WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Culture

2020.


Memandang tahun ini sedikit dengan rasa… aneh. Sudah berganti dekade. Hampir-hampir saya ingin menulis refleksi tentang satu dekade ke belakang, tapi urung saya lakukan. Nanti saja, kalo sudah waktunya.

Saya masih hutang 2 tulisan, tentang pemikiran saya soal anime, juga soal kuliah pak kumis. Ini dua hal yang berbeda. Dan barangkali di samping gundah-gulana dan ketidakmampuan saya mengejar ritme hidup, mari saya antarkan Anda ke beranda tulisan ini.

Anime

Per 1 Januari 2020 kemarin, instansi saya resmi tidak ada, dalam artian kami sedang tidak beridentitas karena ketetapan baru belum juga diterbitkan. Pun demikian status saya juga belum ada kejelasan. Tapi itu soal lain. Saya mau membahas ekosistem yang digadang-gadang akan mampu memperbaiki ekonomi Indonesia.

Sekitar 4 tahun yang lalu, saya menemukan satu logo yang tidak saya kenal di acara ArtJog. Logo inilah yang teryata menjadi tempat kerja saya selama satu tahun belakangan. Singkat cerita, ibarat bertahun-tahun tidak punya tempat untuk mengadu, akhirnya ada satu lembaga yang bisa menjadi tempat pelaku kreatif untuk mengadukan nasibnya, memberi saran, menyampaikan kritik, atau minta bantuan. Ada banyak hal, tidak bisa saya ceritakan satu per satu, pun saya malas sekali menjelaskan tentang opini pribadi saya mengenai instansi ini, juga hal-hal lain di baliknya.

Ketika menilik program pembangunan ekosistem kreatif di Indonesia, saya sering bertanya-tanya kenapa getol sekali untuk mengkomodifikasi ‘budaya’ atau memaksa budaya lama tidak berkembang dengan narasi ‘melestarikan budaya’ hanya untuk menjualnya ke negara asing?

Ini hal yang sangat dekat dengan hal-hal yang saya kerjakan sekarang, juga kuliah-kuliah saya sebelumnya. Saya kerap kali mendengar bahwa orang dengan bangga menyampaikan bahwa ada kelompok/komunitas yang terus melestarikan budaya setempat, lantas berusaha untuk mempopulerkan budaya tersebut sebagai destinasi wisata, atau sesuatu yang bisa dijual. Ke belakang, ketika orang mulai lelah melakukannya karena tidak betul-beul memahami kenapa ritual atau praktik budaya tersebut dipraktikan, teralienasi dari makna sesungguhnya, praktik budaya hanya merupakan kebiasaan.

Bali tampak luar biasa di mata banyak orang. Saya juga berpikir demikian. Tapi saya belum pernah ke Bali. Belum pernah ngobrol dengan mereka dalam hubungannya dengan pariwisata. Saya merasa barangkali mereka baik-baik saja karena praktik budaya yang dijual adalah apa yang sehari-hari mereka praktikkan. Keduanya tidak saling meniadakan, hanya mengisi relasi yang ada saja antara pengunjung dan masyarakat tempatan. Tapi akan sangat berbeda jika ‘ide’ soal pariwisata model Bali diterapkan di daerah yang sudah tidak lagi memiliki praktik budaya yang serupa, atau yang sesuai dengan istilah ‘budaya’.

Jadi ketika melihat bisnis anime Jepang, saya kepikiran bahwa negara semacam Jepang dengan praktik budaya yang ketat dan seolah tidak tersentuh, memiliki hal lain yang jauh lebih layak jual. Tidak memaksakan bahwa komik atau anime Jepang harus merepresentasikan ‘budaya’ Jepang, pun tradisi Jepang. Mereka tidak harus pakai kimono dan ibadah di kuil. Toh tetap mendapat devisa.

Pendapat ini tidak saya isi dengan data yang cukup, saya paham. Saya malas betul mengubek-ubek google atau situs tertentu untuk mencari statistik tertentu tentang sesuatu yang sebetulnya maknanya hanya sebatas grafik semata. Saya kepikiran dengan masyarakat di daerah yang dianggap memiliki budaya yang bisa dijadikan atraksi wisata atau sebagai tujuan wisata. Naif sekali. Saya tetap lebih setuju untuk memilih hal lain yang tidak menganggu hidup masyarakat pun jika hal itu harus menjadi komoditas wisata.

Korea bahkan melakukan hal yang sama saya kira. Mereka tidak memaksanakan budaya Korea dalam bermusik masuk merasuk ke industri musik mereka, ke boyband dan setiap hari tampil dan memiliki fans jutaan. Yang penyanyi-penyanyi lakukan pun tetap disebut sebagai budaya. Ketika mendengar lagu gubahannya, kita akan langsung tahu bahwa ini ‘Korea sekali’. Di saat yang bersamaan budaya lama Korea tetap dipratikkan oleh sebagian orang.

Lagi-lagi ini opini. Baik Jepang maupun Korea, saya belum pernah ke sana. Saya hanya berpikir bahwa menarik sekali jika pemikiran kreatif masyarakat Indonesia tidak dibatasi oleh istilah ‘sesuai dengan budaya setempat’. Budaya yang mana? Kapan? Sementara budaya itu tidak ajeg, istilah itu otomatis menjadi invalid jika memiliki pakem yang tidak berubah.

Kulkas

Pokok bahasan kedua soal salah satu materi kuliah saya tahun lalu. Waktu itu Pak Kumis memberi satu kuliah tentang perkembangan kebudayaan. Menurutnya, salah satu temuan paling mengubah gaya hidup adalah kulkas. Saya ceritakan kenapa, meskipun saya lupa-lupa ingat.

Saya sering membeli bahan makanan, dan cenderung kesulitan menghabiskan sayur mayur karena bahan yang dijual dipaket dalam bundelan standar tokonya. Jadilah saya harus berbagi dengan tetangga kamar atau memaksa diri menghabiskan dalam 1-2 hari sebelum membusuk.

Persoalan ini muncul karena mindset kulkas. Penemuan kulkas mengubah gaya konsumsi masyarakat dari yang sebelumnya jangka pendek ke konsumsi jangka panjang. Ketika punya kulkas, kita merasa aman membeli lebih banyak bahan makanan karena ada alat untuk mengawetkan. Tapi habit itu bertahan, bahkan di hari-hari kemudian, karena ukuran barang yang harus dibeli kemudian menjadi ajeg.

Dalam praktiknya, terkadang lebih banyak bahan makanan yang tidak terolah untuk terpaksa dibuang. Tapi hal itu tidak mengubah gaya konsumsi, kita lagi-lagi akan membeli dalam jumlah yang sama. Tentu karena punya kulkas untuk mengawetkan makanan.

Saya ingat betul, ketika masih kecil, saya selalu membeli bahan makanan untuk satu hari itu saja, juga mengambil makanan dari kebun hanya untuk hari yang sama. Beberapa yang tidak seperti bumbu masak, bawang merah, bawang putih, cenderung bertahan lebih lama, tapi alakadarnya. Kita menggunakan pengawetan alami dan tertib dengannya. Untuk daging yang berlebih misalnya, kita bisa mengasapi atau membuat dendeng, digarami, diungkep. Tapi yak, saya sendiri setiap hari kesulitan mengatur bahan makanan agar tidak sampai busuk sebelum dimasak.

Begitu kira-kira tulisan ini. Saya akhiri saja. Semoga tetap berkenan. Tanpa bermaksud menebar kenegatifan diri atau kepasrahan, semoga tahun ini berjalan cukup lancar, atau setidaknya memberikan kita pilihan-pilihan yang menarik, juga kesempatan untuk berimprovisasi dan berkembang lebih baik lagi.

Tabik.

wordsflow

Konsumsi


Dalam beberapa hari belakangan, topik tentang konsumerisme dan kapitalisme entah kenapa muncul kembali di dalam jangkauan pandangan saya, baik melalui linimasa media sosial maupun muncul kembali sebagai sebuah kesadaran. Anehnya, saya tidak lagi merasa terganggu sebagaimana yang saya rasakan sebelumnya terhadap kesadaran soal ini meskipun sungguh memusingkan memikirkan harga properti dan membayangkan akankah saya akan berhasil membeli sebidang tanah untuk hari pensiun saya nanti. Hhhhnnnnhhhhh.

Di tengah segala kemudahan yang hadir di hari ini, kita kemudian tidak lagi dihadapkan pada kesulitan untuk mencari sesuatu yang sebelumnya ‘langka’. Apapun yang kita butuhkan kini hanya berjarak sejangkauan tangan. Satu-satunya penghalang kita adalah kemampuan finansial semata.

Tapi tenang, sistem kapitalis juga berupaya untuk menghilangkan penghalang itu bagi kita sehingga apapun yang kita harapkan akan dengan mudah kita dapatkan. Sebut saja fasilitas digital finance dengan segala penawaran menariknya, kartu kredit, kebijakan pay later, dan sebagainya. Kita dipaksa mengambil hutang dan memilih hutang sebagai cara yang paling ‘benar’ karena pelayanan cenderung menolak pembayaran langsung dan lebih memilih kredit. Hampir semua perjalanan ke luar negeri membutuhkan kartu kredit. Hampir semua transaksi jual-beli ke luar negeri mewajibkan kartu kredit. Bahkan kartu kredit menawarkan diskon yang jauh lebih besar dan membuat semua orang semakin merasa terdorong untuk memiliki kartu kredit.

Padahal kita memiliki uang di rekening sendiri, tapi bahkan jaminan itu tidak cukup untuk meyakinkan bahwa kita betul-betul bisa membayar hal-hal yang kita inginkan. Kesel nggak sih?

Saya ingat pernah begitu bersemangat membuat akun di Etsy sewaktu awal masuk kuliah, tapi segala upaya selalu terhenti pada jaminan kartu kredit dan yasudah, sampai sekarang saya tidak pernah berhasil mencari alternatif lain agar bisa melakukan transaksi antar negara.

Topik mengenai konsumerisme ini sebetulnya klise sih. Tapi begitu saya mengikuti akun finansial di salah satu platform sosial media, membaca berbagai cerita tentang tantangan finansial masing-masing orang, saja jadi bertanya-tanya sebetulnya apa cita-cita finansial yang dimiliki masing-masing orang. Juga menarik sekali ketika saya ditawari untuk membuat tabungan rencana dengan iming-iming bunga tertentu, serta tambahan iming-iming dari petugasnya “Siapa tahu tahun depan bisa jalan-jalan ke luar negeri”. Oh well, demikian secara serampangan saya artikan bahwa jalan-jalan ke luar negeri adalah kegiatan yang sedang menjadi tren di kalangan masyarakat seumuran saya, apalagi yang sudah memiliki penghasilan sendiri.

Di tengah huru hara ini, kita menjadi manusia-manusia yang seolah kehilangan esensi mencari uang. Apakah betul kita bekerja sekedar untuk mampu membeli ini dan itu? Apakah hidup akhirnya hanya sebatas upaya untuk mengejar standar kehidupan yang begini atau begitu? Beberapa kelompok manusia sungguh-sungguh hidup dari paycheck to paycheck ada yang meletakkan standar kemampuan finansial di sebelah agak jauh jalur hidupnya, dan ada juga yang sungguh tidak peduli dengan finansialnya.

Lalu terminologi work-life balance tiba-tiba menjadi terma yang sering kali muncul di sekitar saya, apalagi setelah kepindahan saya ke ibukota. Antara berada di skeptisme atas jaminan keseimbangan hidup di kota dan ketahanan diri untuk memastikan bahwa gaya hidup mayoritas ibukota tidak akan pernah menggerus gaya hidup saya dan saya akan tetap bertahan menjadi manusia-manusia yang waras tanpa merasa kekurangan.

Saya sedikit merasa aneh ketika menemukan beberapa teman saya yang merasa begitu menderita hidup di kota ini. Saya akui memang Jakarta membuat seseorang bisa begitu merasa kesepian. Tapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa dengan tinggal di kota kelahiran kita, atau kota favorit kita, kita tidak akan merasakan hal yang serupa. Sebuah kota tidak seharusnya bertanggung jawab atas apa yang sedang kita rasakan. Betul juga bahwa kehadiran atau ketidakhadiran seseorang di dalam hidup kita akan membawa perubahan, tapi menurut saya ada seribu satu substitusi yang bisa membantu kita merasa lebih ‘akrab’ pada sebuah kota.

Ada juga yang bilang bahwa saya sebetulnya punya selera metropolitan, tapi tuduhan itu juga saya pikir tidak beralasan. Saya hanya kerap mudah merasa nyaman pada suatu tempat, dan begitu merasa nyaman tidak mudah bagi saya untuk berpindah. Saya jarang pindah kos-kosan, apapun yang terjadi pada tempat itu, lebih suka memakai pakaian, tas, atau sepatu yang itu-itu saja, dan tidak merasa butuh berganti tanpa ada paksaan tertentu atau alasan tertentu. Barangkali ini juga yang membuat saya lulus lama? Hahaha. Bukan ding, kalau yang itu murni karena faktor kemalasan.

Dan betul juga sebetulnya, konsumerisme menjadi hal yang tanpa sadar diimani oleh semua orang, yang muslim konservatif, atau bahkan yang ateis, yang tidak peduli pada lingkungan atau bahkan yang mengaku sjw (akhirnya saya tahu arti singkatan ini). Setiap protes, setiap kritik, ideologi, bahkan kepercayaan menciptakan pasar baru yang bisa menghasilkan keuntungan bagi para pelaku bisnis. Saya juga menggunakan cara ini untuk mencari pembeli, yah jujur saja. Hanya satu yang membuat saya sebal karena orang-orang cenderung merasa gaya konsumsinya jauh lebih baik dibandingkan orang lain dengan membeli sesuatu atau tidak.

Misal munculnya tren sedotan besi atau sedotan bambu karena adanya protes terhadap penggunaan sedotan plastik. Jujur saja, sebetulnya klaim itu tidak berarti karena kita tidak butuh sedotan sama sekali, mau yang plastik ataupun yang besi. Pun tidak ada yang sungguh tahu apakah sedotan besi akan memberikan dampak kerusakan lingkungan yang lebih kecil atau tidak. Juga gaya berpakaian, baik yang muslim atau bahkan yang mengikuti tren MetGala, semuanya hanya memberikan keuntungan lebih banyak pada pengusaha tekstil, dan memunculkan potensi besar produksi pakaian, dan demikian juga potensi sampah dan limbah yang dihasilkan dari proses produksi itu. Belum lagi yang mengagungkan metode konmari Marie Kondo, sangat ada kemungkinan bahwa yang terjadi adalah konsumerisme gaya Marie Kondo, mengganti perkakas rumah tangga sesuai style adaptasi konmari, dan sebagainya.

Di samping kritik saya atas hal ini, saya juga menyadari bahwa saya orang yang sering membeli, meskipun saya pelit luar biasa pada persoalan harga. Lebih sering saya membeli sesuatu yang sangat murah dengan kualitas yang lumayan setelah mencari dengan super seksama di platform marketplace langganan saya, menggunakan segala promo pembelian online yang akhirnya membuat saya jauh lebih untung. Memuaskan diri sendiri tampaknya sedikit lebih sulit di hari ini karena standar yang bertebaran di luar sana. Mudah sekali merasa terintimidasi karena sesuatu dan bersikap biasa saja adalah salah satu cara yang paling mujarab.

Saya sering merasa sangat berterima kasih pada masa-masa perkuliahan saya yang memberikan sumbangsih pemikiran dan kesadaran yang tinggi atas setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup. Meskipun sederhana, gaya hidup bisa membuat orang merasa terbebani dan bahkan membawanya pada ketidakbahagiaan. Sesuatu yang saya pikir menyedihkan karena terjadi di kota yang menyediakan segalanya.

Akhir kata, akhirnya saya menorehkan tulisan lagi setelah sebulan tidak berhasil menghasilkan satu tulisan pun. Di sela satu bulan ini, saya sempat menghabiskan waktu untuk merenungi secara mendalam tentang tujuan saya untuk hidup. Barangkali kapan-kapan akan saya bagi sedikit. Tapi saya sendiri juga merasa bahwa memaknai hal seabsurd ini tidak layak untuk dibagi pada jiwa-jiwa tenang seperti pembaca sekalian. Jadi yah, kapan-kapan saja. Semoga kita selalu berada dalam kesadaran atas hal-hal yang kita lakukan.

wordsflow

Tajuk, 2018


Hello Instagram Era, here I try to write again with or without audiences, hehe.

So, we are so tired that my parents decide to take some rest. Moreover, we don’t have any other family members to visit or who wants to visit us, then, let me write a story for you.

Tadinya saya mau menuliskan dengan bahasa Inggris, tapi dipikir kembali, barangkali lebih menarik untuk dibaca dalam bahasa Indonesia, haha. So, here we go.

Jadi, Tajuk adalah nama sebuah dusun kecil di bawah kaki gunung Merbabu. Itu kampung keluarga besar ibu saya. Seluruh saudaranya ada di kampung tersebut dan tersebar hanya di beberapa kampung tetangga. Alhasil, kami adalah satu-satunya orang asing yang berkunjung ke sana setiap Lebaran, pada masanya.

Ya, saya katakan demikian karena ibu saya adalah satu-satunya anak Tajuk yang menikah dengan orang yang bukan dari dusun tersebut pada waktu itu (awal 90-an). Selain itu, kami terlampau jauh di era itu sehingga kedatangan kami adalah sesuatu yang dinantikan. Bagaikan keluarga semua orang, tak ada yang tidak mengenal keluarga kami dan di masa itu saya bisa berkunjung ke hampir semua rumah. Kadang-kadang kami memetik hasil kebun begitu saja dan tidak pernah kena marah. Ah, nanti saya lanjutkan cerita ini di bagian belakang.

Saya sudah pernah bercerita beberapa hal tentang orang-orang di sana dan dusun itu juga yang melatarbelakangi kegemaran saya mendaki gunung. Barangkali beberapa dari pembaca sudah pernah membaca cerita itu. Yha kalau belum maafkan karena saya tak sanggup mengorek kembali ke belakang untuk mencari kapan saya menuliskan cerita itu.

Well, to begin, kalau teman-teman bermaksud untuk menulis novel sastra, datanglah ke Tajuk, pilih satu tokoh dan silahkan wawancara biografinya. Niscaya kalian akan punya cukup bahan untuk membuat sebuah novel apik. Jika butuh cerita yang lain, datangilah rumah yang lain, dan akan ada cerita yang jauh berbeda tapi tipikal. Mereka semacam laboratorium hidup untuk belajar tentang kehidupan.

Belakangan sepanjang perjalanan pulang saya baru menyadari bahwa barangkali kunjungan rutin saya ke sana setiap tahun menjadi salah satu alasan dan hal yang melatari kenyamanan saya belajar antropologi. Selama ini tanpa saya sadari, saya telah menjadi spectator setiap kali saya berkunjung ke sana dan mendengarkan cerita. Dan bukankah memang kerja penelitian antropologi hanya mendengar cerita dan menganalisa?

Maka, menjadi pihak ketiga membuat saya dapat membayangkan perubahan apa yang terjadi setiap tahun di tempat itu. (Bahkan dalam novel kita terbiasa diposisikan menjadi orang ketika, karena itu memang sudut yang pas agar memahami banyak hal). Itu juga barangkali, yang membuat saya selalu tertarik untuk berkunjung meskipun hanya untuk satu hari saja. Ya, manusia memang homo narrans.

Ketika saya kecil, dalam artian masih di gendongan, kami harus menempuh waktu sekitar 1-2 jam berjalan kaki melewati kebun dan sawah untuk mencapai rumah simbah buyut saya dari pemberhentian bus terakhir. Itu ditambah dengan perjuangan mendapatkan bus jurusan Magelang-Salatiga tanpa berdesakan. Kami bisa bertarung dengan berkarung-karung kobis dan segala jenis hasil kebun yang lain.

Menariknya, selalu ada orang yang bisa kami ajak barengan ketika berjalan kaki. Hampir semua orang di sepanjang jalan setapak mengenal masing-masingnya karena terbiasa ke pasar bersama, berjalan bersama, dan menunggu bus bersama.

Perubahan terjadi begitu ada orang yang dapat mengkredit motor. Ojek mulai menjadi alternatif kami untuk mencapai rumah simbah. Tapi ketika itu jalan masih berbatu berupa jalan makadam. Well, susunan batu ini sangat menakjubkan bahkan masih bertahan apik hingga sekarang. Saya selalu penasaran bagaimana cara mereka menyusun batu sekeren itu, tapi itu bukan fokus cerita saya kali ini, hahaha.

Alternatif ojek menjadi pilihan kami hingga saya masuk tahun ke dua kuliah (atau tahun ke tiga yak, saya lupa). Intinya, karena bapak saya merasa saya sudah jago naik motor, saya dipaksa mengambil SIM demikian sehingga keluarga kami akan punya tiga pengendara motor handal; saya, bapak, dan mas. Akhirnya pilihan itu terbukti ampuh selama beberapa tahun terakhir. Ya meskipun pada akhirnya kami tercerai berai karena keluarga ini sudah punya keluarga-keluarga lain, hahaha.

Tapi begitulah, sejak jalan makadam itu menjadi aspal, perubahan sangat cepat terjadi. Orang-orang mulai dapat mengkredit motor dan memiliki kendaraan di rumah. Karena akses yang mudah, beberapa mulai berani bekerja di luar dusun dengan menjadi buruh atau merantau ke kota jauh. Yang terjadi selama lima tahun terakhir adalah perubahan model rumah dan alat transportasi di seluruh rumah di sepanjang jalan yang saya lalui menuju Tajuk.

Demikian, saya tidak akan meromantisasi hal ini menjadi soal mana yang lebih baik dari apa. Tidak. Silahkan memutuskan sendiri. Tapi ini perkara perubahan. Karena akses yang mudah, banyak hal yang juga menjadi mudah berubah di dusun-dusun tersebut meski salah satu hal yang barangkali abadi di sana adalah suhu musim kemaraunya yang tidak mampu saya tangani. Bahkan saking dinginnya saya tidak dapat terlelap, heu.

Yap, sekolah adalah salah satu hal yang merubah masyarakat Tajuk. Seorang kakek di depan rumah simbah buyut saya sudah berusia hampir 100 tahun (saya baru seperempat umurnya woy). Beliau berpesan ke saya tadi siang, sekolahlah yang baik selama mampu. Beliau juga bercerita bagaimana masyarakat dusun Tajuk setiap hari bersama-sama berjualan kubis (beliau menyebutnya lobis) hingga ke pasar Magelang atau pasar Boyolali (yang saya lupa nama pasarnya). Berangkat sebelum ayam berkokok dan pulang begitu hari sudah gelap. Beliau berani menyekolahkan anaknya setinggi apapun selama mereka mampu sekolah. Sekarang, beliau masih bertani, anaknya menjadi polisi.

Sungguh sangat novelis sekali kan hidup mereka.

Ya, karena saya terbiasa membaca cerita yang semacam itu di novel-novel. Padahal begitu ditelisik lebih dalam, sebenarnya saya telah lama terbiasa dengan hal semacam ini, hahaha. Duh, saya merasa tertohok dan di saat yang bersamaan merasa tak berdaya.

Tapi hal itu yang barangkali membuat orang-orang di Tajuk tetap sehat, beranak banyak sekali (hingga 18 anak) dan selalu bahagia. Agak ajaib karena apapun yang terjadi kepada masyarakat Tajuk sepanjang tahun, di hari lebaran mereka selalu bisa memberikan kami makanan enak yang dimasak sendiri dari hasil kebun. Saya selalu kewalahan menolak tawaran makan di rumah-rumah. Rekor makan saya delapan kali dalam sehari dan minum teh tak terhitung banyaknya.

Akhirnya sekarang, begitu saya duduk di bangku antropologi, saya merasa seolah memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri untuk menerapkan ilmu yang sudah saya pelajari. Salah satunya adalah doing ethnomethodology, mencari tahu what lies beneath every question. Ada sangat banyak percakapan yang membuat saya akhirnya merasa bahwa masyarakat pada umumnya sungguh berpikir sederhana saja. (Sayanya saja yang barangkali terlalu overthinking selama ini, pfft).

Salah satu hal yang sudah jarang adalah diversifikasi cemilan. Dulu saya sangat bahagia setiap ke rumah simbah saya karena mereka memiliki bayam goreng buatan sendiri karena tanamannya tumbuh liar dan subur, wajik, jadah, dan lauk pauk khas sana lah pokoknya. Ada banyak hasil kebun yang akan dibawakan untuk kami ke Jogja. Demikian, bertukar oleh-oleh menjadi menarik karena hal berbeda yang dipertukarkan.

Sekarang sudah tidak banyak yang berkebun (ngalas istilah mereka, yang maknanya adalah ‘ke hutan’) karena generasi di bawah mereka lebih tinggi sekolahnya, mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau ke luar kota. Barangkali semakin mudah akses masyarakat terhadap hal-hal, namun ladang menjadi tidak terlalu terurus. Bahkan mulai ada tukang sayur yang jualan keliling karena sudah tidak banyak masyarakat yang punya hasil kebun dan ke pasar secara rutin.

Ya, hidup memang berubah. Saya pun lahir dan tumbuh di dalam modernitas yang mulai merangsek ke hidup masyarakat Tajuk. Saya dan keluarga saya pula yang barangkali pertama-tama memperkenalkan model hidup yang lain dibanding dengan masyarakat di Tajuk. Beberapa hal menjadi mudah digantikan dengan uang karena toh mereka sudah mudah untuk mengakses barang-barang yang dapat ditukar dengan uang.

Tapi dari begitu banyak perubahan yang terjadi dengan masyarakat Tajuk, banyak dari mereka yang hidup dengan mencoba, gagal, dan rugi. Berapa banyak buruh pabrik yang mengeluh karena kesehatan dan jam kerja (saya pernah menulis cerita tentang ini di blog ini juga), berapa banyak petani yang mengeluhkan harga pupuk, berapa banyak orang yang termakan tren pedagang keliling setiap tahunnya.

Dan mereka tetap bisa memaksa kami makan setiap lebaran saat kami bertamu ke rumah-rumah itu. Sering kali itu membuat saya malu.

Demikian cerita saya di lebaran ini. Barangkali itu salah satu hal yang mampu mendorong saya menerobos absurditas mudik setiap tahunnya.

wordsflow

Makassar suatu hari,


Mari sedikit bercerita hal biasa.

Benar, Jakarta tampak romantis hari ini, sebagaimana yang sering pula saya ucapkan lirih dalam hati betapa Jakarta tak pernah nggak romantis untuk saya. Beberapa kali saya menghabiskan waktu seorang diri di Jakarta sebagai wisatawan. Beberapa kali juga saya terpaksa dan dipaksa untuk ditemani seseorang, hingga akhirnya saya dengan sukarela mau menjadi guide untuk beberapa kawan.

Well, some moments recalled another memories kan. Dan tentu saja ada hal-hal yang selalu muncul bersamaan dengan bangkitnya romantisme di dalam diri.

Namun perjalanan yang dilakukan bersama teman selalu terasa jauh lebih cepat dibandingkan hanya dilakukan seorang diri. Tidak ada cukup waktu untuk merenungi perjalanan, untuk berbaper ria dengan kenangan, untuk mengagumi hal-hal biasa, untuk terkesima dengan berbagai hal luar biasa. Waktu terlampaui karena obrolan.

Yah, begitu saja cerita malam ini. Hari ini hari terakhir pertunjukan Teater KOMA, besok TIM sudah akan digunakan oleh Jakarta City Philharmonic. Dua-duanya tidak ada yang saya hadiri. Pun konser teman saya di tanggal 2 Desember nanti tidak akan saya hadiri juga. Bagaimanapun, hidup memang pilihan dan satu hal berimplikasi terhadap hal lainnya, langsung ataupun tidak, suka ataupun tidak. Jadi, let’s get use to it, let’s enjoy!

Ini saya kasih bonus foto-foto selama jalan-jalan kota di Makassar.

di komplek Cina; ruko-ruko model lama, lampion, klenteng, everything looks good

lampion-lampion cantik depan klenteng

bukan spot foto, tapi dinding samping klenteng

langit mendung itu gerah tapi teduh

bonus foto saya yang ciamik yhaaaa

DIY projects and handmade trends


Salah seorang kakak kelas (salah satu yang terbaik) saya waktu SMA kuliah di Harvard. Kampus yang pernah saya idamkan setelah MIT tentunya. Tapi toh saya yakin kampus itu tidak pernah berhubungan dengan saya selamanya. Well, berhubung senior saya berhasil masuk ke sana, maka mari kita manfaatkan hal-hal yang dia pelajari untuk diri sendiri.

Belakangan senior saya punya vlog soal pemikiran pribadinya. Sebelumnya dia sudah aktif ngeblog sejak saya masih SMA. Kami teman ngeblog kalo di lab sekolah. Karena itu saya masih terus mengikutinya. Ketika saya menonton videonya siang ini, ada frasa yang baru saya dengar sekarang; kearifan praktis. Sila ditonton dulu kalau ingin tahu.

Sebetulnya video ini membahas soal implicit bias, yang mana akhirnya menjelaskan juga ke diri sendiri mengapa sampai timbul rasa iri terhadap orang lain. Barangkali memang begitu, bahwa di dalam diri kita ada standar-standar yang kita yakini tanpa sadar lebih dari standar yang lainnya. Karena itu akhirnya kita tidak pernah puas dan menganggap sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lainnya. Kita terbiasa membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Justru ketika membahas soal ‘kearifan praktis’, saya teringat bahasan mengenai DIY Projects dan handmade trends yang dipopulerkan oleh komunitas Punk dan kini menjadi hal yang tereksklusi di kalangan masyarakat. DIY dan handmade menjadi gaya hidup yang eksklusif dan seolah-olah begitu keren dibandingkan dengan model gaya hidup yang konsumtif. Padahal hal itu sebetulnya biasa saja.

Sebagai contoh, ketika kami sedang sibuk membuat properti untuk pameran, ternyata hanya satu orang dari seluruh mahasiswa yang sungguh-sungguh memiliki keterampilan sebagai tukang kayu. Keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan untuk memahami, menelaah, membayangkan, mendesain, dan mengeksekusi segala ide dan gagasan yang berkenaan dengan perkayuan.

Saya kembali mengingat hasil pengamatan saya di masyarakat lokal. Hampir separuh dari istri muda di hari ini tidak dapat menganyam sehingga tidak bisa membuat sendiri perlengkapan adat mereka. Banyak yang menyatakan bahwa menganyam terlampau sulit. Padahal secara prinsip anyaman itu dapat dinalar dan dipraktikkan tanpa banyak kesulitan. Orang-orang tua di sini bisa menganyam sambil ngegosip seharian tanpa lelah loh. Para lelakinya hampir semuanya bisa membuat peralatan sendiri, dan membangun rumah sendiri. Tidak ada pihak yang bernama ‘buruh’ karena semua orang bisa melakukan segala hal seorang diri.

Saya membayangkan bahwa semua orang dahulunya juga melakukan hal yang sama dalam hidup mereka. Tidak ada pertimbangan bahwa melakukan hal-hal njelimet seperti menganyam misalnya, membuang-buang waktu. Padahal waktu yang terbuang tersebut sebetulnya juga digunakan oleh masyarakat di hari ini untuk mendapatkan uang yang barangkali juga nanti akan digunakan untuk membeli barang dengan fungsi sama. Kita hanya mengubah metodenya dan barangkali, mempermudah jalan menujunya.

Tidak ada maksud untuk menyatakan mana yang lebih benar dan lebih baik di hari ini. Saya yakin masing-masing dari kita memiliki pertimbangannya masing-masing mengenai setiap persoalan dan hal-hal yang berkenaan dengan hidup mereka. Hanya saja, saya ingin mengingatkan bahwa hal yang oleh rekan senior saya ini disebut ‘kearifan praktis’, pada masanya merupakan bagian yang dimiliki hampir semua orang, dan dipraktikkan. Tidak ada hal yang sungguh eksklusif dari DIY Projects dan handmade trends karena sebetulnya semua orang bisa melakukannya.

Percayalah, setiap orang yang menyatakan dirinya tidak bisa menggambar misalnya, akan menemukan bahwa dirinya setidaknya bisa menggambar satu karakter yang selalu sama. Dan untuk menjadi komikus, satu hal itu saja sudah cukup. Setiap orang yang mengatakan tidak bisa bermain musik misalnya, akhirnya akan turut bernyanyi juga apabila mendengar lagu kesukaannya. Dan begitu pula saya yakin, setelah mencoba dengan tekun, setiap hal yang kita pikir eksklusif sebetulnya adalah hal yang terlampau biasa saja.

Sebagai penutup, saya sebetulnya lupa tujuan tulisan ini apa gara-gara sempat terputus selama beberapa hari. Tapi begitulah gambaran singkatnya. Semoga berkenan.

wordsflow