Manusia terpisah sepenuhnya dengan apa-apa yang tidak pernah dialami olehnya. Tapi kita punya hal-hal yang bisa membantu kita untuk memahami dan berempati, pertama adalah imajinasi, dan kedua adalah memori.
saya yang kemarin
Baiklah kita mulai tulisan ini dengan sebuah sempalan pemikiran yang tiba-tiba mampu saya sarikan dari permikiran saya yang yah, rumit. Saya katakan demikian karena selama sekian lama saya meyakini bahwa imajinasi dan kemampuan manusia untuk berkesenian merupakan hal yang amat sangat penting dalam fungsinya untuk membantu kita merencanakan, melakukan, dan memaknai hidup tapi saya selalu bingung menyarikan pemikiran itu ke dalam kalimat yang mudah dipahami. Walhasil, perbincangan mengenai hal tersebut atau diskusi-diskusi yang terbentuk sebatas pada ungkapan kegelisahan saya tanpa betul-betul mampu saya jelaskan kenapa pernyataan itu muncul, tujuan adanya diskusi tersebut, dan apa korelasinya dengan hidup.
Kebetulan sekali saya baru membaca Sapiens setelah saya anggurin selama satu tahun terakhir. Tidak jauh berbeda dengan semua buku yang membicarakan tentang evolusi makhluk hidup dengan sengaja atau tidak kemudian membahas manusia sebagai pokok perbincangannya, kesemuanya menempatkan ‘kemunculan’ manusia atau dalam bahasa lebih kerennya adalah evolusi manusia sebagai sesuatu yang menurut saya, absurd. Dengan fakta-fakta yang terkumpul bahwa pembentukan manusia murni sebagai sebuah proses evolusi yang tidak sengaja, dimana geraknya juga mana suka dan bahkan perkembangannya juga tidak terduga, saya merasa bahwa yah, kita ini biasa saja. Sebatas buah dari ketidaksengajaan semesta.
Saya tentu akan dikutuk oleh manusia beriman di hari ini jika dengan entengnya berkata demikian, tapi mari akui hal itu. Meski demikian, begitu saya mencoba untuk memasuki keyakinan bahwa manusia tercipta sebagai proses evolusi, ada bagian diri saya yang berontak dan menafikkan fakta itu. Pertama, disamping karena dengan mencoba meyakininya saya menjadi insecure, saya juga tidak suka karena dengan demikian, saya jadi menganulir proses berpikir yang saya lakukan sekarang ini, detik ini. Apa sebab? Karena jika memang evolusi berjalan begitu saja dan mana suka, artinya tidak ada hal khusus yang sebetulnya ditujukan untuk individu atau makhluk tertentu karena jelas, semua orang memiliki kesempatan berkembang yang sama sebagaimana yang lainnya. Saya hanya buah ketidaksengajaan; lalu saya ini apa?
Anehnya, pada saat yang bersamaan pernyataan barusan juga secara tidak langsung mempercayai bahwa akan ada individu atau entitas tertentu yang punya daya juang dan daya lesat jauh mengungguli entitas lainnya. Bukankah itu jadi membingungkan karena perdebatan ini akhirnya juga saya debat kembali dengan pernyataan yang berlawanan. Kadang saya berhenti membaca sesuatu karena kegelisahan saya meningkat dan tidak tertanggungkan. Seperti misalnya mencoba mendalami Sapiens dan mempertanyakan “Apa jangan-jangan pada akhirnya hidup sebegitu tidak ada gunanya? Bahwa kita betul-betul tanpa kecuali hanya sebatas satu makhluk biasa di antara 7 milyar yang lainnya”.
Beruntungnya, Harari tidak berhenti sampai di awal penjelasannya tentang manusia. Masih ada bab-bab lain yang akan bisa menjelaskan kegelisahan saya dan mungkin menjawab pertanyaan eksistensial saya yang sampai hari ini belum juga terjawab oleh diri saya sendiri. Tapi secara singkat pusat kegelisahan saya memang hanya pada tahap kemunculan dan proses pembentukan spesies kita. Jadi yah, bagian selanjutnya tidak serta-merta menenangkan pemikiran saya, pada akhirnya. Hehe.
Well, anggaplah kemudian bahwa beberapa paragraf di atas adalah permulaan dari pembahasan saya lebih lanjut tentang hal-hal yang saya pikirkan. Postingan ini hanya sebatas ingin menjelaskan tentang pernyataan di awal mengenai pentingnya imajinasi dan seni–setidaknya begitulah yang saya bayangkan.
Pertama-tama, semua ini bermula karena kegelisahan saya ketika sedang mengambil studi lintas jurusan lantas begitu sering mendapatkan pertanyaan mengenai alasan saya mengambil studi demikian. Kadang terasa begitu naif ketika menjawab bahwa saya ingin mempelajari hal yang saya suka atau setidaknya membuat saya penasaran. Toh akhirnya saya juga berakhir di bangku ini menjadi pekerja kantoran dan melakukan kerja-kerja harian yang menurut kebanyakan orang membosankan.
Tapi bukan itu persoalannya. Beberapa kali dalam perbincangan saya dengan sahabat saya sejak kecil memunculkan kesadaran bahwa inti perkembangan kita ada pada akhirnya soal imajinasi. Bahwa sebagaimana yang juga dikatakan oleh Harari, Diamond, Marx, atau banyak tokoh antropologi, sosiologi, atau bahkan tukang dongeng sekalipun, kesemuanya, secara langsung maupun tidak langsung berkata bahwa manusia berkembang dan mengembangkan kemampuannya atas dasar mitos, imajinasi, atau harapan-harapan tentang sesuatu yang tidak ada, belum mewujud, sesuatu yang baru akan ada di masa depan. Itu juga berlaku pada keinginan untuk berkreasi maupun dalam aspek apapun yang dilakukan manusia di dunia ini.
Jadi, eksistensi kita tidak berhenti sebatas pada apa yang saya lakukan sekarang. Bahwa saya menjadi pekerja kantoran dan rela duduk 8 jam dalam sehari melakukan hal monoton yang membosankan tidak serta merta menurunkan makna saya sebagai individu. Pun tidak lantas seseorang lain yang mungkin memiliki keseharian yang jauh lebih dinamis menjadi orang yang bermakna lebih dibandingkan dengan saya yang biasa saja.
Pada titik inilah kemudian saya tersadar bahwa demikian, dalam posisi apapun kita tidak lantas menjadi entitas yang sekadarnya saja, yang bukan menjalani sesuatu karena memang begitulah jalan yang harus kita lalui, bukan sebuah ketidaksengajaan yang mana suka lagi karena kita bukan organisme tanpa kesadaran. ‘Kepasrahan’ pada jalan hidup yang akhirnya kita terima bukan pada persoalan apa yang dikasih, lagi-lagi semua ini bermula dari apa yang kita imajinasikan tentang sesuatu yang ingin kita dapatkan. Bingung nggak?
Saya bayangkan misal pada kurikulum pendidikan yang menghilangkan pendidikan keterampilan dan belakangan ilmu sosial, akan secara perlahan menghilangkan kemampuan kita untuk menciptakan dan berempati karena kita pelan-pelan kehilangan imajinasi tentang itu. Pengembangan kreativitas atau ‘ekstraksi’ imajinatif kita akan sesuatu, misalnya dalam menciptakan kerajinan, bermusik, atau hal-hal non-praktikal dan keilmuan lainnya sebetulnya membantu kita mencerminkan eksistensi kita pada sesuatu di luar diri, apapun itu. Pada benda mati, pada hasil karya kita, pada entitas lain, pada manusia lain, pada maha luasnya alam semesta, atau pada fananya tubuh manusia.
Sebetulnya ini juga semacam repetisi pemikiran internal saya setiap kali kecemasan meningkat. Ada hal-hal yang tetap istimewa bagi saya sebagai sebuah entitas tunggal, bahwa misalnya, saya bisa mencintai satu orang secara khusus di hidup saya. Atau jika benar kita sebegitu tidak berguna, ada begitu saja dan tanpa tujuan, setidaknya saya masih bisa melihat ketersesatan itu dialami banyak orang secara bersama-sama. Dan oleh karenanya kita menjadi sesuatu setidaknya untuk satu sama lainnya.
Persoalan imajinasi ini menjadi sebuah pokok pemikiran saya dan juga untuk menjelaskan kenapa saya butuh media untuk mengekspresikan pemikiran saya atau hal-hal yang saya pikirkan untuk mewujud di dunia ini. Misalnya alasan-alasan kenapa saya tetap menulis, mengerjakan hal-hal kecil seperti merajut, menggambar, membuat buku, berimajinasi, mengarang cerita, atau bahkan bermimpi dan membangun cita-cita baru, pada dasarnya adalah upaya untuk menjadikan perjalanan hidup tidak sekadar soal penerimaan. Pun dengan berbagai upaya pengembangan imajinasi itu dan memperkaya pengalaman hidup apapun, saya memiliki bekal yang cukup untuk menempatkan diri pada posisi entitas lain yang ingin saya pahami.
Tapi kemudian harus saya sampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksud mengajak kalian untuk melakukan sesuatu atau beralih menyetujui pendapat saya. Lagi-lagi semua ini saya tuliskan untuk menenangkan keresahan eksistensial saya sebagai manusia dan sebagai individu dan karenanya, biarkan saya cukup puas dengan penjelasan ini.
Saya hanya merasa menemukan sesuatu yang sebelumnya berada pada posisi ‘sepertinya saya paham tapi sulit menjelaskan’. Barangkali rangkaian kalimat ini masih begitu membingungkan untuk pembaca sekalian, atau ternyata kalian anggap sebagai ‘oh, itu mah aku juga paham’. Untuk itu harus saya katakan bahwa saya tidak masalah dengan apapun yang kalian pikirkan. Petualangan saya untuk mempertanyakan hal-hal dan mencari jawabannya toh tidak akan berhenti hanya dengan penjelasan ini. Barangkali–siapa yang tahu?–ini hanyalah hal-hal yang saya percayai sejak saya pahami hingga saya selesai mengetikkan semuanya, hehe. Tapi begitulah, memang kita akan terus menerus dibelenggu oleh pertanyaan eksistensial. So cheers!
wordsflow