WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Book

The Gift Bussiness


Selalu ada pertanyaan ketika pertama kali tahu bahwa saya meluangkan waktu untuk menjadi seorang bookbinder. Kadang pekerjaan itu tampak aneh untuk banyak orang. Dan barangkali mungkin bahkan untuk orang-orang yang mengenal saya cukup lama pun, itu masih bukan hal yang dianggap menjanjikan. Hahaha. Bukan hanya kalian saja yang berpikir begitu, kadang saya sendiri pun meragukan.

Well, saya memang menggantungkan hidup dengan melakukan pekerjaan kecil itu dengan bahagia.

Sejak masih muda, saya punya cita-cita aneh untuk menjadi seorang pengusaha. Alasannya sebetulnya sederhana saja, karena anak seorang PNS akan setengah mati susahnya untuk mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah. Mau kamu sepintar apapun dalam hal akademik, latar belakang PNSmu niscaya akan membuatmu tidak memperoleh beasiswa apapun dari pemerintah.

Begitulah. Barangkali itu juga yang membuat saya mengalihkan minat mencari beasiswa ke urusan ikut kompetisi pada masa masih di bangku sekolah. Soalnya yang begitu tidak akan pernah ditanyai apa pekerjaan bapak-ibu saya.

Singkat saja soal latar belakangnya ya, hehe.

Selain itu, semenjak SMP, mungkin karena kebiasaan saya membaca komik dengan begitu banyak cerita yang berlatar café atau toko buku, dan berbagai kerumitan latar belakang yang terpadu bercampur menjadi satu, impian memiliki toko kecil sendiri dengan berbagai pernak-pernik.

Saya ingat ada kartun Magical Doremi yang tayang di suatu stasiun TV swasta pada masanya. Itu cerita penyihir-penyihir cilik yang membuka toko pernak pernik kecil di dalam sebuah bus bekas. Imaji itu sangat menarik perhatian saya bahkan hingga sekarang. Membayangkan akan memiliki sebuah kabin kecil dari material bekas (entah bus atau kontainer bekas), dengan halaman rumput luas yang penuh dengan meja-meja dan kursi, dibatasi dinding cukup tinggi berlapis tanaman rambat, dengan sebuah rumah tingkat dua ala rumah tradisional Jepang adalah salah satu mimpi masa kecil yang masih bertahan imajinya hingga detik ini.

Suasana itu terasa seolah sangat nyata setiap kali saya membayangkannya. Oleh karenanya, tempat-tempat dengan nuansa yang sama, apapun itu jenisnya akan selalu menarik perhatian saya, hehehe.

Karena impian itu mini saja, hanya serupa tempat bernaung dan ruang penuh buku, maka usaha ini tidak perlu sampai ke tahap perusahaan atau bahkan firma yang agak besar. Saya selalu ragu untuk memperlebar usaha karena itu artinya akan ada target yang lebih besar untuk memastikan bahwa semua orang yang bekerja di dalamnya akan cukup makan. Begitu berbeda dengan membayangkan bahwa saya akan selalu bahagia dengan hasil yang cukup saya untuk hidup saya sendiri.

Lagi-lagi, pilihan yang satu dan yang lain selalu memberikan konsekuensi. Tentunya dengan menahan diri, saya hanya akan menjadi orang yang begini-begini saya, sekarang dan nanti. Barangkali akan ada beberapa perkembangan kecil, tapi tentu saja akan kecil saja, hehe.

Well, sedikit beranjak dari mode curhatan ini, beberapa waktu belakangan ada perkembangan lingkaran pertemanan di lingkungan hidup saya. Entah bagaimana mulanya, ada begitu banyak orang baru yang datang, atau bahkan orang lama yang masuk kembali ke fase hidup saya kali ini.

Terlalu banyak orang yang menginspirasi saya untuk belajar hidup dengan lebih baik. Orang-orang yang dengan keyakinannya masing-masing mau meluangkan waktu untuk menghidupi hobi mereka dan mayakini bahwa hal-hal semacam itu berguna untuk sesiapapun yang pernah bersentuhan dengan kita. Barangkali kita lupa karena terlalu terbiasa sehingga merasa bahwa hal-hal yang semacam itu biasa saja.

Betul, kita hanya kurang main dan cenderung merasa nyaman dengan lingkungan yang telah kita tempati cukup lama. Akhirnya justru tidak berkembang kemana-mana.

But to be honest, I’m still here, hehehe.

Tapi saya mencoba membuka diri dan melihat orang-orang yang juga berkegiatan sama dengan saya sebagai insan yang menginspirasi, bukan malah menjadikan mereka sebagai rival atau sejenisnya. Ternyata cukup menyenangkan. Ada perasaan senang dan bahagia yang sangat tulis ketika misalnya saya menemukan bahwa seorang teman mengajak para narapidana di lembaga pemasyarakatan wanita untuk berkolaborasi membuat karya. Di saat yang lain saya menemukan teman yang lain berinovasi dengan material lama dan menggunakannya untuk sesuatu yang sama sekali baru.

Hal-hal yang berbau material ini begitu menarik perhatian saya belakangan ini dan tampaknya, sangat menarik untuk didalami nanti. Barangkali akan ada hal yang berbeda dari rencana-rencana saya sebelumnya. Hanya saja, mengikuti arus dan panggilan hati agaknya menjadi hal yang menarik, istilah yang sangat menarik pula bahwa hal itu ternyata masih ada di dalam diri saya.

wordsflow

The People Who Wrote and Published


Finally got something to write.

Lately, I turn being busier than before, hehe. But no, there were moments too which made me felt and behaved differently. I’ve been so much in love, it’s not changing tho, but the thoughts replaced.

And here I am, a drama-queen who trying to stop being dramatic. Yess, I have a more serious thing to share with. Hehe.

(Always with pledoi)

Begin with a kind of new year resolution beginning of this year, I made a movement for myself, a #onebookoneweek project. Actually, I meant nothing about this. This was all because after sorting my books, I realized that I have so many unread books and don’t have any idea when will all of those books finished reading unless I put them all in a kind of resolution. So there I was, began a new year being consistent reading at least one book in a week.

Not really worked at all, because there were times I had to put away the book (the books I mean here are popular books such as novels or kinds of literature, not school books such as politics and socials) and turned to read my school handbooks.

A friend once asked me what was I rush in to? No need to really read a book in a week maybe, but I just thought that in a year, we only have 52 weeks and if the resolution succeeds, maybe I’ll only read those 52 books. Remembering that, I know that my a-hundred-and-more unread-books will never be finished being read unless I do my resolution.

But finally, it was all being through in supple, hehe. I still bought some new books; novels, short-stories compilation, and other popular books. Really couldn’t get enough of books although sometimes hard to remember the whole story in the books.

Okay, enough about me. Let’s turn to the good news.

The last book I bought was from my friend’s indie publisher. She and her man committed to publish Indian literature which actually never being heard by me (except Rabindranath Tagore whom the books I never read before). I didn’t know anything about Indian literature. There were some journals I reviewed in my political-economy study last year, but nothing more than that. Not so many Indian books out there in public bookstores, and they were really unpopular I thought.

Her man once was a master student in India, majoring anthropology and apparently knew much about the country and the society. He translated the original version and published it independently. So I bought one.

Had been reviewing Indian journals thought me some about their culture and society. And because of that, I did really interest in the book above. It is about one of the caste in India which actually out of the caste system. The Indian caste which implies not only in the society but entirely in the politics and believes, make them really hard-to-death to get out of the system, and finally out of the poverty. It was acute and helpless. They couldn’t get a job unless being a feces-pit cleaner.

I haven’t read any of part of the book, but after I finished my last book-list, Monsoon Tigers and Other Stories by Rain Chudori (this one really nice, and yeah I really into the book but I’m not that ‘galau’ girl anymore yaaa), I decided to read this one, more than other options like 1Q84 or Demian. Still, there are many books left to be finished in my room. Really looking forward to being able to read faster but still being steep to the substance.

As I once told you here, maybe I read books from my elementary year, but there are much (not many) books that I never know which actually I should have been reading. Feeling guilty for not using my time reading more books before. But yeah, there is still so much time ahead, don’t worry. I spent reading in a library when I was in senior high school and elementary. It was the only two libraries that I ever loved, hehe. Ah, Bantul region library too. One of a few.

Finally, at last, I wrote something on this blog. Being wanted to write some but the poetic words had gone unknowingly where. The dramatic words too, being eliminated to another world. So maybe this one would make a difference in your day. I hope you are being inspired to read them too, hehe.

Last, I know reading will be much more fun if we have a companion, hehe. And I have this too from the indie bookstore.

The left one is mine.

Good night fellas. I hope you dream nice, and get up early to experience a morning pleasure.

wordsflow

Origin


Sebetulnya saya sudah menyusun brief di kepala saya untuk tulisan saya malam ini, hehe. Sekali waktu saya ingin mereview sebuah buku dengan benar dan sungguh.

Tetapi alangkah tergodanya saya untuk menjelaskan beberapa latar yang semoga akan cukup mendukung cerita saya ke belakang, hehe.

Saya pernah menceritakan awal mula saya mulai membaca buku di blog ini. Beberapa mungkin ingat atau bahkan ada juga yang bodo amat, hehe. Tapi saya menyadari bahwa sejak saya duduk di bangku SMP kelas 1, saya sudah punya kartu peminjaman di perpustakaan kabupaten Bantul (di saat semacam ini saya sering bangga dengan saya yang dulu, hahaha). Koleksi Sherlock Homes adalah buku yang paling saya incar ketika itu. Saya menemukan empat kumpulan ceritanya dan berusaha mencari 4 novel terpisahnya hingga suatu waktu saya nekat ke Shopping Center sendiri.

Dan begitulah, koleksi Sherlock, Agatha Christie, Conan, Kindaichi, Q.E.D, bahkan Detective Q (kalau kalian pernah dengar) menjadi bacaan favorit saya. Saya begitu tergila-gila dengan semua cerita detektif dengan semua rekayasanya. Sangat adiktif, dan dapat saya katakan bahwa itu yang agaknya membentuk saya. Hemm, atau saya yang justru mencondongkan diri ke sana? Entahlah.

Intinya, barangkali saya mengasah kemampuan kepo saya dari hal-hal semacam itu, huehehe. Saya berusaha menahan diri untuk nggak pamer kalau saya berhasil kepo luar biasa cerdas baru-baru ini (sombong parah, maafkeun).

Ada dua hal penting yang saya pikir membuat saya menjadi demikian. Yang pertama adalah imajinasi, yang kedua adalah kemampuan analitis. Tanpa imajinasi, kepo tidak akan terjadi karena tidak ada dorongan yang mengendalikan si tukang kepo ini untuk melaksanakan perkepoan. (Ya ini ngomong apa toooh). Dan tentu saja tanpa kemampuan analitis, kepo tidak akan mencapai pembuktian yang memadai. Luar biasa kan.

Kepo semacam bermain detektif-detektifan buat saya, hehe. Obsesi yang tidak pernah sampai kejadian itu membuat saya mengalokasikannya ke hal-hal lain. Mari saya ceritakan sebuah upaya pencarian saya suatu hari.

Jadi saya pernah menemukan sebuah jam tangan nike di Ungaran. Waktu itu saya sedang buka jalur dan entah bagaimana menemukan si jam tangan di bawah pohon. Itu bukan sebuah jam tangan biasa, melainkan running tracker gitu lah yang biasa digunakan oleh pelari. Nah, si nike watch ini berhubungan dengan akun nike+, maka saya carilah di webnya. Saya menemukan sebuah nama panggilan di sana. Entah bagaimana saya cari ke sana kemari, akhirnya saya menemukan satu akun di facebook dengan nama yang mirip. Saya buka profilnya dan menemukan bahwa anak ini tinggal di Semarang dan adik kelas temen kuliah saya. Hemm, jadi saya mencoba mengecek ke teman kuliah saya untuk konfirmasi dan minta nomer hape.

Iseng, saya hubungi orangnya dan ternyata memang benar dia yang punya. Agaknya itu prestasi kepo paling gemilang saya, hehe. Dan suatu kebetulan karena kesibukan survey diksar, saya bisa bertemu dengan pemilik aslinya di Ungaran. Jam tangan itu pun kembali, hehe.

Well, lalu bagaimana dengan sekarang? Meski hal semacam ini tidak berguna juga untuk hidup saya, setidaknya saya mengobati rasa penasaran dan ketidakpuasan saya akan banyak hal. Cukup membantu dan menghibur loh.

Oke, jadi, mari langsung saja ke topik utama malam hari ini.

Setelah cukup lama bergelut dengan novel detektif yang sarat kriminalitas, belakangan ketika sudah SMA saya cenderung beralih ke novel yang lebih substansial, maksudnya yang tidak hanya menceritakan kejahatan semata tapi juga hal-hal yang membuat saya ingin googling semua istilah di dalamnya. Dan Brown dengan sangat sukses membuat saya rela menyisihkan setengah uang jajan saya untuk bisa membeli bukunya.

Saya ingat beberapa buku Dan Brown sudah saya kenal semejak saya SMP, namun tidak ada yang saya beli karena tidak sanggup, hehe. Akhirnya saya baru membeli buku Dan Brown yang The Lost Symbol (eh apa itu dapet dari temen saya ya? Entahlah). Baru setelahnya dua buku terakhir Dan Brown juga saya embat, Inferno dan Origin. Saya suka sekali membaca bukunya. Isinya membuat saya selalu mempertanyakan bagian mana yang fiksi dan mana yang fakta. Beberapa kali saya harus membuka laman pencari demi memuaskan hasrat saya mengkonfirmasi hal-hal yang ada di dalamnya. Bahkan ketika membaca The Lost Symbol saya sampai terobsesi dengan noetic science.

Lalu Origin. Buku ini sedikit lebih tipis dibandingkan dengan buku Dan Brown sebelumnya. Topik ceritanya masih sama; ada isu yang dibawa, ada konspirasi, ada kontradiksi, ada seni, ada sejarah, ada prediksi, ada banyak hall ah pokokmen. Serunya, Dan Brown selalu ngasih teman perempuan buat Langdon di buku-bukunya, hehe.

Berlokasi di Spanyol, buku Dan Brown mengajak pembacanya untuk menyelami sedikit arsitektur di sana. Tapi saya suka cara membahasnya karena Dan Brown mengambil dua arsitek yang gaya rancangannya sangat bertolak belakang, Frank Gehry dengan Guggenheim Museum, Bilbao dan Antoni Gaudi dengan Sagrada Familia. Dua arsitek ini sama-sama keren sih buat saya, namun mereka berbeda. Topik yang diambil lagi-lagi soal perdebatan antara agama dan sains yang saya pikir menjadi hal yang juga nyata kita perdebatkan sehari-hari (ingat flat earth kaaan).

Dengan mengangkat isu perkembangan ilmu fisika (yang menurut saya paling progresif di antara semuanya, terutama fisika kuantum) (maaf sok tau), novel ini mengangkat topik yang paling fundamental untuk umat manusia; dari mana kita berasal? ke mana kita akan menuju? Tidak sedikit barangkali yang juga menanyakan pertanyaan yang sama namun tidak pernah sampai pada imajinasi atau penalaran menuju ke sana. Saya pun tidak, hahaha.

Dan meski saya bilang mau mereview, saya tidak mungkin menceritakan isinya. Kalau mau boleh pinjam ke saya sih, hehe.

Over all, Dan Brown masih punya ciri khasnya dalam buku ini. Hanya saja saya merasa alur ceritanya ya begitu-begitu saja. Dan Brown selalu menyimpan plot twist di belakang, ketika pembaca merasa seolah semua sudah selesai, dia memberikan penjelasan akhir yang membuat kemapanan sebelumnya menjadi buyar. Tapi saya suka caranya menjelaskan entropi sih, sangat menarik. Demikian, sepanjang membaca ceritanya saya jadi berpikir, “Hemm, keknya nggak gini deh. Kok? Lah si ini siapa? Eh aneh.” dan seterusnya. Memang benar pada akhirnya dugaan saya tepat. Tapi saya masih mendapatkan kejutan-kejutan di tengah ceritanya.

Well, sejauh ini saya paling terngiang-ngiang dengan The Lost Symbol justru. Mungkin karena itu buku yang pertama saya miliki, atau karena saya masih tergila-gila dengan neotic science, saya tidak tahu. Agaknya akan jauh lebih menarik lagi jika membaca buku ini sambil membuka google street view biar berasa jalan-jalan beneran ke sana. Sagrada Familia adalah salah satu dari sedikit karya arsitektur yang saya kagumi. Bangunannya saja dibuat hingga 144 tahun dari peletakan batu pertamanya, dan sudah masuk World Heritagenya UNESCO. Kan woww banget nggak sih.

Yah, begitulah review singkat tidak berfaedah saya malam ini. Anggap saja ini semacam pengumuman kalau saya tukang kepo yang adiktif novel fiksi dan berniat masuk BIN suatu hari nanti.

wordsflow

Munisipalisme Libertarian


Mari membahas sebuah buku yang akhirnya mampu saya selesaikan setelah sekian lama teronggok ketika saya sedang ada di lapangan. Anehnya, saya justru merasa jauh lebih mudah memahami si buku dalam perjalanan saya dari Bandung ke Jogja dengan menggunakan kereta. Padahal di awal saya mencoba memahaminya, saya bisa beberapa kali membaca satu paragraf yang sama tanpa memahami maksudnya. Hal semacam itu sering terjadi ketika membaca buku sih, hoho.

Tidak dapat dikatakan sebagai buku yang mudah untuk dipahami. Ada beberapa bagian yang menurut saya cukup sulit untuk mampu saya bayangkan atau saya pahami lebih dalam. Beberapa bagian lainnya terlampau mudah karena merupakan narasi atas utopia yang telah banyak dipikirkan oleh manusia di hari ini.

Ah, sebelumnya barangkali saya harus menjelaskan bahwa saya tidak akan terlalu banyak memberikan pendapat pribadi mengenai si buku. Dalam artian, beberapa pendapat yang akhirnya saya utarakan di sini merupakan pendapat yang sedikit banyak berada di luar buku tersebut. Mungkin. Beberapa kutipan yang menurut saya cukup penting akan saya sajikan sebagaimana adanya tanpa adanya penambahan dan pengurangan. Pun saya akan membiarkan saudara-saudara pembaca memberikan tanggapannya masing-masing untuk diri Anda sendiri.

Bagaimanapun anehnya sebuah narasi, utopisnya sebuah gagasan, atau bentuk ketidakmungkinan lain yang mampu ada seharusnya patut kita pikirkan terlebih dahulu sebelum kita memberikan penilaian atau justifikasi terhadap hal-hal tersebut.

Sebelum melangkah ke sana, saya pikir saya perlu sekali memberikan cerita mengapa saya sampai membaca buku ini.

Ada waktu di mana saya memikirkan secara penuh mengenai kehidupan yang dijalani oleh manusia-manusia di seluruh dunia di hari ini. Dibandingkan mengganggap bahwa dunia ini telah berada di bawah rezim pasar secara menyeluruh, saya lebih suka mengganggap bahwa kita masih berada dalam posisi transisi. Artinya, tidak semua yang ada di sekitar kita merupakan produk-produk kapitalis, dan jika kita lebih suka menganggap bahwa semua yang berasal dari kapitalisme adalah hal buruk, maka harus saya katakan bahwa kemudian, semuanya menjadi tidak sepenuhnya buruk.

Kadang karena begitu dekatnya seluruh hal dengan kapitalisme, segalanya menjadi seolah-olah bersifat kapitalistik, contoh yang paling penting barangkali adalah teknologi. Bagi saya sendiri, teknologi adalah hal yang sebetulnya berdiri sendiri. Namun di hari ini teknologi begitu identik dengan modern, sementara modern identik dengan industrialisasi dan akhirnya rezim pasar. Padahal, teknologi adalah hasil dari buah pengetahuan manusia sehingga ia bukan merupakan hal yang berada sepenuhnya di bawah kapitalisme.

Di hari ini, kadang saya merasa bahwa seolah-olah, ketika membahas upaya untuk menyingkirkan kapitalisme, orang cenderung mengarah untuk kembali ke cara hidup tradisional yang selama ini dilalui oleh nenek moyang kita. Seolah-olah masih menggunakan teknologi sama halnya mendukung kapitalisme itu sendiri. Tapi tunggu dulu, teknologi ada sejak dahulu meski dalam bentuk yang masih jauh dari praktis dibandingkan hari ini.

Masyarakat hari ini telah mengembangkan begitu banyak hal mulai dari jarum hingga kapal induk misalnya. Semua penemuan adalah pengembangan teknologi dari yang lampau. Benar, teknologi adalah bagian dari kebudayaan, dan karenanya seharusnya ia merupakan hal yang terlepas dari bayang-bayang kapitalisme.

Saya pribadi sering kali merasa bersalah ketika diskusi untuk mengkritik kapitalisme namun masih menikmati dan barangkali yang juga menghidupi kapitalisme itu sendiri. Semua hal yang sebetulnya menyamankan hari-hari saya adalah hal-hal yang menghidupi kapitalisme. Namun lagi-lagi, teknologi bukanlah kapitalisme, pun ekonomi. Oleh karenanya sebetulnya mengapa saya harus merasa bersalah dengan semua hal yang saya nikmati?

Barangkali selama ini sebetulnya saya mencampuradukkan segala hal berbau modern sebagai sesuatu yang identik dengan kapitalisme. Atau, saking seringnya verba itu digunakan, saya jadi sering keliru memahami kapitalisme itu sendiri.

Ada dua hal yang tidak saya suka dari kapitalisme, pertama soal eksploitasinya, yang kedua soal ketimpangannya. Untuk masalah kepraktisan, oke lah saya memang menganggap bahwa kapitalisme itu enak banget loooh. Tapi dua hal tadi membuat saya gregetan namun susah juga kalau tiba-tiba ditodong solusi.

“Sebagai pengganti masyarakat shopping mall, kita harus menyusun masyarakat terdesentralisasi, yang di situlah ‘rumah’ kita, lokal kita, menjadi seotonom mungkin semampu kita. Kita harus membangun pabrik-pabrik lokal yang menggunakan alat-alat sederhana. Kita harus menciptakan koperasi-koperasi loka, seperti kerjasama pangan. Kita harus bercocok tanam untuk pangan kita sebanyak mungkin. Kota harus membuang uang jika kita bisa dan mengadopsi barter atau alternatif pembayaran. Komunitas-komunitas lokal yang mampu memenuhkan kebutuhannya sendiri mungkin akan bisa bertahan, di luar arus utama masyarakat. Perlahan-lahan komunitas-komunitas tersebut akan berkembang-biak menciptakan masyarakat manusiawi yang ramah lingkungan.” (hal. 152)

“… munisipalisme libertarian berupaya memperkuat kembali tingkat lokal, ia juga menilai kemandirian terisolasi sebagai sesuatu yang tidak sempurna dan menyedihkan.” (hal. 153)

“Tanpa ekonomi kapitalis, yang tuntutan ‘tumbuh dan mati’-nya merupakan kekuatan utama di balik krisis ekologi, warga akan bebas untuk membangun kembali ranah sosial mereka sepanjang batas-batas ekologis. Kota-kota besar secara fisik dan secara institusional bisa didesentralisasi. Kota kecil dan pedesaan dapat diintegrasikan ke dalam sebuah keutuhan tergabung dan konflik historis di antara mereka akan terhapuskan. Bahan bakar kotor pasti akan dihilangkan, digantikan dengan sumber-sumber daya energi yang bersih dan dapat diperbaharui, bahkan dalam produksi pabrik. Dunia non-manusia tidak akan lagi dipahami sebagai dunia yang penuh dengan kekurangan, sebagaimana kapitalisme menganggapnya seperti itu saat ini—dengan terlalu sedikitnya sumber daya yang mesti diperjuangkan demi dominasi satu terhadap lainnya—melainkan sebagai dunia produktivitas dan kemajuan evolusioner menuju keberagaman dan kompleksitas.” (hal. 212)

Kutipannya cukup segitu aja ya, sudah cukup menggambarkan sih. Kayaknya lho yak.

Janet Biehl melalui Munisipalisme Libertarian sebetulnya berupaya untuk mewujudkan demokrasi yang benar. Menurutnya, politik hari ini telah melenceng terlalu jauh dari semangat politik yang sesungguhnya. Personal is political, akhirnya saya memahami maksud dari kalimat ini. Sepanjang buku itu, Biehl mencoba memberikan gambaran bagaimana cara mewujudkan munisipal-munisipal itu sehingga kita akan hidup di dalam dunia yang lebih demokratis dan adil, tanpa adanya negara. Terdengar indah, memberi harapan, namun hal itu ia akui sebagai sesuatu yang utopis. Ya nggak jauh berbeda dari cara saya berandai-andai sih, namun ia menuliskannya dalam buku dengan struktur yang benar. Jauh berbeda dong dari saya.

Saya pribadi suka dengan gagasan itu. Namun sekali lagi, negara ini belum sepenuhnya kapitalistik atau sekronis itu. Ada banyak simpangan dan retakan di dalam elemen terkecilnya. Dan banyak desa di Indonesia yang merupakan perwujudan munisipal yang diidamkan oleh Janet Biehl. Dianya aja yang belum ke Indonesia kan.

Di balik gagasannya, saya pikir Janet Biehl melewatkan bahasan mendasar di bagian paling awal bukunya, yaitu soal manusia. Seluruh gagasannya mensyaratkan satu hal, bahwa semua orang harus dapat berpolitik dengan benar dan mampu memahami manusia lain dengan baik. Sayangnya, ia melupakan soal ketimpangan, bahwa manusia dilahirkan dengan kemampuan yang tidak sama. Dan bukankah hal itu memang sungguh nyata? Tanpa itu, segala gagasannya mudah runtuh karena toh akhirnya seluruh aktor di dalamnya akan merusak harmonisasi itu.

Kadang saya merasa bahwa masyarakat kota jauh lebih sakit dibanding masyarakat desa. Kita yang hidup di kota menjadi pihak dengan ketergantungan lebih tinggi, hal yang paling mendasar deh, logistik. Tanpa adanya jaringan di luar kota yang berproduksi sepanjang tahun, kita nggak akan bisa makan. End.

Jadi, sebaiknya bagaimana?

Just make sure that we’ve been doing the best that we could. Don’t blame others for not doing something like what you’ve done, they have their own parts. In case you don’t have the same belief with your friends, pray for their safety and health. Don’t judge, don’t blame.

Manis sekali kan kalimat saya? Tentu saja di balik semua ini ada begitu banyak pekerjaan yang belum saya selesaikan. Semua hal ini, dan semua tulisan sebelumnya, merely self-reminder notes rather than for others.

Ada penggusuran di Kulonprogo untuk pembangunan bandara baru. Ada kemuakkan karena perebutan sumber daya yang tidak pernah ada habisnya di hari ini. Dari waktu ke waktu kita tidak pernah kehabisan berita tentang hal itu. Dan berapa orang yang terluka dan menderita di luar sana? Banyak.

Seorang adik kelas saya pernah menulis, ‘Even if we say we love Earth, we would not be there when something bad happen to this Earth, we definitely could not do something to help. We all the 7 billion peoples are actually nothing. This Earth is all alone these whole time.’

Random yak? As always.

wordsflow

Anime Vibes and Everything Behind


“Kok kamu bisa gambar sih?”

Pertanyaan itu beberapa kali disampaikan teman-teman saya ketika mendapati karya saya atau melihat saya sedang menggoreskan pensil di atas kertas. Tidak bisa disangkal, kehidupan perkomikan saya di masa SMP lah yang membawa saya menjadi diri saya hari ini. Mungkin hal itu juga yang membuat saya memberikan ruang tersendiri kepada pengarang-pengarang komik kesukaan saya, cerita-cerita kesukaan saya, hingga akhirnya saya mengenal anime.

Ada komik seri yang sangat saya sukai, dan tidak banyak saya kira yang mengikuti komik ini. Judul komiknya Q.E.D., dan dibandingkan Conan yang kala itu sangat populer, dia jauh lebih sedikit penggemarnya. Sebagai komik yang juga mengangkat tema detektif, maka ia tenggelam di bawah bayang-bayang popularitas Conan. Tapi, mari saya ceritakan mengapa saya katakan itu komik yang paling mempengaruhi hidup saya.

*Date by RADWIMPS is playing*

Saya suka hitung-menghitung sejak kecil. Saya agak lupa bagaimana bisa saya bertemu Q.E.D., tapi kalau tidak salah ingat saya melihat deretan komik itu di tempat peminjaman komik di depan SMP saya. Berbeda dengan Conan, Q.E.D. tidak sekedar menawarkan cerita detektif yang sulit dipecahkan, namun juga ilmu pengetahuan, terutama matematika dan astronomi. Saya mengenal rumus Euler dari sana, mampu menghafal bilangan phi juga dari sana, tahu lubang hitam bahkan dari sana, memahami geometri, dedekind cut, menghitung bilangan prima, atau berbagai urusan lainnya yang berhubungan dengan matematika, praktis saya pelajari dari komik itu. Pun, saya pernah meletakkan impian kuliah saya di MIT karena komik itu. Menelusuri tragedi penyihir Salem juga saya ketahui dari komik itu.

Secara keseluruhan, bisa dibilang komik itulah yang menjadi penunjuk jalan saya selama jenjang SMP hingga pertengahan SMA. Hingga akhirnya Motohiro Katou ini menulis komik yang juga bertema detektif dengan tokoh yang berbeda dan dengan latar penceritaan yang berbeda, C.M.B. Sekali lagi Motohiro Katou berhasil mengubah saya dengan manawarkan komik detektif berlatar arkeologi. Saya kurang tahu seberapa besar popularitas kedua komik ini, yang jelas keduanya mengubah hidup saya dan cara pandang saya.

Saya ingat pernah bertengkar dengan ibu saya karena membaca komik menjadi hal yang menyita waktu luang saya ketika SMP. Ibu saya kala itu menganggap bahwa komik tidak membawa pengaruh apapun dalam hidup, bahkan tidak memberi manfaat dan malah memberikan kerugian. Tentu saja saya marah dengan pernyataan itu, karena sungguh, saya belajar sangat banyak karena berteman akrab dengan dunia perkomikan di kala itu.

Pun begitu dengan menggambar. Saya mempelajari geometri dari komik, dan terdorong untuk mengembangkan kemampuan saya menggambar karena berharap bisa membuat komik sendiri. Bahkan, ke-Jepang-an itu muncul dan saya pegang teguh hingga masa akhir SMA saya ketika akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kesempatan beasiswa ke Jepang. Sayang sekali dua kali mendaftar saya tidak diterima. Pun demikian dengan cita-cita saya masuk MIT menjadi hal yang begitu jauh ketika saya menyadari bahwa kampus impian saya itu mustahil sekali saya masuki. Lebih-lebih ketika saya tahu dari film A Beautiful Mind bagaimana MIT itu sebetulnya. Tetap saja, saya masih terkagum-kagum menyadari bahwa saya pernah sungguh bermimpi bisa masuk ke kampus itu.

Lebih dari itu, hingga hari ini saya masih menikmati berbagai judul komik yang saya ikuti sejak SMP. Banyak yang masih terus saya baca meskipun saya sudah hafal betul dengan dialog yang ada di dalamnya. Kadang ketika saya ingat bahwa saya ternyata belajar banyak dari komik, saya sadar bahwa mungkin pendidikan bukan hal yang sungguh-sungguh memacu saya untuk melakukan hal-hal di hidup saya. Bisa jadi motivasi itu memang sangat sederhana. Bahkan tidak pula datang dari keinginan untuk membahagiakan keluarga.

Lalu SMA, saya bertemu dengan Ghibli, yang juga mengubah hidup saya. Mungkin memang saya cenderung lebih suka film kartun atau anime dibandingkan dengan film-film Hollywood. Entah mengapa. Saya pun menghabiskan semua film Ghibli selama masa SMA saya dengan mengobrak-abrik tempat DVD bajakan setiap hari Minggu untuk mencari film-film itu. Saya ingat pernah juga berramai-ramai menghabiskan seri Code Geass dengan kerumitan politiknya.

Lalu, di pertengahan kelas 2 SMA, seorang senior cowok saya, tiba-tiba mempopulerkan anime 5 cm per Second. Sebuah anime yang berisi 3 cerita mengenai satu orang tokoh utama. Yang luar biasa adalah, judul itu tidak hanya dibuat anime-nya saja, namun juga ada komik dan novelnya. Sebagai seorang yang doyan anime, yang saya dan teman-teman kritisi waktu itu adalah kemampuan Makoto Shinkai dalam mengolah anime yang dia buat. Kabar-kabari dari senior-senior saya, itu adalah one man project-nya Makoto Shinkai. Saya tidak pernah mencari tahu soal ini, karena saya hanya peduli betapa keren yang ia kerjakan dengan anime itu.

Hayao Miyazaki dan Makoto Shinkai kemudian menjadi dua orang yang saya kagumi di dunia per-anime-an. Sementara anime seri lain yang populer bahkan tidak pernah saya tonton, meskipun sangat ingin memahami ceritanya, misalnya saja One Piece atau Samurai X. Yah, sejauh yang bisa saya ingat, hanya Code Geass dan Death Note yang saya tonton dari episode 1 hingga episode terakhirnya dengan khidmat.

Jepang, menjadi negara impian saya sejak SMP, dan saya pikir kegagalan saya mendapat beasiswa ke negara itu adalah akhir dari impian saya bertandang ke Jepang sebagai seorang mahasiswa. Bagaimanapun waktu tidak dapat diulang, saya akan terus bertambah tua kan. Demikian, angan-angan untuk datang ke Jepang tidak lagi membawa semangat menggebu-gebu seorang pelajar seperti saat saya masih SMP atau SMA dulu.

Meskipun demikian, entah karena alasan apa, suatu hari saya mencari secara iseng di Youtube tentang ‘8 Anime yang wajib kamu tonton’. Beruntung sekali karena daftar saya yang terakhir saya selesaikan kemarin ketika film Koe no Katachi bisa ditonton secara streaming. Meski setelah itu saya menambah daftar anime wajib lagi hingga jumlahnya menjadi 100, hehe.

Inti dari cerita ini apa?

Nggak ada, saya hanya mau cerita tentang hal lain yang sangat mempengaruhi hidup saya melebihi yang saya pikirkan sebelumnya. Ternyata saya pernah berpegangan pada impian-impian besar, bukan melulu pada perasaan terhadap seseorang. Mungkin tulisan ini juga efek saya maraton anime kemarin siang, mengulang Kimi no Na Wa. dan Hotarubi no Mori e. Padahal anime, tapi saya selalu berhasil tersentil dengan sangat dalam oleh mereka, sial.

*Nan Demonai Ya is playing in background*

Dan, lagi-lagi anime tidak bisa dipisahkan dari soundtracknya. Begitulah yang kemudian membuat saya berulang kali memutar lagu-lagu Joe Hisaishi, Cecile Corbel, dan akhirnya RADWIMPS. Anime vibes ini tidak juga berakhir. Jadi, mari tenggelam semakin dalam.

wordsflow

*

Akhirnya saya menulis lagi, hahahahaha. Sudah lama saya ingin mereview hal-hal yang saya suka. Anggap saja saya sedang memberi review Q.E.D. Sungguh, komik itu sangat layak untuk dikoleksi.