WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Opinion

4A


I am a mediocre figure skating fan, as also one in badminton and volley.

Tapi, cukup lama mengikuti update dunia per-figure-skating-an sejak Kim Yuna, juga menjadi satu-satunya alasan mengikuti akun youtube Olympic.

Beberapa waktu lalu figure skater idola saya (dan jutaan orang lainnya), Yuzuru Hanyu, pensiun dari karir kompetitifnya dan memasuki karir profesional. Tentu saja ada banyak perdebatan, namun tentu saja setelah mendapatkan hampir semua pencapaian dan menjadi satu-satunya men single figure skater yang berhasil meraih Super Slam, penghargaan semakin terlihat tidak menjadi satu-satunya alasan dia tetap bertahan di figure skater. Dalam tulisan ini, barangkali orang yang tidak terlalu mengenal akan merasa tulisan ini aneh. Walaupun di dalam kaca mata fans, menulis hal semacam ini lebih seperti menuliskan tentang idolanya di bidang apapun.

Lanjut, oleh karena tetiba ingin menonton lagi semua pertunjukannya setelah menemukan beberapa lagu pengiring di spotify, saya menghabiskan malam-malam insomnia untuk mengulang kembali beberapa penampilan paling saya sukai, tentu dengan didukung aransemen musik yang saya sukai. Di akhir penampilan, saya pun kepo siapa-siapa yang menduduki first skater yang berhasil mengeksekusi jump di international events.

Lalu terkejut karena di board 4A sudah diisi dengan nama lain—Ilia Malinin—yang bukan Yuzuru Hanyu. Sedikit cerita, 4A ini adalah tingkatan tertinggi dari single jump di dalam figure skating. 4A dilakukan dengan putaran sebanyak 4,5 rotasi, dimulai dengan menghadap searah dengan arah lompatan. Teknik ini sudah dipelajari cukup lama dan menjadi salah satu goals Yuzuru selama karir figure skatingnya, seolah-olah menjadi cita-cita semua figure skater sebagai hal yang hampir mustahil untuk dilakukan.

Long story short, ada seorang figure skater USA yang berhasil clear execution 4A di international competition, sekitar seminggu yang lalu sejak tulisan ini dibuat. Menemukan orang lain selain Yuzuru yang berhasil melakukan hal yang terlihat susah betul (Yuzuru sampai ‘merusak’ engkelnya berkali-kali) untuk dieksekusi berasa anti klimaks. Saya menontonnya tidak dengan perasaan apapun, walau memang terlihat indah dan sempurna.

Menonton ini seolah seperti membersamai seorang teman yang bertahun-tahun berjuang keras untuk melanjutkan sekolah master di kampus impiannya, tapi berakhir di kampus sebelahnya, disandingkan dengan orang lain yang tidak dikenal langsung begitu saja diterima dan mendapat beasiswa di kampus impian teman saya. Sebetulnya fair, secara pencapaian dan pembelajaran dari kegagalan akan berbeda di kedua individu ini, tetapi tentu saja terasa bitter di mata saya sebagai orang ketiga.

Lagi-lagi, setelah tetap kembali melanjutkan menonton Yuzuru, saya menyadari bahwa anak ini sedari dahulu telah membedakan figure skatingnya dan figure skating yang diberi skor oleh juri. ‘Score is score, and my performance is my performance, there are difference in them’. Tentu dengan berbagai hal yang terjadi sepanjang karirnya, ia juga menyadari bahwa akan ada orang lain yang lebih baik dari dirinya di beberapa hal. Secara pribadi, saya mengagumi betul kepribadian yang ditunjukkannya di publik, atau secara khusus relationshipnya dengan figure skating.

“Effort lies, but it will not be in vain.”

Yuzuru Hanyu, two-time Olympic figure skating champion

Meski demikian, ada banyak hal yang, jika dapat dikatakan, menciptakan kekecewaan. Menurutnya, di banyak kesempatan, hasil sebuah kompetisi seringkali—atau bahkan selalu—tidak memberikan ‘penghargaan’ yang sebanding dengan upaya dan usaha yang diberikan oleh atlet untuk menyajikan permainan/penampilan terbaiknya setiap kali turun ke arena. Akan selalu ada banyak momen ketika hasil penampilan undervalued di mata juri, seolah menampar penampil untuk mempertanyakan ‘untuk apa usahanya selama ini jika angka menjadi valuasi mutlak akan sebuah penampilan’

Secara pandangan hidup, saya kira Yuzuru menempati posisi penting di hidup saya sendiri, sebagaimana banyak tokoh anime/komik yang juga menempati posisi yang sama penting karena beberapa pernyataan mereka dalam cerita. Meski agaknya tidak sama, pada dasarnya hal-hal terinspirasi dari yang nyata. Ketika pertama membaca cerita/komik/novel, saya sering merasa begitu tidak berkaitan dengan cerita yang disampaikan. Tapi toh ternyata setelah lebih dewasa, cerita novel kadang tidak cukup berbeda dengan apa yang ditemui di dunia nyata. Tentu saja juga karena karangan/imajinasi adalah ekspresi ketidakpuasan atas apa yang terjadi di depan mata, oleh karena, mempelajari dari yang fiksi juga mempelajari realitas.

Again, masih sedikit merasa bitter karena berita tentang 4A ini, tapi more or less apresiasi dan kekaguman ke Yuzuru nggak akan berubah sih. Beberapa performancenya masih saya tonton rutin, juga merasa takjub karena di tahun-tahun berikutnya dari setiap programnya masih tetap ada improvement yang menarik, semakin detil dalam setiap gerakan.

Dan that’s all. Tidak cukup yakin akan tetap mengikuti figure skating setelah ini, karena toh setelah coba-coba tengok beberapa penampilan figure skater lain selain Yuzuru, ternyata saya nggak suka, entah karena penampilan keseluruhannya, koreografi dan artistiknya, musiknya, atau bahkan personality atletnya. Ya mungkin setelah era Yuzuru akan ada era Ilia sebagai ‘quad era’, but again, sepertinya preferensi saya memang y aitu-itu aja.

Sekian kabar dari dunia figure skating. Bisa jadi nanti pada perkembangannya saya akan tertarik lagi, mari kita tunggu.

wordflow

Bonus link favorite performance yang bisa aku tonton berkali-kali banget. Sebetulnya ada satu lagi tapi ga ada yg short video kalo yg official.

kapasitas produksi


Topik ini, sudah lama sekali ingin saya angkat. Tapi beberapa kali menulis draft dan akhirnya saya urungkan karena banyak faktor. Tentu pertama-tama karena saya sungguh malas crosscheck ke data atau teori yang ada (selayaknya nulis jaman kuliah) oleh karena saya punya skeptisme tertentu sama hal-hal yang tidak datang dari eksperimen sendiri. Jadii, barangkali anggap saya ini renungan saya sebagai produsen usaha mikro dalam mempertahankan bisnisnya.

Mula-mula, mari mengingat kembali bahwa hari ini, atau tanggal-tanggal ini setahun yang lalu covid mulai jadi perhatian serius. Saya mengingatnya sebagai part paling sedih karena itu artinya saya tidak lagi bisa ke Jogja sewaktu-waktu sebagaimana setahun sebelumnya. Tentu, waktu itu saya masih di Jogja dan sedang harap-harap cemas menunggu keputusan kantor. Saya juga harus memikirkan masa depan usaha mikro saya yang sudah mulai stabil setelah saya tinggal bekerja tetap. Bisa dibilang, pandemi membuat saya memikirkan ulang dari nol rencana saya untuk mempertahankan bisnis mikro itu, terutama karena setahun terakhir partner saya mulai stabil. Alhasil, kami libur total mengingat saya harus juga menyelesaikan kuliah yang sudah hampir-hampir tidak ada bekasnya dan menunda beberapa ide-ide produk sampai mulai ada satu dua order di chatbox kami.

Di pertengahan tahun, saking lamanya wfh dan karena tidak ada lagi trip-trip keluar rumah, saya memutuskan untuk dekorasi kamar dan menyisakan satu sudut untuk ruang kerja. Membuat sekat-sekat kecil untuk bahan-bahan membuat buku juga hal lain yang mungkin bisa saya kerjakan sebagai penghiburan sulitnya bertemu teman-teman secara tatap muka. Menjelang akhir tahun, lebih banyak order yang masuk ke chatbox kami dan usaha kami mulai stabil kembali. Tentu saja kemudian saya melengkapi alat-alat produksi di Jakarta, menduplikasi ruang kerja saya di Jogja. Baru menjelang 2021 saya akhirnya melengkapi semua kebutuhan dan memiliki ruang kerja yang cukup untuk bisa membuat buku di Jakarta.

Selama proses itu, saya kemudian berpikir bahwa ide ekonomi kreatif itu sebetulnya sangat realistis, hanya saja membutuhkan waktu lama dan proses yang sedikit njelimet. Di dalam ekonomi kreatif, yang dilihat adalah value added yang ditambahkan ke komoditi, oleh karenanya yang dipegang adalah HKI.

Meskipun skala bisnis yang saya jalankan masih sangat kecil, tapi saya sangat yakin bahwa bisnis ini berkelanjutan. Artinya dia tidak akan urung hanya karena saya pindah kota atau apa. Pun yang saya lihat dari rekan-rekan saya mayoritas juga tidak dihambat oleh lokasi usaha. Barang tentu ini juga didukung penuh oleh kemudahan kita dalam bertransaksi online, media promosi gratis, dan marketplace yang meraja lela. Saya bisa belanja bahan sambil rebahan di atas kasur, sungguh hal yang sangat berbeda jika dibandingkan di tahun pertama saya membuat SketchandPapers, saya hampir setiap sabtu-minggu keliling kota untuk survey bahan dan alat, lalu berjualan hanya dari mulut ke mulut teman-teman saya.

Kembali ke topik utama. Lalu apa hubungan eratnya dengan kapasitas produksi? Di awal munculnya revolusi industri, atau awal-awal kapitalisme, yang terjadi adalah maksimalisasi produksi, selain tentu saja okupasi moda produksinya. Oleh karenanya, dibuatlah segmentasi proses produksi dan pemasaran, yang mana menempatkan pemilik modal sebagai rajanya, dan pekerja tersegmentasi sebatas pada tahapan produksi tertentu. Model bisnis ini jauh lebih cepat berkembang, dan lebih cepat menguasai pasar karena besarnya kapasitas produksi yang mereka miliki, dan efisiensi kerja karena setiap pekerja hanya perlu menguasai sebagian dari seluruh tahapan produksi. Di masa-masa itu, hal-hal yang muncul dari craftmanship jadi cenderung ditinggalkan karena akhirnya kualitas produknya sama dengan kualitas pasaran, namun harganya lebih tinggi.

Sekian lama kemudian, ketika handmade kemudian kembali populer, pertanyaan yang muncul dari komsumen umumnya sama ‘apa yang membedakan produkmu dengan yang ada di pasaran?’ Rumusan ini yang kemudian dituangkan untuk menjelaskan mengenai ekraf. Tetapi karena persoalan ini juga, umumnya produksi komoditi ekraf tidak mampu menyaingi kapasitas produksi level industri. Produksi handmade juga sering kali mengabaikan produk pabrik sebagai pesaing mereka dan cenderung nyaman dengan toleransi terhadap produk handmade terhadap tingkat presisi komoditi yang dihasilkan.

Uh, oh, kenapa bahasanya jadi serius.

Intinya, sewaktu terima pesanan dalam jumlah besar, saya menyadari betul bahwa kapasitas produksi di sektor ini jelas jadi kendala paling utama. Soal modalitas dan promosi masih bisa diatur dengan satu dan lain cara, namun kapasitas produksi tidak punya toleransi. Kualitas produk, terutama handmade, berbanding lurus dengan kemampuan seseorang dalam mengolah keuletan dan kreativitasnya, oleh karenanya produk yang dihasilkan dari orang yang berbeda memiliki detil kualitas yang berbeda. Saya tidak bisa langsung merekrut orang lain dan melakukan pelatihan untuk produksi karena internalisasi pengetahuan yang berbeda. Begitu dikerjasamakan dengan orang lain, standar harus dibuat, batas juga harus ada untuk mengakomodir kualitas produk yang dihasilkan.

Kemarin saya baru saja membuat buku dengan jumlah yang sebetulnya di luar nalar saya pribadi. Saya mencoba mengejar produksi sebanyak 45 buku dalam sehari. Secara waktu dan kesadaran, jumlah itu memungkinkan. Saya bahkan dengan mudah bisa mengatur ‘mode robot’ untuk menyelesaikannya tapi saya lupa bahwa tangan saya punya batas kemampuan. Saya jadi semakin menyadari kenapa alat itu penting meskipun belum menemukan alat yang saya mau.

Dan walaupun tulisan ini tidak saya maksudkan untuk begini tapi saya terlalu lelah untuk membaca ulang atau merevisi. Saya pribadi tidak pro buta terhadap produk handmade atau ekraf. Sebagian juga tidak selalu konsisten dan bisa mempertahankan value produknya, atau cenderung memilih bahan yang ala kadarnya. Saya sering sekali menolak pesanan ketika tidak sedang mood bekerja dan cenderung suka bereksperimen di waktu-waktu tertentu. Menurut saya, dengan effort sebesar itu untuk menciptakan produk handmade, sayang sekali kalau produknya dibuat ala kadarnya dengan kualitas bahan yang rendah. Memilih bahan juga bagian dari meningkatkan value produk. Di dua tahun belakangan, kesadaran orang terhadap produk lokal atau handmade sudah jauh lebih meningkat dan apapun, selalu punya pangsa pasar. Jadi, walau kapasitas produksinya rendah, hal-hal tetap bisa diatur.

Sedari kecil saya selalu punya anggan-anggan untuk punya merk sendiri. Tapi bahkan setelah mengerjakan ini sejak 2014 saya masih belum berani menyebut diri bookbinder. Sekian, semoga maksud tulisan ini bisa ditangkap, hehehe.

wordsflow

baru.


Weeww, akhirnya tahun yang lain.

Barangkali benar, penyakit tidak mengenal tanggal. Alih-alih merasa bahwa setelah berganti tahun hal-hal pasti akan lebih baik, sebetulnya pergantian tahun lebih seperti berganti buku, adanya kesempatan sekali lagi untuk menyusun ulang rencana baru, dan membangun harapan-harapan yang terlanjur kandas di tahun lalu. Bisa jadi juga tidak seberapa signifikan, tapi semua hal di dunia ini dihitung dengan dasar waktu, atau lebih tepatnya tahun, bulan, hari, dan turunannya sehingga tentu tidak salah menyebut tahun baru adalah ‘awal yang baru’.

Bagi saya sendiri, tahun baru ini sesederhana adanya perasaan yang sedikit lebih lega karena Desember sudah lewat. Kegilaan pekerjaan yang membuat istirahat tidak pernah cukup dan alat komunikasi tidak pernah berhenti berdenting akhirnya berakhir antiklimaks hanya dengan bergantinya hari. Bergantinya tahun artinya punya kesempatan baru untuk merancang ritme pekerjaan sebelum berakhir kacau seperti tahun sebelumnya. Jadi, alih-alih menunggu tahun berganti dengan berkumpul atau berusaha pulang kampung di hari libur yang sangat sibuk, saya lebih memilih rebah dan bergelung di bawah selimut setelah mandi yang serius; hal yang sulit sekali saya dapatkan sepanjang September sampai Desember.

Dibandingkan dengan tahun lalu, tahun ini saya ingin mencari hal baru lain untuk dipikirkan. Sekolah sudah selesai, biaya-biaya yang saya hamburkan untuk menunda thesis sudah tidak lagi memberatkan tabungan. Saya sudah berhasil ‘menggandakan’ studio di kos saya di Jakarta. Beberapa alat produksi juga sudah berhasil dikumpulkan jadi tinggal berkara seberapa maksimal saya bisa memanfaatkan alat-alat produksi itu di masa yang akan datang. Bisa dibilang, hampir sebagian besar hal yang membuat saya resah di tahun lalu, satu per satu berhasil saya selesaikan, bahkan dengan atau tanpa saya sadari.

Dibandingkan tahun-tahun yang pernah saya lalui di masa perkuliahan, ingatan selama bekerja terasa jauh lebih kabur. Mudah sekali orang berganti dan berubah, juga lingkungan kerja yang mudah sekali dirombak sana sini, juga pekerjaan yang punya ikatan yang berbeda. Ada beberapa pekerjaan dari dua tahun lalu yang masih belum tuntas, tapi ada pekerjaan yang begitu mudah diselesaikan. Satu dua pekerjaan begitu berkesan, tapi ada beberapa pekerjaan yang begitu ingin segera dilupakan. Tentu saja tahun baru tidak berarti masalah selesai karena tinggal menunggu waktu sebelum audit-audit dimulai dan segala pekerjaan lama harus dipikirkan kembali sembari harus fokus ke pekerjaan baru.

Beberapa hari lalu dalam rangka sharing akhir tahun berkesempatan untuk mengorek-orek lagi memori paling sedih dalam hidup. Dibandingkan orang lain yang mayoritas karena kehilangan anggota keluarga, saya jauh lebih sedih ketika kehilangan arah, di sekitaran pertengahan tahun 2015. Meski dalam perspektif saya di hari ini periode itu terasa begitu jauh dan berjarak, tapi bersyukur saya bisa bertahan melalui periode itu meskipun dengan terseok-seok. Meski mungkin bisa dibilang tahun paling down, tapi 2015 adalah tahun yang menarik karena tahun itu mengawali banyak perubahan. Tentu ada banyak catatan di platform ini, juga di platform pribadi saya yang lain tapi apalah gunanya mengorek-orek saya yang sudah mati. Meski begitu, saya masih ingat di masa itu saya sering menghabiskan malam-malam untuk berpikir dan bersedih, dan bagaimana pun yang saya rasakan saat ini, perasaan waktu itu tidak bisa begitu saja saya abaikan. What you feel is what it is, right? Saya belajar banyak dari masa-masa itu.

Di awal tahun ini, saya menyadari kembali kalau di dalam rencana, waktu masih panjang. Tentu saja ini sangat klise tapi tidak ada kata terlambat. Ah bukan, atau saya lebih ingin bilang kalau tidak masalah terlambat. Banyak hal yang ingin saya pelajari di masa lalu saya anggap sulit, beberapa bulan terakhir menjadi terasa lebih mudah. Barangkali karena saya sudah tidak lagi diselimuti terlalu banyak ambisi dan alih-alih berusaha menguasai dunia, saya hanya ingin menyenangkan diri sendiri, barangkali juga meninggalkan beberapa warisan karya di luar bidang ilmu yang gagal saya kuasai.

Saya tidak punya resolusi di tahun ini, toh saya baru menyadari bahwa saya juga tidak mengerti betul tentang maknanya. Tapi saya punya beberapa rencana. Sebagai awalan, saya hanya ingin menghabiskan bahan makanan yang selama dua bulan terakhir tidak berhasil saya habiskan karena terlalu seringnya berkegiatan lapangan. Juga ingin lebih konsisten menjaga kerapihan dan kebersihan kamar. Sisanya, biarkan seberapa kuat saya mendorong diri untuk tetap waras dan mampu menyisihkan waktu setelah kerja kantoran.

Akhir kata, saya rasa saya juga lebih senang kalau lebih banyak orang yang bahagia di dunia ini. Jadi, semoga pembaca blog ini bisa selalu menciptakan dan menemukan kebahagiaannya sendiri, alih-alih kehabisan tenaga karena menunggu pertolongan orang lain. Tentu saja ada masanya bermuram durja, tidak masalah. Dan semoga kita semua menjadi orang-orang yang selalu menghabiskan makanan dan tidak memproduksi terlalu banyak sampah.

Tabik.

wordsflow

Wabah


Sebetulnya saya enggan menuliskan tentang ini di blog. Bukan karena saya tidak peduli, tapi sungguh karena saya merasa terkuras habis tenaganya hanya untuk memantau, sedih, marah, prihatin, juga mencoba berpikir keras untuk membantu tapi akhirnya tidak menemukan sumber daya yang memadai di diri sendiri; miskin, bukan tenaga kesehatan, dan cenderung merupakan bagian dari masalah.

Belum ada satu minggu saya kembali dari Jogja, tapi rasanya sudah lewat dari sebulan. Saya kesulitan merasai hari dan juga menakar waktu di tengah huru hara ini. Masih sangat baik karena lingkaran terdekat saya belum bersentuhan langsung dengan wabah, yang mana saya sungguh tidak ingin itu terjadi. Saya punya privilese untuk memesan bahan makanan secara daring, masih memiliki penghasilan di tengah guncangan ekonomi, juga sehat dan bugar sebagai manusia, mendapat kebijakan bekerja dari rumah, dan masih bisa mengakses dunia lewat internet. Saya aman sentausa di dalam kamar kos berukuran 4×6 meter ini.

Tapi saya begitu lelah membacai media sosial, tapi saya butuh tetap terhubung dengan berita terbaru terkait wabah ini sehingga saya tetap membaca meskipun muak.

Saya mencoba menelaah beberapa pemikiran meskipun ini bukan opini yang populer.

Sejauh yang saya tahu, Indonesia adalah negara konsumen, bukan produsen, dimana semua barang yang sehari-hari kita konsumsi mayoritas berasal dari luar negeri. Kenapa begitu? Karena masyarakat kita cenderung lebih suka menjadi middle man, atau menjadi penjual jasa. Menjadi produsen itu melelahkan, menguras pikiran, sumber daya, dan kita harus sungguh mandiri. Karena sebelumnya saya bekerja di sektor kreatif, ada juga pergeseran selera konsumen dan produsen dari komoditas yang memiliki nilai guna ke komoditas tersier yang menjual vibes saja. Benda-benda tidak bernilai guna ini sayangnya memiliki nilai jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan benda-benda bernilai guna. Pun, negara juga lebih mempermudah impor dibandingkan membangun ekosistem produksi yang mapan di dalam negeri.

Masyarakat kita latah sekali soal komoditas, cenderung enggan untuk berinovasi dan mudah berkiblat ke orang lain dalam menciptakan produk. Demikian, pasar Indonesia lebih banyak dikuasai oleh produk dari luar dan semakin jauh mereka menajamkan taringnya di Indonesia, produsen Indonesia megap-megap karena merasa tidak mampu bersaing. Sayangnya, kesadaran tidak mampu bersaing ini sering cepat sekali diasosiasikan dengan modal. Meskipun benar, kita punya masalah lain yang juga penting, kekurangan sumber daya dan kemampuan untuk mengembangkan komoditas, kurangnya regulasi pemerintah dan keberpihakan pemerintah pada industri dalam negeri, tidak ada perlindungan dan sulit sekali industri kecil untuk mendaftar HAKI, insentif juga minim, dan serangkaian masalah lain yang fasih sekali disebutkan pelaku industri.

Saya bukan ahli ekonomi, dan hanya pernah sebentar saja mempelajari ekonomi politik, pun tidak lulus sempurna. Setelah itu juga tidak banyak membaca buku atau artikel yang berhubungan dengan ekonomi. Tapi sebagai pedagang, saya sering kali merasa kesulitan untuk memasarkan produk. Produsen atau pedagang harus berjuang sendiri untuk mampu memasarkan produknya lewat pameran atau platform lintas regional. Pendataan kelompok-kelompok industri juga sering kali hanya berakhir di lembaran-lembaran laporan kajian dan tidak dilanjutkan ke eksekusi teknis. Sementara pelaku menunggu sembari harap-harap cemas. Beberapa lokakarya strategis sering kali salah sasaran dan hanya berakhir menjadi ajang buang-buang anggaran semata.

Meski awalnya enggan, saya punya satu alasan ketika memilih masuk ke instansi sebelum ini. Meski terdengar muluk-muluk, industri kreatif memiliki ekosistem yang baik karena berbasis komunitas meskipun ada yang memiliki level berjenjang dan skala yang bervariasi. Saya punya harapan sangat besar bahwa saya akan bisa menolong komunitas kreatif ini suatu hari nanti. Tapi kadang cita-cita sedikit meleset dari jalur takdir jadi saya kudu bersabar untuk mewujudkannya.

Semua orang tahu bahwa pemerintah kita bermasalah. Ada hal-hal yang tidak beres tapi alih-alih mencoba untuk benar-benar mencari tahu apa yang terjadi dan memperbaikinya sebisa mungkin, orang lebih suka menghindarinya sama sekali atau mengikuti arus saja. Tapi kita tetap protes. Dan itu melelahkan sekali, setidaknya buat saya pribadi. Lagi-lagi, ini sangat pribadi. Bisa jadi karena saya yang tidak mudah menerima hal-hal atau cenderung memaksakan diri akan sesuatu.

Di tengah wabah ini, saya menyadari bahwa saya memiliki sangat banyak privilese sebagai orang yang memiliki dualitas. Saya memiliki secuil persiapan untuk mengadapi masa sulit semacam ini. Bisnis mikro yang saya jalani tidak bergantung pada sistem tertentu sehingga ketika krisis berakhir, saya tidak akan kesulitan untuk memulai kembali karena modal utama usaha adalah keterampilan.

Tapi saya melihat teman-teman saya mulai merasakan dampaknya karena tidak memiliki perlindungan dan jaminan usaha. Beberapa usaha yang memiliki pegawai dan padat modal cenderung sulit bertahan. Jika krisis terus berlangsung, usaha yang sangat besar atau yang sangat kecil saja yang akan mampu bertahan, sementara usaha menengah cenderung tertekan karena ada beban pegawai, beban sewa, dan target produksi dan penjualan yang tidak terpenuhi. Akumulasi tekanan itu akan membuat mereka tidak mampu lagi berdiri dan akhirnya menutup cabang-cabang usahanya, atau menjual usahanya ke pemilik modal agar memiliki sedikit simpanan untuk bertahan hidup atau memulai bisnis kembali. Posisi ini yang akan membuat kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin besar karena yang kaya mudah saja mengambil alih usaha menengah dan menguasai pasar sementara bisnis kecil tertatih-tatih memulai kembali.

Ini bahasan yang umum ada di kelas-kelas diskusi kami tapi saya lupa buku-buku atau tulisan siapa yang bisa dirujuk untuk membahas ini. Pokoknya ada, silahkan cari sendiri.

Wabah ini juga mempengaruhi ke-Jakarta-an saya. Seringkali saya membayangkan, saya sebagai warga kota rentan sekali, dan cenderung tidak akan bertahan di masa krisis karena masyarakat kota bergantung pada distribusi komoditas. Kita tidak membuat makanan kita sendiri. Sistem ekonomi kita juga lemah. Saya sering kali menjejali pikiran dengan kemungkinan bahwa ekonomi akan kolabs suatu hari ketika krisis datang, entah karena bencana alam, terputusnya rantai distribusi, chaos politik, atau wabah seperti ini. Ternyata ketakutan saya memang beralasan karena akhirnya saya sampai di titik ini juga.

Krisis ekonomi tahun 1998 mengingatkan saya bahwa ada orang-orang paling terdampak di kota-kota besar. Cerita-cerita kawan saya yang selama berhari-hari tidak bisa keluar rumah entah bagaimana menjadi alarm untuk saya sendiri. Demikian, pikiran-pikiran nun jauh di depan sana mudah sekali mengganggu saya sewaktu-waktu sampai kadang membuat saya gentar untuk tetap berada di kondisi sekarang. Tapi itu satu hal. Saya pikir saya toh akhirnya akan bisa mengatasinya dengan satu dan lain cara.

Setelah berhari-hari memberi asupan hal-hal memilukan dan penuh dengan hal-hal negatif, hari ini saya ingin menggeser sedikit hal-hal itu dan mengerjakan hal lain yang sebetulnya lebih menyehatkan untuk mental dan pikiran saya. Tetap ingin mendoakan yang terbaik buat teman-teman, terutama yang bekerja di sektor informal karena tentu saja ini pukulan yang berat. Hang in there, hope we can survive.

wordsflow

apakah sekumpulan anak bandel bisa membubarkan satu sekolah?


Mari memulai tulisan ini dengan kesadaran bahwa ada masa ketika kita memiliki mimpi dengan kondisi ideal tertentu di masa muda yang ceria. Tapi kini sampailah kita pada masa di mana kondisi ideal itu tidak mampu kita, ah saya, gapai tetapi life must go on.

Ceritanya panjang, tapi singkatnya, 10 tahun terakhir adalah fase perubahan terbesar dalam hidup saya. Bukan hanya pada ranah internal, tapi juga kondisi-kondisi lain di luar diri yang sampai sekarang belum mampu saya tangani.

Minggu kemarin bos bilang soal tren anak muda yang sering kali berpindah tempat kerja karena atasan yang begini dan begitu. Setelah unggahan itu, bos berkomentar bahwa itu privilese yang bisa didapatkan oleh pekerja swasta. Tapi kondisinya akan sangat berbeda untuk bos, juga untuk saya. “Kalo bisa punya atasan yang enak dan sesuai sama nilai-nilai yang kita anut ya beruntung sekali kita,” begitu lanjutnya.

Begitulah. Kita bisa punya kondisi ideal yang kita impikan dan kita angankan pada titik sebelum nol. Tapi ternyata, begitu memasuki nol kita menemukan bahwa ada banyak kondisi yang tidak bisa kita kendalikan. Hal semacam ini juga berlaku untuk hidup, juga pada setiap tahap perubahan umur.

Di masa saya banyak sekali menghabiskan waktu untuk membaca buku dan membangun idealisme, umur 27 tampaknya adalah masa keemasan bagi seseorang untuk mematok lebih dalam nilai-nilai dan idelismenya, lantas menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi barangkali juga lupa, bahwa kurun waktu inilah yang paling sulit karena kita mengalami transisi dari pelajar ke pekerja, dari pengamat ke pelaku, dari idealis menjadi realis. Tapi tentu, bukan berarti kondisi itu harus meniadakan hal pertama.

Juga harus saya katakan, bahwa setelah penyangkalan yang panjang dan tidak kunjung usai, barangkali saya harus memantapkan kesadaran bahwa arena masing-masing orang berbeda, dan karena kita akan melawan dengan cara yang berbeda, bersaing dengan cara yang berbeda, dan menuju hasil dan keluaran yang berbeda.

Pada tahap ini, saya cukup senang menyadari bahwa banyak dari rekan-rekan saya yang tetap pada jalur idealismenya dan mengejar cita-cita masa lalunya tanpa tergerus oleh laju kencang arus utama kelompok pekerja. Sebetulnya bisa saja saya melawan keterlanjuran ini dengan putar balik dan kembali berkerajinan tangan. Tapi enggan saya lakukan karena satu dan lain hal, ada persoalan kondisi ideal yang saya idamkan, juga ada kekecewaan saya terhadap banyak hal.

Kompleksitas itu membawa saya pada kesimpulan bahwa ada hal yang tetap bisa saya lakukan dengan kondisi yang tidak ideal ini.

Ingat sekali di hari terakhir pelaksanaan program tahun lalu, bu bos menangis dan mengucapkan terima kasih ke kami. Dia menyadari bahwa kerja dengan sistem yang dia patok tidaklah mudah. Saya tapi juga barangkali lupa bahwa sebagai atasan, bu bos juga bersusah payah untuk selalu mematuhi koridor nilai-nilai yang ia patok sendiri, idealisme yang ia pegang sedari lama, dan sembari melawan, sembari memberi bukti ke banyak orang bahwa hal-hal tetap berhasil dikerjakan dan kami baik-baik saja. Di waktu ketika hal-hal masih terlihat jelas dan kondisi kerja begitu menyenangkan, saya tidak mampu melihat di mana inti utamanya.

Tapi hal-hal berubah. Ada cukup banyak hal di dalam perubahan yang membukakan saya pada fakta-fakta baru di balik kerja kami yang selama ini menyenangkan meskipun lelah, menantang, dan emosional. Ini menghancurkan harapan saya sejujurnya, dan selama beberapa hari terakhir, minggu terakhir, kami semua mengalami kekecewaan yang jauh lebih berat.

Tapi kemudian ingat dengan kalimat bu bos. Di tengah gempuran hal-hal ini, kami dan ibu membangun pertahanan bersama, pun kalo bisa disebut demikian. Kami saling menjaga koridor masing-masing agar sesuai dengan idealisme dan nilai-nilai yang sudah dipegang dan dijaga selama bertahun-tahun. Barangkali akhirnya mengerti di mana arena perlawanan saya sekarang, dan tidak perlu bersusah payah untuk menjadi sama dengan orang-orang terdekat saya di luar sana.

Meski saya sering kali dilanda rindu yang membawa pada sekelebat rasa iri, saya pikir baik sekali kiranya bahwa kita berada di jalan yang berbeda, tapi masih bisa saling memantau. Bahwa kamu dan kamu dan kamu dan semua orang yang masih melakukan hal-hal yang seringkali kita idealisasikan di bangku sekre atau di bawah pohon rindang, di bangtem, di kelas, di puncak-puncak gunung, di dalam gelap gua, di masa-masa keemasan kita, so proud of you.

Masih sesulit itu untuk memastikan semua cerita di atas saya praktikkan dalam hidup. Ada masa-masa dimana saya marah luar biasa tapi tidak mampu memuntahkannya. Struktur kekuasaan memang memuakkan. Begitulah yang bisa saya ceritakan hari ini.

Dan di tengah semua hal ini, hanya ada 3 hal yang bisa menghibur saya: pulang ke Jogja, istirahat lebih awal, dan makanan enak. Malam ini, saya mau istirahat lebih awal. Tabik.

wordsflow