Salah satu bagian dari kegiatan jalan-jalan yang paling saya senangi adalah bercerita. Entah kepada diri sendiri, atau sesiapa yang bersedia mendengarkan.
Namun demikian, agaknya cerita itu akan saya tunda sejenak, karena ada hal-hal lain yang ingin pula saya sampaikan.
Benar, ini soal kesempatan-kesempatan yang hilang dalam suatu rentang waktu.
Sebuah pepatah pernah mengatakan bahwa setiap orang adalah pencipta takdirnya sendiri, tanpa kecuali. Betul kemudian jika kita tidak meminta untuk dilahirkan. Barangkali sama betul dengan yang disampaikan Dodit di salah satu shownya kalau kita lahir secara otodidak. Kita lahir dan memilih sendiri timeline yang sesuai dengan diri kita. Kita mempelajari kesemua hal seorang diri.
Itulah kemudian yang barangkali membuat kita tidak pernah sungguh terlambat untuk memulai sesuatu, atau mengambil kesempatan di waktu apapun untuk diri sendiri.
Bicara soal kesempatan, belakangan ada sangat banyak keran-keran kesempatan yang terbuka lebar di hadapan saya. Amat sangat banyak hingga saya sering dibuat bingung dalam memilih mana yang paling saya inginkan, paling pas, atau paling membuka peluang ke depannya. Seperti bermain catur barangkali. Langkah pertama bisa menentukan meskipun tidak sepenuhnya menjadi patokan.
Beberapa dari kesempatan itu ternyata berada di posisi prioritas meskipun saya cukup terseok mengikutinya. Beberapa bahkan saya paksakan dalam kemendesakkannya dan menjadi sesuatu yang sesungguhnya sambil lalu saja pada akhirnya.
Kadang-kadang saya masih mengecewakan diri sendiri, terkadang mengejutkan diri sendiri pula. Rasanya bahkan seolah orang yang ini bukan orang yang saya hidupi selama 26 tahun lamanya. Sungguh menarik. Pun melelahkan.
Tentu kejutan-kejutan dari diri sendiri menyenangkan untuk dirasakan. Di sela-selanya, banyak juga (bahkan lebih banyak) harapan yang tidak mewujud menjadi kenyataan. Bohong sekali jika mengatakan bahwa sepenuhnya baik-baik saja. Setidaknya ada sekelebat rasa kecewa karena harapan-harapan yang akhirnya mulai mengeliminasi diri dengan sendirinya dari daftar panjang itu.
Di lapis kedua atas kesempatan-kesempatan itu, ada bentuk kesempatan-kesempatan lain yang jauh lebih tidak dapat diprediksi karena bukan hanya persoalan diri sendiri. Ada banyak sekali titik yang sulit dipahami dan dilihat di mana letak keterhubungannya. Dan selalu saja saya salah membaca dan mengartikan masing-masing dan bentuk hubungannya. Cukup melelahkan.
Lalu lapis kesempatan-kesempatan lain yang jauh lebih abstrak. Hingga pada satu titik hilang pada garis tipis kematian.
Beberapa kesempatan besar harus saya hentikan jalannya karena hal yang jauh lebih prioritas butuh disegerakan. Kadang lucu juga rasanya. Untuk apa kecewa atas hal-hal yang sebetulnya telah saya pilih sendiri timelinenya. Jika dengan pilihan-pilihan itu kemudian saya tidak berjodoh dengan satu dan lain hal, semata-mata karena hal itu yang paling sesuai dengan pilihan atas variasi lintasan yang saya ambil.
Sedih? Kecewa? Masih. Masih semanusiawi itu saya menjalani hari-hari. Di beberapa kesempatan saya mendorong diri untuk menjadi lebih bijak dan kejam terhadap diri. Demi kebaikan. Di waktu yang lain saya bahkan kesulitan mencari tahu mengapa ada emosi dan mengapa ada kondisi tanpa emosi.
Tapi di antara itu pula, saya sering menemukan bahwa saya mendapat kebahagiaan tertentu yang tidak sedikit karena ide-ide di dalam diri saya yang berpotensi untuk diwujudkan. Entah bagaimana kemudian, saya menemukan alasan-alasan cukup masuk akal pula untuk bertahan hidup. Paradoksnya selalu ada tentu saja. Membenturkan diri dengan perasaan dan emosi yang sama sekali lain dari reaksi yang seharusnya termanifestasi.
Seperti mencoba mendorong diri lebih keras ketika kecewa. Atau menenangkan diri ketika terlalu bahagia. Mungkin juga mencoba tetap menyemangati dengan bijak meski kehilangan selera dan putus asa. Seperti paragraf-paragraf ini. Yang tertera hanya untuk disia-siakan. Lalu dilupakan dan dicampakkan.
Mengetahui tidak selalu menyenangkan. Beberapa harus secara sengaja dilupakan agar tidak melukai terlalu dalam, atau meracuni pemahaman, ketenangan, dan rasa percaya. Kadang memang membingungkan. Sebingung aku membacai dirimu dari jarak maupun lekat.
Dan soal kesempatan-kesempatan yang hilang itu, tentu akan ada lebih banyak lagi di waktu mendatang. Tapi itu bukan salah waktu dalam menyediakan, itu perkara diri dalam memilih jalan.
wordsflow