WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Music

Instrumen.


Semalam RADWIMPS mengunggah music video mereka untuk Weathering With You, part orchestranya suka, juga gubahan liriknya. Lalu ternyata perjalanan blogging saya agaknya memicu saya untuk menuliskan tulisan ini.

Tapi sebelum itu, saya ingin sedikit berbagi. Belakangan saya dirundung perasaan yang tidak menyenangkan dan saya pikir saya sendiri kurang mampu pun kurang bijak dalam menanggapinya. Kadang saya ingin menunjukkan keinginan saya untuk diperhatikan atau dipedulikan oleh orang lain, meskipun barangkali beberapa saat kemudian saya akan merasa bahwa hal semacam itu terlampau kekanakan. Tapi mari sekali lagi mengakui bahwa istilah ‘mendewasa’ itu kadang membebani. Saya mulai merasa bersalah ketika mengekspresikan emosi akan sesuatu, atau menumpahkan emosi melalui media tertentu. Toh sebagai manusia kamu tidak perlu tampak bahagia sepanjang waktu. Saya suka ingin bilang dengan jumawa bahwa kita merdeka menjadi diri sendiri, tapi seringnya lupa bahwa kita hidup bersama orang lain. Jadi akhirnya lagi-lagi merasa salah karena menerima feedback yang tidak menyenangkan. I paid for my ignorance. Hahaha, kesel.

Well, memikirkan ini sering membuat saya hilang arah dan harus memaksakan diri tidur sebelum mengarah ke hal-hal yang tidak jelas. Jadi sekarang, mari kita bicara yang enteng-enteng saja.

Setiap kali mendengarkan radio hari kamis, saya sering kali merasa terpanggil untuk menulis tentang lagu-lagu yang membekas di ingatan saya. Jauh sebelum tulisan ini, saya pernah membahas beberapa, meski seadanya. Tapi barangkali, yang sedikit mengejutkan saya, ada beberapa lagu yang ketika saya dengarkan ulang kemudian menyisakan kesan yang lebih mendalam.

Minggu lalu ketika iseng mencoba memperbarui playlist saya yang lama, seorang teman bertanya, musik seperti apa yang saya sukai atau barangkali siapa yang saya anggap menarik? Saya baru menyadari bahwa musik menempati dimensi yang sedikit berjarak dari saya. Dibandingkan mendekatinya, terkadang saya lebih tertarik pada lagu yang tidak sengaja mampir, lantas memikat hati saya.

Saya tidak mendengarkan The Beatles, hal yang barangkali agak aneh mengingat mereka adalah kiblat pemusik seluruh dunia. Tapi bukan berarti saya tidak tahu satu pun lagu mereka. Di dunia dimana The Beatles ibarat imam, kamu tentu saja akan sesekali mendengarkan Yesterday, Hey Jude atau beberapa lagunya yang lain. Ketika pertama kali betul-betul berniat mendengarkan albumnya, saya cenderung menganggapnya membosankan.

Tapi ternyata kemudian saya jatuh cinta pada lagunya yang While My Guitar Gently Weeps. Suka, suka banget. Saya sering mendengarkan lagu dengan headset, dan belakangan headset saya mengalami peningkatan kualitas, yang karenanya detil-detil instrument tipis-tipis yang terkadang luput dari telinga saya akhirnya bisa tertangkap dan entah bagaimana semakin sering saya mengulang lagunya, semakin ingin saya mengenal The Beatles. Hehe.

Saya bisa dengan mudah tertarik pada sebuah lagu karena instrumen pada intro lagunya. Kita kadang merasakan hal semacam itu nggak sih sama lagu yang kita suka? Kadang kamu kecewa dengan lagu di tengah-tengahnya, atau terkejut di bagian akhir. Tapi instrumen menjadi bagian paling menarik menurut saya. Kadang semakin tertarik karena merasa liriknya saya suka, dan cenderung menimbulkan pertanyaan kenapa lirik itu bisa muncul.

Tapi satu hal juga barangkali, saya suka sekali dengan musik yang emosional, entah ekspresi sedih, depresi, mengharu biru, kemarahan, yah atau emosi-emosi sejenis. Ya bukan berarti saya nggak suka musik jenis lain yang lebih ceria. Saya suka beberapa lagu-lagu Korea loh, hahaha. Tapi barangkali lagu-lagu itu tidak akan pernah menjadi rujukan saya ketika ingin mendengarkan lagu sih.

Atau, lagu-lagu yang saya temukan dari sebuah film. Dari begitu banyak album, list teratas saya masih Kimi No Na Wa. Barangkali karena saya bukan hanya menyimpan kesan, namun juga cerita, perasaan, emosi, dan pemikiran-pemikiran tertentu atas filmnya, jadi ketika mendengarkan musiknya, segala hal jadi terbawa serta.

Oh yah, memang tulisan ini nggak jelas sih. Hahaha. Barangkali pembaca sekalian sedikit penasaran dengan hidup saya, dua video ini sering sekali bisa membangkitkan emosi saya akan hal-hal yang terjadi dalam hidup. Bukan hanya soal animenya, tapi coba deh dengerin lagunya dan perhatikan masing-masing orang yang main instrument di orchestranya. Sedikit banyak, mereka membangkitkan semangat saya untuk menjalani hari-hari.

through music we build hope


Di sela keinginan saya untuk bisa melakukan segalanya di dunia ini, saya akhirnya memutuskan untuk bercerita di sini kembali. Ini soal ketertarikan saya pada musik, namun tidak pada musisi, hehehe.

Waktu kecil, ayah saya sering memutar kaset dengan lagu yang itu-itu saja. Saya bahkan hingga kini tidak bisa membedakan mana yang lagunya Ebiet, Iwan Fals, Bimbo, atau sederet nama musisi lama. Saya hanya bisa turut bernyanyi kalau ada yang sudah memainkan intronya. Begitulah saya akrab dengan lagu-lagu dan musik. Tidak lebih dari permainan gitar ayah saya yang itu-itu saja, dan lagu kaset yang itu-itu aja juga.

Saat menginjak SMP saya berkenalan dengan beberapa alat musik, tapi menyerah karena saya buta nada sama sekali, hahaha. Ketertarikan saya pada musik juga masih dalam kadar yang sama. Untung sekali waktu itu ada MTV Bujang yang jadi tontonan saya selama libur sekolah. Kalau nggak salah ingat acara itu tanyang setiap jam 10 pagi setiap hari Kamis, entah, saya sudah lupa. Berkat chanel TV yang itu, saya menjadi cukup mengenal beberapa band beken luar negeri. Hemm, sebagaimana mungkin anak SMP lainnya di masa itu, saya tergila-gila sama Avril dan Linkin Park. Tapi masa SMP saya tidak menghasilkan kemampuan musik apapun, meski ketika itu saya berkeinginan sungguh untuk main musik. Apa daya, kemampuan tidak tumbuh dari keinginan, namun dari dipraktikkan.

Mungkin memang saya terlalu kompetitif sejak kecil, sehingga untuk bisa bermain musik pun harus dengan cara di-trigger oleh orang lain. Saya harus berterima kasih pada adik saya yang berhasil membuat saya mati-matian bermain musik waktu itu. Agaknya secara alami saya menganggap adik saya adalah saingan. Sehingga ketika ia bisa bermain gitar, saya mengharuskan diri saya untuk itu juga.

Saya rasa hidup saya memang penuh persaingan. Lebih karena saya menstimulasi diri sendiri untuk demikian ketimbang karena orang lain mengatakan hal tersebut ke diri saya. Kadang saya berpikir jauh mengapa saya melakukan hal tersebut, mengapa saya melihat orang lain dengan kacamata yang demikian. Padahal ya sudah sih, terima saja kalau kemampuan masing-masing orang berbeda. Tapi ternyata saya masih terus terpengaruh oleh orang lain. Meski bertanya-tanya, saya toh mengikutinya juga, hehehe.

Semakin lama, jauh setelah keinginan egois untuk tampak keren dan bisa memamerkan kemampuan diri, saya menemukan keteduhan yang dalam melalui musik. Banyak hal yang memang tidak bisa diraih dalam sekali waktu. Ketika saya sungguh ingin bisa memainkan gitar, yang saya dapat hanya sebuah kepuasan temporal, bukan kedalaman. Tapi belakangan saya menemukan ada hal lain yang menggantikan rasa bersaing itu. Sulit tapi didefinisikan. Karena yang begitu hanya bisa dinikmati dan dirasakan.

Saya banyak terkesan oleh film atau anime karena musiknya. Saya menemukan kedalaman puisi karena musikalisasinya. Yang paling mengesankan adalah saya begitu terharu dengan Red Turtle yang notabene adalah silent anime. Maka, peranan musik terasa sangat penting untuk membangun perasaan terhadap hal yang tampak oleh mata. Musik juga menyimpan banyak hal yang tidak mampu tersampaikan lewat kata. Bahkan ia bisa menciptakan suasana yang awalnya tidak ada. Dan kekaguman saya pada musik, pada manusia-manusia yang menekuni musik, pada alat yang menghasilkan musik, dan pada suara-suara semakin besar.

Voice is not merely a voice.

Saya bayangkan kemudian masa-masa ketika saya lebih sering bersedih dan bermuram durja diiringi lagu-lagu melankolis nan mendayu-dayu. Sembari kadang meng-iya-kan liriknya atau mengumpat atasnya. Hahaha. Menengok ke masa-masa itu, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata manusia bisa berubah begitu rupa. Bisa berproses begitu panjang, penuh lika-liku dan sangat dinamis. Dan semua orang merasakan hal yang sama!

Oh ya ampun, saya ngelantur.

Lalu malam ini saya tercengang ketika membayangkan rupa masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pikiran saya telah mendekonstruksi segala hal hingga ke titik intinya, dan rekonstruksi yang dibentuk agaknya telah terlampau jauh dari yang saya duga. Ternyata ada gunanya juga menyimpan foto-foto lama dan mengasah ingatan melaluinya.

Well then, tulisan ini tidak indah, tidak jelas, dan tidak sesuai dengan judulnya. Tapi ini cukup, untuk membuat blog ini terisi dengan ceracauan saya.

wordsflow

Setelah Cerita Masa Kecil


Saya teringat kembali tentang masa kecil saya yang diulang-ulang secara tiba-tiba sejak kemarin. Haha, nggak jelas juga kenapa tetiba teringat masa kecil.

Ah, ini sebetulnya tulisan pelarian karena saya yang sedang jenuh menulis dan memikirkan konsep museum untuk skripsi saya. Padahal besok deadline, tapi sekali lagi, saya memang terlahir sebagai deadliner sepertinya (barusan ini kalimat pembelaan).

Mungkin lebih tepat juga dibilang, jika saya sedang banyak pikiran biasanya semua hal jadi tiba-tiba terbuka lebar. Saya menjadi teringat pada gagasan-gagasan yang pernah saya tuliskan dan saya ucapkan. Atau terkadang tetiba alur cerita novel yang telah lama saya tinggalkan kembali seperti tak pernah pergi. Makanya ketika nganggur saya justru akan sangat nganggur, dan saat seharusnya mengejar deadline saya justru mencari pelarian ke hal-hal semacam ini.

Nggak papa lah, siapa tau tulisannya jadi nggak sekedar sampah.

Jadi, mari mulai dengan mengulangi gagasan saya dulu, bahwa dunia ini adalah milik anak-anak.

Nggak sepenuhnya setuju dengan itu, tapi semakin dipikir, semakin merasa itu semua benar adanya. Mungkin karena basis manusia yang memang makhluk sosial, bergantung, dan memiliki semua sifat manusiawi lainnya.

Anak-anak, adalah subjek dunia yang tidak pernah diabaikan di banyak aspek. Bahkan hampir semua hal tujuan akhirnya adalah generasi yang ketika itu masih anak-anak. Maka ketika siang tadi saya melihat masih banyak anak kecil yang berlarian main petak umpet, saya cukup merasa lega, bahwa dunia mereka belum terenggut oleh sesuatu yang tidak secara alami ada.

Saya bukannya menentang modernisasi global, toh saya juga menggunakannya. Tapi jika membayangkan diri saya saat kecil mengalami hal-hal yang tidak sewajarnya ingin saya cari tahu sendiri, saya rasa saya akan menjadi orang yang berbeda.

Gagasan ini muncul karena hingga detik ini saya masih ingat pertama kali saya menonton Titanic berdua dengan ayah saya adalah ketika saya masih kelas 2 SD. Ketika itu saya tidur malam selama dua hari berturut-turut hanya untuk mengikuti ayah saya nonton. Sementara suatu ketika di kelas 1 SD saya pernah nonton Indiana Jones yang ke 2, dan bagian paling saya ingat adalah ketika mereka makan otak kera. Sampai sekarang masih sangat detil terekam dalam ingatan saya tentang itu semua.

Jadi, sebegitu membekasnya ingatan-ingatan tentang masa kecil hingga sampai kapanpun kita akan terus mengingatnya karena itulah yang membuka diri kita ke dunia. Ia adalah gerbang kita untuk mengenal lingkungan sekitar kita, dan mencari tahu ini-itu tanpa berhenti bertanya kenapa.

Tapi saya sedang tak ingin memberikan gagasan apapun tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembetukan karakter pribadi masing-masing orang. Itu akan lebih mudah kalian temukan di tulisan ilmiah yang lainnya. Saya hanya merasa bahwa sebenarnya kenangan kecil itu sesuatu yang akan selalu mengganggu setiap orang, entah kondisi saat itu seperti apa. Saya pun begitu. Kehidupan masa kecil saya amat sangat membahagiakan, dan tak pernah saya melewatkan satu hari tanpa tertawa. Tapi bukan berarti tidak pernah ada bagian yang kelam di sana. Tetap selalu ada bagian-bagian yang tidak ingin saya ingat kembali, meskipun itu akhirnya tetap selalu terjadi.

Saya hanya merasa, jika akan sangat baik bagi kita untuk terus mengenang hal-hal semacam itu. Agar kita terus ingat bahwa kita datang dari kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa. Atau agar kita mengerti bahwa suatu hari nanti anak-anak kita akan mengingat masa yang sama.

*

Kan, padahal sebelum menulis saya punya banyak hal yang ingin saya keluarkan, tapi kini lupa begitu saja. Mungkin sebentar lagi ingat.

Sementara itu, saya mau bercerita tentang film Petualangan Sherina; saya sama sekali belum pernah menontonnya. Ahaha… Bahkan ketika kemarin sempat diputar di tv saya tetap tidak menontonnya. Entah lah, mungkin dia bukan bagian masa kecil saya yang saya cari-cari. Saya mudah teringat pada sesuatu, terutama yang berhubungan dengan bau dan lagu. Saya bisa teringat sesuatu yang telah saya lupakan sama sekali hanya dengan mencium bau yang saya kenal ketika itu. Dan terkadang itu mengganggu.

Ah, kebetulan saya sedang mendengarkan lagu Joan Baez yang Diamonds and Rust. Dan saya yakin tak lama lagi setiap kali saya mendengar lagunya saya akan teringat dengan suasana ini, begitu terus terjadi pada semua lagu yang saya dengar.

Saya bukan penggila lagu-lagu yang sedang hits atau pernah hits pada jamannya. Tapi sekalinya saya suka lagu, maka selalu masuk ke playlist untuk kemudian akan diganti lagi dengan yang lain nantinya. Joan Baez pun begitu. Saya baru pernah tahu namanya setelah membaca bukunya Soe Hok Gie, dan entah kapan itu terjadi. Tapi baru kemarin saya sungguh-sungguh mendengarkan dan mencari tahu siapa dia.

By the way, saya lantas merasa rugi karena bukan dari dulu saya mendengarkan lagu-lagunya.

*

Nah kan, saya tetap tak ingat mau menulis apa lagi. Ya sudahlah, mungkin saya sudahi saja karena harus kembali menulis konsep. Padahal saya sering mengkritik konsep orang lain, tapi nggak mampu membuat konsep sendiri. Haha.

Dan bagian yang tidak saya suka dari sedang-rajin-mengisi-blog adalah buku harian saya yang menjadi terlupakan. Sekian, selamat malam…

wordsflow

Tiap Senja


Bilakah kau menepi di labuhku?
Bilakah kau menjauh?
Membentang kau jelas di sana, namun tak teraih
Kau tak datang pun tak pergi

Riak-riak berlabuh di pantaiku
Darahku kian menderu
Sadari tak jelas disana, apakah karenamu?
Kau tak nyata pun tak semu

Tidakkah cinta berkuasa?
Tak mestinya luka menghentikan langkah
Bila saatnya, hadapilah

Bilakah kau menepi di labuhku?
Bilakah kau menjauh?
Membentang kau jelas di sana, namun tak teraih
Kau tak datang pun tak pergi

Tidakkah bimbang menyiksamu
Masih banyak pulau yang dapat kau temu
Sejenak saja, hampiriku!

Riak-riak berlabuh di pantaiku
Darahku kian menderu
Berharap ‘kan jelas disana, hanyalah karenamu
Tiap senja di labuhku

Menepilah!

Tiap Senja

Tiap Senja – Float

OST 3 Hari ‘tuk Selamanya

Ironic


Well life has a funny way of sneaking up on you
When you think everything’s okay and everything’s going right
And life has a funny way of helping you out when
You think everything’s gone wrong and everything blows up
In your face

_Alanis Morissette

Saya cerita dulu ya sedikit.

Ada seorang guru Bahasa Inggris di sekolah saya waktu SMA dulu, namanya Mr. Daniel. Dia bukan orang Indonesia, dan karenanya punya metode berbeda dalam mengajarkan Bahasa Inggris pada kami. Setiap kali masuk kelas, dalam 3 pertemuan selama seminggu, guru saya ini selalu memutar Supernatural Series pada dua pertemuannya, dan yang satu pertemuan mendengarkan lagu.

Suatu ketika, beliau memperkenalkan pada kami seorang penyanyi, namanya Alanis Morissette. Entah karena saya tidak mendengarkan atau bagaimana, sepenangkapan saya orang ini penyanyi lama, dan lagunya sudah begitu jadul. Ternyata saya salah. Mungkin karena saya juga tidak pernah mengerti musik dengan baik, dan masih tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu segala hal di balik lirik yang ada dan musik yang mengiringi, jadinya saya pun tak pernah tahu penyanyi ini. Baru-baru ini saja saya tahu bahwa dia cantik, dan masih muda.

Oke, lupakan bagian itu dulu.

Mungkin jika ada yang belum pernah mendengar lagunya, silahkan aja mendengarkan. Lagunya cukup mudah ditemukan di mana pun. Tapi saya nggak akan ngasih tahu, nanti dibilang ikut membajak lagu orang lain. Hehehe…

Ya, lagu ini sempat digunakan oleh guru saya untuk tes listening suatu hari. Makanya lirik dan lagunya masih terus saya ingat hingga hari ini.

Saya sangat suka pada lagu ini. Lebih karena liriknya yang sungguh menggambarkan the irony itself lah pokoknya.  Merenungi lirik yang saya kutip di atas, bahwa ya, hidup itu selalu punya caranya sendiri dalam menolong dan ‘mempermainkan’ kita yang ada di dalamnya. Hidup selalu tidak terduga dan penuh dengan kejutan. Dan entah bagaimana semua yang terjadi dalam hidup akhirnya diterima sebagai takdir atau dipertanyakan kepada Tuhan masing-masing. Saya rasa ironi menjadi kata yang sangat bisa menggambarkan kemajemukan perasaan seseorang dalam menanggapi jalan hidupnya.

Yah, ironi ada dimana-mana.

Dan jika yang dibahas itu berkaitan dengan ironi, pasti juga nggak akan lepas sama gugatan. Tidak lepas juga dari pertanyaan-pertanyaan semacam, kenapa saya dilahirkan di sini, mengapa saya ini dan itu, dan banyak yang lain.

Hei, saya sudah pernah bilang kan saya percaya takdir?

Ya, sebenarnya tidak perlu khawatir akan gugatan itu. Yang perlu dikhawatirkan adalah cara membuat diri kita tidak meledak dengan semua pertanyaan itu. Dalam ketenangan semacam apapun, manusia akan tiba pada titik puncaknya, lalu meledak,  mereda, dan mengulang prosesnya lagi dari awal. Bisa jadi itu semacam kutukan di dunia untuk kita. Ibarat naik gunung, kita tidak bisa terus mengharapkan mendapat jalan yang begitu lurus. Akan tiba saatnya untuk naik ke punggungan, mencapai titik frustasi dan lelah yang amat sangat, lalu rehat saat menempuh jalan turun, terus diulang berkali-kali hingga mencapai puncak sejati. Melelahkan memang. Tapi jika itu tidak kita jalani, hidup hanya akan menjadi sebuah garis lurus dengan guratan-guratan singkat. Memang tidak jelek, tapi saya lebih suka hidup saya seperti cabang pohon. Lebih menarik, lebih majemuk, lebih-lebih lah pokoknya.

Ah, saya sebenarnya ingin menulis sesuatu tentang waktu. Tapi saya masih terus mencari buku A Brief History of Time-nya Stephen Hawking. Anggap saja ini hanya testimoni saja. 🙂

wordsflow