WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Work

apakah sekumpulan anak bandel bisa membubarkan satu sekolah?


Mari memulai tulisan ini dengan kesadaran bahwa ada masa ketika kita memiliki mimpi dengan kondisi ideal tertentu di masa muda yang ceria. Tapi kini sampailah kita pada masa di mana kondisi ideal itu tidak mampu kita, ah saya, gapai tetapi life must go on.

Ceritanya panjang, tapi singkatnya, 10 tahun terakhir adalah fase perubahan terbesar dalam hidup saya. Bukan hanya pada ranah internal, tapi juga kondisi-kondisi lain di luar diri yang sampai sekarang belum mampu saya tangani.

Minggu kemarin bos bilang soal tren anak muda yang sering kali berpindah tempat kerja karena atasan yang begini dan begitu. Setelah unggahan itu, bos berkomentar bahwa itu privilese yang bisa didapatkan oleh pekerja swasta. Tapi kondisinya akan sangat berbeda untuk bos, juga untuk saya. “Kalo bisa punya atasan yang enak dan sesuai sama nilai-nilai yang kita anut ya beruntung sekali kita,” begitu lanjutnya.

Begitulah. Kita bisa punya kondisi ideal yang kita impikan dan kita angankan pada titik sebelum nol. Tapi ternyata, begitu memasuki nol kita menemukan bahwa ada banyak kondisi yang tidak bisa kita kendalikan. Hal semacam ini juga berlaku untuk hidup, juga pada setiap tahap perubahan umur.

Di masa saya banyak sekali menghabiskan waktu untuk membaca buku dan membangun idealisme, umur 27 tampaknya adalah masa keemasan bagi seseorang untuk mematok lebih dalam nilai-nilai dan idelismenya, lantas menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi barangkali juga lupa, bahwa kurun waktu inilah yang paling sulit karena kita mengalami transisi dari pelajar ke pekerja, dari pengamat ke pelaku, dari idealis menjadi realis. Tapi tentu, bukan berarti kondisi itu harus meniadakan hal pertama.

Juga harus saya katakan, bahwa setelah penyangkalan yang panjang dan tidak kunjung usai, barangkali saya harus memantapkan kesadaran bahwa arena masing-masing orang berbeda, dan karena kita akan melawan dengan cara yang berbeda, bersaing dengan cara yang berbeda, dan menuju hasil dan keluaran yang berbeda.

Pada tahap ini, saya cukup senang menyadari bahwa banyak dari rekan-rekan saya yang tetap pada jalur idealismenya dan mengejar cita-cita masa lalunya tanpa tergerus oleh laju kencang arus utama kelompok pekerja. Sebetulnya bisa saja saya melawan keterlanjuran ini dengan putar balik dan kembali berkerajinan tangan. Tapi enggan saya lakukan karena satu dan lain hal, ada persoalan kondisi ideal yang saya idamkan, juga ada kekecewaan saya terhadap banyak hal.

Kompleksitas itu membawa saya pada kesimpulan bahwa ada hal yang tetap bisa saya lakukan dengan kondisi yang tidak ideal ini.

Ingat sekali di hari terakhir pelaksanaan program tahun lalu, bu bos menangis dan mengucapkan terima kasih ke kami. Dia menyadari bahwa kerja dengan sistem yang dia patok tidaklah mudah. Saya tapi juga barangkali lupa bahwa sebagai atasan, bu bos juga bersusah payah untuk selalu mematuhi koridor nilai-nilai yang ia patok sendiri, idealisme yang ia pegang sedari lama, dan sembari melawan, sembari memberi bukti ke banyak orang bahwa hal-hal tetap berhasil dikerjakan dan kami baik-baik saja. Di waktu ketika hal-hal masih terlihat jelas dan kondisi kerja begitu menyenangkan, saya tidak mampu melihat di mana inti utamanya.

Tapi hal-hal berubah. Ada cukup banyak hal di dalam perubahan yang membukakan saya pada fakta-fakta baru di balik kerja kami yang selama ini menyenangkan meskipun lelah, menantang, dan emosional. Ini menghancurkan harapan saya sejujurnya, dan selama beberapa hari terakhir, minggu terakhir, kami semua mengalami kekecewaan yang jauh lebih berat.

Tapi kemudian ingat dengan kalimat bu bos. Di tengah gempuran hal-hal ini, kami dan ibu membangun pertahanan bersama, pun kalo bisa disebut demikian. Kami saling menjaga koridor masing-masing agar sesuai dengan idealisme dan nilai-nilai yang sudah dipegang dan dijaga selama bertahun-tahun. Barangkali akhirnya mengerti di mana arena perlawanan saya sekarang, dan tidak perlu bersusah payah untuk menjadi sama dengan orang-orang terdekat saya di luar sana.

Meski saya sering kali dilanda rindu yang membawa pada sekelebat rasa iri, saya pikir baik sekali kiranya bahwa kita berada di jalan yang berbeda, tapi masih bisa saling memantau. Bahwa kamu dan kamu dan kamu dan semua orang yang masih melakukan hal-hal yang seringkali kita idealisasikan di bangku sekre atau di bawah pohon rindang, di bangtem, di kelas, di puncak-puncak gunung, di dalam gelap gua, di masa-masa keemasan kita, so proud of you.

Masih sesulit itu untuk memastikan semua cerita di atas saya praktikkan dalam hidup. Ada masa-masa dimana saya marah luar biasa tapi tidak mampu memuntahkannya. Struktur kekuasaan memang memuakkan. Begitulah yang bisa saya ceritakan hari ini.

Dan di tengah semua hal ini, hanya ada 3 hal yang bisa menghibur saya: pulang ke Jogja, istirahat lebih awal, dan makanan enak. Malam ini, saya mau istirahat lebih awal. Tabik.

wordsflow

1 Februari 2019


An appreciation post for myself.

Setelah satu tahun, ada banyak hal berubah. Bahkan instansi tempat saya bekerja setahun belakangan dilebur dengan instansi lain dan karenanya, salah satu alasan utama mengambil pekerjaan ini hilang di tengah jalan. Bukan kejutan yang menyenangkan tentu saja, tapi pula, selama ini sudah sering betul saya mengalami hal-hal semacam ini dan barangkali menceritakannya akan membuatnya jadi lebih ringan.

Cepat sekali kejadiannya, saya hampir tidak punya waktu itu berpikir lebih lanjut. Tapi, bisa dibilang ini bukan kali pertama saya mengalaminya. Sewaktu lulus SMP, saya bahkan tidak pernah sungguh-sungguh mendaftarkan diri ke SMA saya waktu itu. Saat masuk kuliah juga tidak butuh waktu banyak untuk memutuskan. Sewaktu bekerja untuk pertama kalinya bahkan tanpa sengaja direkrut tepat setelah berkenalan. Mengambil kuliah lagi juga dengan proses yang sama. Mendaftar ekspedisi juga cara yang juga sama.

Soal pekerjaan ini, setelah mencoba menghindarinya di tahun pertama, akhirnya saya menjebakkan diri di tahun kedua.

Ingat sekali waktu itu saya beberapa kali ditelpon orang tua saya demi agar saya mau mencobanya, tapi saya mencari-cari banyak alasan. Saya menerima banyak order di bulan September 2018, pertama kali menerima 100 buku dalam sekali pemesanan. Kabur ke Surabaya-Malang tanpa rencana. Lalu di awal bulan Oktober 2018 kembali kabur ke Tasikmalaya demi menghindari pertanyaan orang tua saya. Meski akhirnya saya luluh juga karena pertama kali sejak sekian lama bapak saya yang mengambil alih telpon.

H-3 penutupan pendaftaran saya menyerah juga. Haha-hihi memutuskan mendaftar ke instansi dengan syarat pendaftaran paling mudah; ijazah, transkrip, dan surat pernyataan. No more documents.

Harus juga saya akui bahwa meskipun saya tidak sungguh punya niatan untuk mendaftar kerja karena satu dan lain hal, jiwa kompetitif saya sungguh tidak sanggup diredam. Karenanya proses selanjutnya mau tidak mau saya ikuti karena pertama, ada orang lain yang mensyukuri, yang kedua, saya penasaran betul dengan diri sendiri.

Jadi sewaktu pengumuman keluar di awal bulan November, tanpa berpikir panjang saya mengikuti proses seleksi kedua. Meski demikian, keinginan untuk membuktikan diri muncul berbarengan dengan harapan untuk gagal karena sistem, keduanya saling bergelut sengit sampai pengumuman selanjutnya beberapa hari sebelum tahun baru.

Saya berpikir keras sekali sebelum memutuskan untuk mengambil kesempatannya. Ada banyak alasan. Salah satunya karena sadar ada orang lain yang ketika itu mendorong saya untuk mencoba, tapi ia gagal di seleksi kedua. Sebetulnya bukan kewajiban saya juga untuk merasa bersalah, tapi akhirnya merasa bahwa saya sudah terlanjur nyemplung ketika mengambil kesempatan yang pertama. Toh tidak ada yang salah dengan pilihan ini karena saya juga bukan asal memutuskan. Atau bisa jadi memang saya menginginkannya karena alasan penasaran akan sistem.

But it was at the end going real quick that after some tests, I only had 2 weeks from the last test until finally I had to move out of town.

Barangkali begitulah cara takdir ‘menghukum’ saya, juga menunjukkan arah dan membantu saya melewati banyak hal. Tanpa diberikan waktu untuk mempersiapkan diri, ingat betul bahwa saya hanya punya 4 hari untuk mengambil keputusan penting dalam hidup. Hal yang sama yang saya alami ketika diminta untuk orang tua saya untuk ‘menengok’ calon SMA kala itu, atau ketika saya menimbang untuk submit dokumen pendaftaran ekspedisi, atau ketika ingin mendaftar kuliah lagi. Boleh dikatakan barangkali tidak ada tahapan hidup saya yang betul-betul pernah saya rencanakan dengan matang. Semuanya tiba-tiba dan tanpa sengaja. Diputuskan di menit-menit terakhir, dan dijalani tidak betul-betul siap dan ikhlas.

Tapi akhirnya saya pergi juga ke Jakarta. Memenuhi tuntutan pemberkasan dan semua hal termasuk menyelesaikan tambalan gigi, memindahkan faskes untuk bpjs kesehatan, mengurus npwp, mencari partner untuk SketchandPapers, mengepak barang tanpa ketahuan, mencari tempat untuk tinggal, membeli tiket kereta, mengatur strategi untuk mengembalikan motor ke rumah, memindahkan hak tinggal kosan di Jogja, dan banyak hal lainnya.

Dan akhirnya saya pindah di hari terakhir Januari 2019.

Oh ya. Meskipun saya mengagumi instansi saya bekerja, ada sangat banyak hal di dalamnya. It was hell yet paradise at the same time. Banyak sekali hal tidak menyenangkan; rapat-rapat panjang hingga tengah malam (berhenti karena sewa ruangan berakhir), ribut dengan pelaksana dan kontraktor hampir setiap kunjungan lapangan, midnight call dari kontraktor atau bos, revisi mendadak, permintaan dokumen mendadak, dan hal-hal menyebalkan seputar pekerjaan. Seperti semua orang dari kota kecil yang pindah ke Jakarta, krisis eksistensi niscaya adanya, kesepian adalah teman baiknya.

Tapi saya juga sangat beruntung karena orang-orang baik di kehidupan saya yang sebelumnya, saya masih bisa menjalankan bisnis dari jarak jauh. Juga selalu bisa pulang sering-sekali-sampai-semua-orang-di-kantor-heran-karena-saya-selalu-menolak-dinas-di-akhir-pekan, tetap menjadi pembangkang bahkan di hari kedua masuk kerja (waktu itu bolos OJT untuk melanjutkan perawatan gigi), merasa bahwa kegalakan dan kejudesan saya berguna di lapangan, begitu senang karena akhirnya kembali berarsitektur setelah murtad bertahun-tahun, dan banyak hal lainnya yang mengimbangi kesulitan di banyak waktu di antaranya.

Meski belum setahun, toh saya harus menerima kenyataan bahwa instansi saya dilebur, hal yang luput dari perkiraan saya dan teman-teman saya saat pertama kali mendaftar. Hal-hal bisa begitu tidak terduga seperti pengumuman presiden jika akan ada pemindahan ibu kota. Juga penempatan baru dan perubahan nomenklatur instansi. Juga pindah kantor, pindah unit kerja, ganti teman baru, ganti jalur naik bus. Yeah sure. Thanks Bekraf. It was a very tough year but honestly loving it.

Barangkali semakin tidak kuasa mengendalikan hal-hal, seolah-olah semua hal kini tidak bisa diatur dan di luar rencana. Seolah-olah kita bukan milik kita lagi. Hahaha.

Tapi postingan ini tidak getir. Toh saya masih bisa minum iced aren latte hampir setiap hari, sneaking around buat nonton film, teater dan pertunjukan. Kadang-kadang melipir ketemu teman lama yang lagi mampir ke Jakarta. Dan sebetulnya masih ada pintu keluar yang tidak pernah dikunci rapat, jadi sewaktu-waktu tidak mampu saya bisa langsung pulang ke Jogja.

Karena kemarin hari kasih sayang, mau mengingatkan diri sendiri untuk menyayangi keputusan-keputusan hidup yang sudah diambil, juga orang-orang di dalamnya yang sudah mewarnai sepanjang perjalanannya. Kadang setelah sekian lama berlalu, hal-hal yang dulu dibenci dan tidak disukai bisa jadi sesuatu yang mengundang senyum saja, kenyamanan, juga rindu yang pekat. Masih berusaha mengendalikan emosi untuk digunakan di waktu-waktu yang penting saja, misalnya menghalau laki-laki brengsek di transportasi umum atau menghadapi kontraktor nakal.

And yeah, maybe I got it right to say to ‘just go with the flow and whatever happens, happens.

wordsflow

Kerja; Sebuah Refleksi atas 2019


Beberapa postingan lalu saya sempat menuliskan betapa saya membenci namun juga mencintai pekerjaan saya saat ini. Sebabnya banyak, dasar perasaan itu juga banyak. Untuk menangani satu pekerjaan, saya harus berhubungan dengan banyak sekali orang, dengan tuntutan, gaya kerja, dan kepentingan yang berbeda-beda.

Saya hampir tidak pernah menceritakan secara lugas bagaimana pekerjaan saya selama hampir satu tahun belakangan ini. Begitu banyak dinamika dan berbagai hal yang tentu saja buat saya sangat berat. Bukan seutuhkan karena persoalan pekerjaan tapi juga support sistem di dalam hidup saya. Soal support system ini akan saya sampaikan di postingan lain karena harus saya akui, bertahan hidup seorang diri bukan perkara mudah.

Pekerjaan konstruksi sungguh sangat melalahkan, terutama dengan model kerja yang ditawarkan oleh unit kerja saya dalam upayanya untuk ‘memberikan alternatif pemanfaatan APBN secara tepat guna’. Bagaimana kiranya upaya tepat guna ini bertubrukan satu sama lain antara pihak-pihak yang turut andil dalam setiap fase pekerjaannya, namun juga peraturan yang menaungi masing-masing tahapan pekerjaan.

Seorang senior kerja yang duduk tepat di hadapan saya pernah berucap, 2 hari setelah masuknya kami ke unit kerja ini. Katanya datar, “Yang arsitek dan ngurusin revit siap-siap aja banyak dosa. Selama 2 tahun ngurusin ini, dosaku jauh lebih banyak dibandingkan akumulasi dosa seumur hidup”. Berlebihan? Ya, waktu itu saya tentu tidak memiliki bayangan apapun mengenai seberapa berat dan melelahkannya pekerjaan ini sampai ada pernyataan semacam itu.

Pekerjaan konstruksi memiliki banyak silang sengkarut, mulai dari hubungan antar manusia, hubungan material, sistem hukum, finansial dan perbankan. Hal yang tidak saya bayangkan bahwa dalam sistem pengadaan pemerintah serumit ini. Bagi saya yang sama sekali awam, dan bahkan pernah murtad ke bidang studi lain meski belum juga berhasil, konstruksi adalah hal yang jauh.

Tidak semua orang memahami bahwa sistem kerja pemerintah memiliki satu hal yang barangkali tidak ada di model pekerjaan swasta, yaitu kekakuannya terhadap anggaran dan spesifikasi pekerjaan dari awal pekerjaan hingga akhir. Terdengar baik karena tentu sebagaimana saya dan mungkin Anda yang baru pertama mendengar ini akan bilang, “Ya bagus kan jadinya apa-apa harus direncanakan dengan baik”. Benar. Tentu benar. Semua orang akan senang dengan sesuai yang bisa dihitung dan diperkirakan. Tapi realisasi lapangan tidak semudah membaca gambar kerja yang memiliki tingkat kedetilan dengan baik.

Sistem kerja unit kami mengupayakan adanya inklusifitas semaksimal mungkin sehingga apa yang diberikan adalah apa yang diminta sesuai dengan kebutuhan mereka, diverifikasi sedemikian rupa dan diseleksi 2 hari 3 malam. Gambar kerja dengan demikian, adalah sebuah ekspresi keinginan sistem tata ruang dan tata guna bangunan dari pemilik bangunan. Di sini kadang kita sering melupakan fakta bahwa dalam konstruksi, gambar kerja untuk bangunan pribadi/komunitas spesifik tidak selalu menampung seluruh keinginan ketika disusun, namun sejalan dengan waktu, inspirasi tata ruang dan tata bangunan ini muncul seiring dengan berjalannya pekerjaan di lapangan.

Tentu saja sebagai lulusan arsitektur saya menyadari bahwa tidak salah mengubah sebuah desain di tengah pekerjaan karena dirasa hal itu lebih baik, atau karena kondisi di lapangan jauh berbeda dengan apa yang ada di gambar kerja pra konstruksi. Tapi dalam hubungannya dengan urusan administrasi, sungguh, bisa botak hanya untuk memikirkan bagaimana cara mengubah spesifikasi material misalnya dari genteng ke onduline. Untuk perubahan 1 rupiah di dalam kontrak ada begitu banyak hal yang juga harus diubah dan disesuaikan. Demikian, barangkali memang benar ungkapan bahwa saya dan rekan-rekan saya seprofesi dibuat lelah dengan urusan administrasi sehingga akhirnya memilih untuk ‘menyerah kepada sistem’ dan ‘tidak memiliki waktu untuk mengembangkan diri’.

Apa hal-hal yang kira-kira bisa saya ringkaskan untuk pembaca sekalian mengenai tahun ini?

Pertama-tama, di tahun ini lagi-lagi saya tidak mampu menyelesaikan studi saya, karena satu dan lain alasan. Satu yang paling saya rasakan adalah bahwa saya kelelahan dengan administrasi pekerjaan. Bahwa benar sekali, saya merasakan begitu dihimpit oleh administrasi dari segala lini. Menangisi ini pernah. Memaki pernah. Marah-marah pernah. Atau bahkan saking lelahnya bersikap bodo amat.

Tidak banyak buku yang saya baca di tahun ini. Selama bekerja, saya tidak berhasil menyelesaikan satu buku pun untuk dibaca. Saya hanya menyelesaikan 4 buku di awal tahun. Itupun bacaan sangat ringan. Mencoba membaca beberapa buku yang lain namun hanya berakhir di bab pertama untuk kemudian saya taruh saya di atas meja di kosan.

Saya merasa begitu tidak produktif dan setiap malam selalu mikirkan bahwa besok saya akan bangun untuk mengulangi hal yang tidak saya sukai, dari pagi hingga malam hari, lantas sekali lagi mengulangi ini. Rasa tidak suka ini agak rumit untuk dideskripsikan. Saya suka bertemu dengan komunitas, berbicara dengan mereka dan mendengarkan harapan-harapan mereka setelah pekerjaan ini berakhir. Namun ada hal-hal lain yang saya pahami tapi tidak mampu diterima, seperti misalnya kenapa sistem administrasi begitu kaku. Hei, pertanyaan itu juga saya pertanyakan sepanjang menangani pekerjaan ini.

Tapi teman-teman, barangkali memang dengan melawan kamu bisa merasakan hidupmu lebih berguna dibanding menerima hal-hal yang bertentangan dengan apa yang kita yakini.

Jadi begitulah di tengah ketidakmampuan saya beradaptasi dengan lingkungan baru, pekerjaan baru, kota baru, rutinitas baru, saya akhirnya mengambil langkah. Waktu itu dengan kemarahan, sebagaimana yang sering saya lakukan. Saya punya resiko, tapi saya didukung oleh beberapa orang terdekat. Maka jika boleh, saya akan menempatkan tahapan ini sebagai salah satu pencapaian saya di tahun ini. Saya mencoba tidak menyerah pada sistem dan kebiasaan meskipun tentu saya menanggung resiko-resiko tertentu pada saat itu saya jalani. Saya menangis karena lelah dan marah. Tapi itu sudah terlewati dengan baik. Saya hanya perlu menunggu bagaimana saya bisa mengakhiri ini dengan baik.

Hal-hal baik lain yang mungkin menjadi penyemangat saya bahwa bertolak belakang dengan kekhawatiran saya, saya berhasil mempertahankan jenama yang sudah saya inisiasi dari Oktober 2014. Tahun ini dia menapaki tahun ke 6 nya, tentu dengan segenap permasalahannya juga. Tapi setidaknya saya memiliki cukup keyakinan bahwa saya akan terus bisa mempertahankan denyut dan geraknya. Saya mulai menyukai sistem kerja remote dan mobile karena dengannya saya menata kembali sistem efektifitas kerja dan manajemennya. Lebih dari itu semua, saya membangun kepercayaan kepada orang lain, tanpa berusaha untuk sepenuhnya menetapkan standar kerja sebagaimana yang selama ini saya penuhi untuk diri sendiri.

Selama kurun waktu setahun belakangan ini, saya hampir tidak memiliki memori yang berarti. Saya lupa banyak hal-hal kecil, dan beberapa memori tahun-tahun sebelumnya jauh lebih banyak mengambil jatah. Bukan berarti hal-hal belakangan tidak layak untuk diingat. Tapi barangkali metode mengingat saya yang berubah. Dibandingkan momentual, memori lebih bersifat prosesual dan hanya momentum tertentu yang saya ingat sebagai memori lepasan. Ritme hidup menjadi berubah, dan ada banyak hal baru yang harus saya tarik sebagai support system saya atau justru metode eskapis.

Memang refleksi tahun ini lebih suram. Sebuah pertanyaan akhir tahun menggantung di angan-angan saya setiap menjelang tidur, dan semakin menguat dari hari ke hari; “Kita bekerja begitu keras untuk apa?”. Tentu saja di samping hal-hal ‘berat’ ini ada hal-hal baik lain. Misalnya saya mendapat begitu banyak kabar bahwa di tahun ini teman-teman saya menikah dan merasa lebih bahagia dibanding saat masih sendiri. Pelan-pelan juga misalnya, saya menyembuhkan diri sendiri. Kawan baik saya bisa berkembang dan berproses dengan baik setelah menerima kegagalan pahit merelakan sekolah impiannya di tengah tahun ini, atau bahwa saya masih merasakan cinta dari orang-orang di sekitar saya.

Oleh karenanya, tetaplah mencari makna atas hal-hal, tetaplah belajar, bekerja, dan mencari. Hal-hal bisa saja sangat mengaburkan misalnya di tengah sistem ekonomi-politik saat ini, seringkali hal-hal menjadi sangat transaksional dan kamu jadi kehilangan makna. Saya juga belum sepenuhnya berhasil, tapi tulisan ini kadang lebih ditujukan untuk diri sendiri dibandingkan untuk segenap pembaca. Hehe.

Bagi saya cukup. Barangkali saya hanya perlu menerima bahwa perubahan itu niscaya. Tidak perlu terkaget-kaget bahwa di awal tahun ini ketika saya merasa instansi saya adalah salah satu hal yang patut disyukuri, ada seribu satu hal tidak terlihat yang membuatnya harus bubar, begitu saja. Lalu saya dan rekan-rekan saya juga harus meraba-raba sistem kerja di awal tahun depan bahkan sebelum resmi setahun kami bekerja.

Dan yah, melihat fokus tulisan saya beberapa waktu terakhir berkisar pada pekerjaan, mungkin memang sudah saatnya blog ini bergeser topik ke pekerjaan. Semoga pembaca tidak bosan dan tetap berkenan.

Seiring dengan semakin sedikitnya pembaca blog ini. Saya pribadi cukup senang karena masih ada hal-hal yang bisa saya tuliskan, saya bagikan, saya keluhkan di sini. Tabik.

wordsflow