada kebaikan yang sebetulnya berpijak pada pikiran yang busuk. Bahwa di saat yang lain ada kesalahan yang sebetulnya bernaung di bawah niat yang baik. Selalu ada masa-masa semacam itu.

Tapi pertemanan tidak usai meskipun kita lupa mengucapkan ulang tahun di hari lahirnya. Tidak menghadiri wisudaannya. Tidak saling berkirim pesan tujuh hari dalam seminggu. Tidak saling tahu kemana kaki melangkah dan pikiran terbang. Tidak menghabiskan waktu berdua sekali seminggu. Tidak menjadi yang paling sempurna dan berguna. Tidak menjadi orang yang melulu enak dipandang. Tidak menjadi orang yang selalu satu pendapat. Tidak menjadi orang dalam kondisi-kondisi lain yang berseberangan.

Pertemanan berjalan tanpa dipikirkan. Bahwa ada orang yang tidak pernah menyapa setelah empat belas tahun dan bertemu lagi ternyata tidak membuat kita kekurangan bahan pembicaraan. Bahwa ada teman yang sempat berselisih paham ternyata pada pertemuan selanjutnya ada hal yang tetap dirindukan. Bahkan ketika ada rasa kebencian, toh pertemuan tidak melulu melipatgandakan.

Sejauh yang saya pahami, selama pikiran tidak mengkhianati maka pertemanan menjadi hal yang tanpa definisi. Seperti mencintai ((eaaa)). Ia akan berjalan begitu saja tanpa rencana. Seperti seorang yang sudah begitu lama tidak berjumpa dan tetiba menyapa di keramaian penumpang kereta. Seperti seorang yang tetiba menyapamu dengan nama kecil di kota yang berbeda. Seperti seorang yang kamu pikir hilang begitu saja kembali masuk ke rutinitas hidupmu.

Begitulah kadang kita tidak perlu menimbang apapun soal pertemanan. Bahwa setiap orang mengambil keuntungan dari hubungan-hubungan adalah niscaya. Tapi sejauh tidak ada pengkhianatan, akan selalu ada ruang untuk tetap bersama. Untuk tetap berada.

Tapi terserah kamu saja, soal seberapa dalam kita ingin saling menghujam di sudut hati masing-masingnya. Pada akhirnya, selalu ada kesan-kesan yang bisa kita simpan dan tidak terhapuskan. Begitu saja sudah cukup untuk menuai bibit pertemanan. Sisanya tinggal seberapa rela kita merawat dan mempercayai arus takdirnya.

wordsflow

saya dan arsitektur


Sudah lebih dari 2 tahun saya menyelesaikan studi arsitektur saya, dan hari ini sebuah pertanyaan tiba-tiba terbersit di dalam pikiran saya.

Masihkah saya layak disebut sebagai lulusan arsitektur?

Seminggu yang lalu saya bertukar cerita dengan Tamimi, rekanan saya di jurusan dulu yang hingga hari ini masih menggeluti arsitektur. Dia orang keren. Amat sangat jauh dengan saya, dia mendalami arsitektur tanpa berhenti belajar, baik dalam bidangnya maupun hal-hal lainnya. Sejak lulus, sahabat saya ini langsung masuk konsultan dan tentu saja, sudah ada beberapa karyanya yang dibangun. Bukan hanya itu, dia berani menantang diri sendiri untuk masuk ke hal-hal yang barangkali, kalo saya tidak akan mencobanya. Hahaha. Kami sempat membicarakan rencana-rencana ke depan. Dibandingkan dengan saya, dia lebih teguh untuk tetap mengambil studi magister di jurusan yang sama; arsitektur.

Lebih jauh lagi, teman-teman saya yang begitu lulus langsung melanjutkan ke studi kini bahkan mulai memperkenalkan bironya sendiri-sendiri. Beberapa dibangun secara mandiri, namun tidak jarang yang saling berkolaborasi. Ada juga teman-teman saya yang sudah mulai kembali ke kampus untuk menjadi dosen. Dan tentu saja, masih sangat banyak teman-teman saya yang lainnya yang masih ada di jalur itu dengan berbagai prestasi mereka yang luar biasa.

Apa gerangan yang menyebabkan pertanyaan itu muncul?

Adalah kerjaan saya membuat konsep dan mempersiapkan pameran selama seminggu belakangan ini. Saya ingat masa-masa kuliah saat harus begadang mengerjakan tugas. Padahal tugas itu sudah diberikan jauh-jauh hari. Jauuuuuh sekali. Dan selalu saja saya baru mulai mengerjakannya di waktu-waktu yang mepet.

Kadang-kadang saya masih bertanya-tanya kenapa saya begitu malas masuk kuliah ketika itu. Padahal banyak sekali hal menyenangkan di kampus yang bisa saya kerjakan. Lantas saya juga menggali ingatan tentang teori-teori yang selama ini saya pelajari di kampus.

Nihil. Saya lupa sekitar 70% dari kuliah yang saya peroleh. Yang tersisa hanya pengetahuan dasar terutama pada soal konstruksi dan sirkulasi; dua hal yang paling saya suka dari mendesain. Sisanya, termasuk di dalamnya kuliah tentang estetika dan sebagainya itu, sulit saya ingat kecuali masa-masa ketika saya tidak sepakat dengan dosen saya.

Saya memang ingat semua desain yang pernah saya buat selama kuliah. Namun ketika saya membuka dokumennya di laptop, tidak banyak yang saya temukan di sana. Hahaha. Sudah saya tidak punya kamera, pun semua kerjaan saya masih saya kerjakan manual. Satu-satunya desain yang saya digitasi hanyalah Tugas Akhir. Masa-masa tersulit saya dalam hidup agaknya. Bahkan saya ragu masa menulis thesis nanti akan lebih sulit dari itu.

Cita-cita saya sederhana sebetulnya, saya hanya ingin membangun rumah tinggal sendiri. Untuk itulah saya berupaya untuk menjadi arsitek. Barangkali hal itu sangat tidak masuk akal untuk hari ini. Di saat segala hal sifatnya sangat komersil, menjadi arsitek rumah tinggal sama halnya bunuh diri karena tidak akan banyak yang diperoleh, bahkan untuk hidup pun belum tentu cukup. Tapi saya masih menganggap hal itu sebagai cita-cita yang layak untuk saya kejar. Dan sangat layak untuk saya perjuangkan.

Tapi bagaimana cara mencapainya?

Sejak lulus, saya hampir tidak pernah menyentuh arsitektur. Saya tidak pernah update dengan arsitek-arsitek terkenal di hari ini, saya tidak kenal arsitek di Indonesia, saya tidak tahu karya-karya hebat, dan lebih parah lagi saya tidak memperkaya pengetahuan saya pada ranah arsitektur dan teknologi bangunannya. Dibanding membaca semua hal itu, saya cenderung lebih suka membaca novel klasik, atau menonton anime.

Di waktu-waktu seperti inilah saya menghadapkan diri pada pilihan untuk berhenti berarsitektur atau tetap memegang cita-cita saya sebagai arsitek rumah tinggal.

Pertanyaannya, bagaimana memastikan bahwa saya ‘berhenti’ atau ‘tetap bercita-cita’? Parameternya tidak ada, dan variabelnya pun tidak jelas.

Barangkali, ini bukan persoalan berhenti atau tidak, lanjut atau tidak. Saya pikir hal semacam ini lebih pada soal kecintaan. Cieeh. Maksudnya, sebagai orang yang selalu sulit menjatuhkan pilihan, ada ketidakrelaan di dalam diri untuk melepaskan arsitektur dan sepenuhnya berpindah ke antropologi. Saya terus menerus dengan jumawanya mengatakan ke diri sendiri bahwa lintas jurusan tidak pernah salah, pada dasarnya semua ilmu cocok satu sama lain. Saya mendua memang, tapi saya mencintai kedua studi itu.

Ada banyak hal di arsitektur yang belum tuntas saya pelajari dan barangkali tidak akan pernah tuntas selamanya. Demikian juga di antropologi ada begitu banyak hal yang tidak bisa saya padu-padankan dengan studi arsitektur, tapi itulah tugas yang saya petakan untuk diri sendiri.

Tidak jarang saya tersenyum senang ketika ada yang memuji kenekatan saya mengambil lintas jurusan meski tidak memiliki latar belakang yang sungguh mendukung (saya belum pernah penelitian sama sekali!). Tapi sebetulnya saya mengirikan status ‘arsitek’ yang sungguh-sungguh disandang teman-teman saya yang telah berkarya. Sedangkan saya belum berhasil menelurkan satu karya arsitektur pun. Hahaha.

Dan begitulah. Saya sering meledek diri sendiri karena pemalas luar biasa dan akhirnya hanya bisa melihat orang lain berkembang dari jauh. Saya rindu diskusi-diskusi arsitektur, hehe. Tapi saya orang yang selalu ragu memastikan partner terbaik. Jadilah saya ngobrol dengan sesiapa yang bisa saya temui.

Kabar baiknya, saya ternyata masih bersemangat membuat maket dan masih paham skala. Bahkan setelah tangan pegal dan tengkuk sedikit nyeri, saya ternyata tidak bad mood dan nggak mutung. Sementara, itu saja sudah lebih dari cukup untuk memastikan bahwa masih ada harapan untuk saya dan arsitektur.

Tabik.

wordsflow