Menjelang 2020
Bulan terakhir di tahun ini akhirnya sampai sudah. Satu tahun yang lain sudah kita lewati dan yah, barangkali jauh berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, saya hampir tidak memiliki memori yang berarti kecuali hal-hal yang begitu melekat terjadi di awal tahun ini, serta beberapa hal menyenangkan yang begitu saja bisa saya panggil dan putar ulang di dalam ingatan pada sela-sela minggu dan bulan yang cukup berat.
Sudah 10 tahun lebih saya memiliki blog ini untuk menuliskan apapun, merekam apapun yang ingin saya utarakan, dan di waktu-waktu tertentu tentu membantu saya untuk mereka ulang sesuatu atau mendalami sesuatu yang terjadi sebelumnya. Banyak sekali narasi yang saya ulang dan saya replikasi dengan tata bahasa atau kesadaran baru, tapi tidak jarang saya mengulang beberapa pemahaman kemudian sekali lagi menuangkannya dalam tulisan. Di samping tulisan-tulisan di sini, ada banyak tulisan-tulisan lain yang tersebar di laptop, di buku, di jurnal yang lain, terselip di buku catatan, di notes handphone, dan entah menulis random di mana lagi.
27 tahun. Dan tahun depan umur saya sudah akan bertambah satu. Di waktu-waktu ketika semua sebaya saya telah memilih ‘kepastian hidup’ tertentu, atau setidaknya memantapkan langkah untuk satu dan lain hal. Saya menyadari satu hal akan kecenderungan saya, bahwa ketika seorang sahabat saya menikah, saya cenderung mengambil jarak, atau setidaknya saya merasa jarak itu otomatis ada. Hal-hal yang sebelumnya menarik untuk dibicarakan menjadi biasa saja, atau tentunya, pembagian waktu kita menjadi berbeda.
Bukan suatu hambatan khusus sebetulnya. Saya suka sekali mengetahui bahwa teman-teman saya menikah, punya anak, atau mendapatkan pekerjaan tetap sehingga mereka harus berpindah domisili. Hanya saja mau tidak mau saya harus mengakui bahwa ada hal-hal yang tadinya begitu penuh mengisi keseharian tetiba kosong saja karena mereka terpisah dari saya. Dan sembari menuliskan ini, saya memikirkan betul di tahun depan apa kiranya yang akan terjadi pada sahabat karib saya. Tentu saja selama ini kami berjarak karena memang rutinitas dan profesi yang berbeda. Tapi lagi-lagi, akan berbeda halnya ketika suatu hari dia menikah atau berpindah ke tempat yang tidak bisa saya kunjungi sewaktu-waktu.
Oh ya saya melantur, hehe.
Baiklah, tulisan ini terinspirasi oleh sebuah postingan teman lama saya yang kini berjarak setelah belahan bumi dengan saya. Sekilas cerita, teman saya ini bisa saya sebut sebagai orang yang membelokkan jalan takdir saya di penggal SMP menuju SMA. Saya kira begitulah peran dia di dalam hidup saya. Haha, lucu juga.
Sewaktu SMP saya mengikuti sebuah pelatihan setelah diadakan seleksi di Jogja, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bertemulah saya dengan anak ini, namanya Mona. Dia setahun lebih muda dari saya, tapi ketika saya berkenalan dia sudah menjadi bahan pembicaraan semua pengajar saya selama pelatihan dan duduk setingkat dengan saya. Baik saya dan Mona sebetulnya tidak sungguh akrab karena jarak sekolah kami yang berjauhan, juga barangkali beda grup selama pelatihan. Tapi dia supel sekali, dan setiap waktu bisa berbaur dengan semua orang dengan mudah. Setelah masa pelatihan berkali-kali kami bertemu di kompetisi, pun pada beberapa kompetisi Mona tidak ragu untuk mengajak atau memberitahukan kami. Barangkali itu masih masa Friendster?
Lewat Mona saya tahu banyak hal, banyak mimpi, juga banyak eksperimen terhadap pengembangan diri. Waktu itu saya getol sekali membeli beberapa seri komik, dan Mona satu-satunya yang tahu Motohiro Katou, pengarang favorit saya, juga MIT yang pernah menjadi kampus impian saya ketika masih muda. Begitu banyak imajinasi, kesenangan, angan-angan, juga perjuangan di beberapa kompetisi dengan teman-teman kami juga sebagai rivalnya.
Di akhir masa SMP, saya mengambil satu kompetisi yang akhirnya memisahkan kami dan menjauhkan saya dari Jogja. Perkaranya sebetulnya sederhana saja, saya ikut kompetisi atas desakan Mona, tetapi segala hal menjadi di luar perkiraan saya. Bisa dikatakan itu salah satu kejutan yang paling memukul saya pada masanya. Saya mengalami gegar budaya ketika berpindah, dan seolah peta hidup saya yang sebelumnya pernah saya susun buyar begitu saja.
Perihal mengatur hidup sebetulnya saya kacau sekali. Tapi nasib sering kali memberi saya kejutan yang kadang saya pikir terlampau keterlaluan atau yang begitulah caranya mengganjar saya yang bebal ini.
Setelah merenungkan ini beberapa hari yang lalu, juga mengingat kembali apa kira-kira yang saya harapkan kepada saya di masa kini sekitar 15 tahun yang lalu? 10 tahun yang lalu? Apa yang saya pikirkan ketika pertama kali membuat blog, memutuskan mengambil sekolah kembali ke Jogja, melepaskan cita-cita kecil untuk sekolah keluar, menerbitkan karangan yang entah sudah di mana naskahnya, melupakan riset mapala dan justru tenggelam ke dalamnya, juga keputusan-keputusan lain setelahnya yang ‘terhapus’ oleh keterlemparan diri pada tempat saya kini.
Tapi di akhir bulan menuju tahun 2020, bersyukur sekali bahwa saya masih mampu bertahan dengan segala cara selama 10 bulan terakhir, masih mampu mempertahankan jenama yang dibuat dalam proses healing atas penolakan-penolakan yang lampau (tanpa sadar sudah 5 tahun lamanya), mengambil makna di tengah rutinitas yang begini-begini saya, juga memiliki waktu untuk menulis di sini atau di tempat lain, memikirkan hidup dan memaknainya setiap hari menjelang tidur, dan seribu satu hal yang sepatutnya disyukuri.
Baik sekali kiranya, bahwa waktu memberikan banyak hal untuk direnungkan, dipikirkan, dan dimaknai. Segala hal mungkin belum berada pada tempatnya tapi kita bisa punya pilihan kedua untuk menerima saja tempatnya, hehe. Tidak mudah barangkali, tapi sewaktu menjelaskan kepada seseorang, saya tersadar bahwa barangkali, bentuk tanggung jawab paling tinggi adalah menerima hal-hal yang telah diputuskan oleh diri, apapun alasan di baliknya.
Dan yah, salah satu bentuk previlese yang harus disyukuri oleh sebagian besar dari kita adalah bahwa kita masih punya pilihan atas satu dan lain hal.
wordsflow