WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

Category: on Architecture

And she cannot breathe because of the ground coverage.


Thinking about it while having a small trip to Jogja today. I was not really thinking about it before, considering that my concern was only the increasing amount of water going into the river, but not really the earth itself.

Well, looking at the ground all around, I realized that there is only a really small space of land uncover any hardening material such as asphalt, concrete, stone, or whatever hard materials. To imagine that earth is actually alive (it moves, changes, grows, and even breathes) the consciousness of she is trapping inside the darkness and couldn’t breathe disturb me. How cruel we are.

This might be too far to think that it is ‘she’ and she could breathe and could feel the way the human does. But imagine how the soil would bring life to the microorganisms inside its body if no light could pass the solid concrete and no oxygen could pass through those things? Yes, there are microorganisms that could live without oxygen and light, but it saddens me to realize that it happened.

Later I imagine if Earth’s skin has pores just like us, then one part of our skin had been covering with something the whole time, an acne will appear. That’s what might happen on Earth, cause we never know what she thought about our treatment of her.

But to be honest, I still love to visit nice buildings, see them, or even have one of them. As an architecture graduate student, a building is a representation both knowledge and practice to be aiming last forever through the changes of people and activities inside it, or even climate. It is really ambitious, to be honest, make a building permanently while every indigenous society always makes their buildings temporary rather making it last forever. They knew that people would change through time. They would not last forever and so, the concept of the permanent building seems quite ridiculous for them.

But do you really think that they are thinking that way? Maybe it’s only me who trying to seek a justification for my opinion.

I do not really have thoughts about what’s better to be done recently. Researching in an environmental problem makes me think so much about what is good for the environment and for society in its balance. Hence, they said that environment is aimed to be created for human livelihood. Besides, in Dan Brown’s latest novel (I don’t really sure to relate this to his book or not but it still necessary) he said that later human and robots would be a partner in living this Earth. Another opinion said that it’s okay that we face the environment depletion because we are driven by the law of nature; the strongest who will survive through evolution.

What is true is not certain because we haven’t been in the future itself. But the debates were important to realize what people really think about the future of our Earth. Will human be transferred to another planet or we would certainly be trapped here facing the increasing of the heat or sea level? Or it is still too far to be thinking?

I don’t know. I don’t really have thought about it.

Once before, I was really wanting to have children, but whatever I said about it back then, I have to admit that the purpose of having children still so egoist comparing to what I’ve been saying. But this confusion about the human role in this Earth really disturbs me.

When there are people some places on this Earth trying to protect what they have, there are people another place have no interest and really ignorant about what was going on. Not because they don’t know about it, but simply because of ignorance that they have. Somehow it turns to be frustrating sometimes and I would end up doing nothing but to relax my mind.

I know that everything is way too idealist to be true. But have a kind of idealism is really necessary to keep every dream alive and last to forever, being transferred to the next generation and so on.

I realized (I really do) that the practice that I’ve done really far from ideal. That’s also somehow quite frustrating and making me feeling unsatisfied with myself. The process always full of debates while my mind trying hard to bring the connection between one matter to another one until all those things linked together as one. But before it came to the big figure of what’s-going-on-right-now image, I lost myself. Everything became so absurd in sudden.

Again, even how many times I tried to reconnect them again, the absurdism came to me and erase the belief that I have.

This isn’t something important to you and might never be understood as I also hardly to reconstruct it here by now. But I want somehow, to encourage or being encouraged instead by people to be able to do something to environment and society, yet bring the positive impact to it.

How far this road that we walk on. So far the peak ahead. So hot the air we breathe. So patient the Earth we living on.

wordsflow

saya dan arsitektur


Sudah lebih dari 2 tahun saya menyelesaikan studi arsitektur saya, dan hari ini sebuah pertanyaan tiba-tiba terbersit di dalam pikiran saya.

Masihkah saya layak disebut sebagai lulusan arsitektur?

Seminggu yang lalu saya bertukar cerita dengan Tamimi, rekanan saya di jurusan dulu yang hingga hari ini masih menggeluti arsitektur. Dia orang keren. Amat sangat jauh dengan saya, dia mendalami arsitektur tanpa berhenti belajar, baik dalam bidangnya maupun hal-hal lainnya. Sejak lulus, sahabat saya ini langsung masuk konsultan dan tentu saja, sudah ada beberapa karyanya yang dibangun. Bukan hanya itu, dia berani menantang diri sendiri untuk masuk ke hal-hal yang barangkali, kalo saya tidak akan mencobanya. Hahaha. Kami sempat membicarakan rencana-rencana ke depan. Dibandingkan dengan saya, dia lebih teguh untuk tetap mengambil studi magister di jurusan yang sama; arsitektur.

Lebih jauh lagi, teman-teman saya yang begitu lulus langsung melanjutkan ke studi kini bahkan mulai memperkenalkan bironya sendiri-sendiri. Beberapa dibangun secara mandiri, namun tidak jarang yang saling berkolaborasi. Ada juga teman-teman saya yang sudah mulai kembali ke kampus untuk menjadi dosen. Dan tentu saja, masih sangat banyak teman-teman saya yang lainnya yang masih ada di jalur itu dengan berbagai prestasi mereka yang luar biasa.

Apa gerangan yang menyebabkan pertanyaan itu muncul?

Adalah kerjaan saya membuat konsep dan mempersiapkan pameran selama seminggu belakangan ini. Saya ingat masa-masa kuliah saat harus begadang mengerjakan tugas. Padahal tugas itu sudah diberikan jauh-jauh hari. Jauuuuuh sekali. Dan selalu saja saya baru mulai mengerjakannya di waktu-waktu yang mepet.

Kadang-kadang saya masih bertanya-tanya kenapa saya begitu malas masuk kuliah ketika itu. Padahal banyak sekali hal menyenangkan di kampus yang bisa saya kerjakan. Lantas saya juga menggali ingatan tentang teori-teori yang selama ini saya pelajari di kampus.

Nihil. Saya lupa sekitar 70% dari kuliah yang saya peroleh. Yang tersisa hanya pengetahuan dasar terutama pada soal konstruksi dan sirkulasi; dua hal yang paling saya suka dari mendesain. Sisanya, termasuk di dalamnya kuliah tentang estetika dan sebagainya itu, sulit saya ingat kecuali masa-masa ketika saya tidak sepakat dengan dosen saya.

Saya memang ingat semua desain yang pernah saya buat selama kuliah. Namun ketika saya membuka dokumennya di laptop, tidak banyak yang saya temukan di sana. Hahaha. Sudah saya tidak punya kamera, pun semua kerjaan saya masih saya kerjakan manual. Satu-satunya desain yang saya digitasi hanyalah Tugas Akhir. Masa-masa tersulit saya dalam hidup agaknya. Bahkan saya ragu masa menulis thesis nanti akan lebih sulit dari itu.

Cita-cita saya sederhana sebetulnya, saya hanya ingin membangun rumah tinggal sendiri. Untuk itulah saya berupaya untuk menjadi arsitek. Barangkali hal itu sangat tidak masuk akal untuk hari ini. Di saat segala hal sifatnya sangat komersil, menjadi arsitek rumah tinggal sama halnya bunuh diri karena tidak akan banyak yang diperoleh, bahkan untuk hidup pun belum tentu cukup. Tapi saya masih menganggap hal itu sebagai cita-cita yang layak untuk saya kejar. Dan sangat layak untuk saya perjuangkan.

Tapi bagaimana cara mencapainya?

Sejak lulus, saya hampir tidak pernah menyentuh arsitektur. Saya tidak pernah update dengan arsitek-arsitek terkenal di hari ini, saya tidak kenal arsitek di Indonesia, saya tidak tahu karya-karya hebat, dan lebih parah lagi saya tidak memperkaya pengetahuan saya pada ranah arsitektur dan teknologi bangunannya. Dibanding membaca semua hal itu, saya cenderung lebih suka membaca novel klasik, atau menonton anime.

Di waktu-waktu seperti inilah saya menghadapkan diri pada pilihan untuk berhenti berarsitektur atau tetap memegang cita-cita saya sebagai arsitek rumah tinggal.

Pertanyaannya, bagaimana memastikan bahwa saya ‘berhenti’ atau ‘tetap bercita-cita’? Parameternya tidak ada, dan variabelnya pun tidak jelas.

Barangkali, ini bukan persoalan berhenti atau tidak, lanjut atau tidak. Saya pikir hal semacam ini lebih pada soal kecintaan. Cieeh. Maksudnya, sebagai orang yang selalu sulit menjatuhkan pilihan, ada ketidakrelaan di dalam diri untuk melepaskan arsitektur dan sepenuhnya berpindah ke antropologi. Saya terus menerus dengan jumawanya mengatakan ke diri sendiri bahwa lintas jurusan tidak pernah salah, pada dasarnya semua ilmu cocok satu sama lain. Saya mendua memang, tapi saya mencintai kedua studi itu.

Ada banyak hal di arsitektur yang belum tuntas saya pelajari dan barangkali tidak akan pernah tuntas selamanya. Demikian juga di antropologi ada begitu banyak hal yang tidak bisa saya padu-padankan dengan studi arsitektur, tapi itulah tugas yang saya petakan untuk diri sendiri.

Tidak jarang saya tersenyum senang ketika ada yang memuji kenekatan saya mengambil lintas jurusan meski tidak memiliki latar belakang yang sungguh mendukung (saya belum pernah penelitian sama sekali!). Tapi sebetulnya saya mengirikan status ‘arsitek’ yang sungguh-sungguh disandang teman-teman saya yang telah berkarya. Sedangkan saya belum berhasil menelurkan satu karya arsitektur pun. Hahaha.

Dan begitulah. Saya sering meledek diri sendiri karena pemalas luar biasa dan akhirnya hanya bisa melihat orang lain berkembang dari jauh. Saya rindu diskusi-diskusi arsitektur, hehe. Tapi saya orang yang selalu ragu memastikan partner terbaik. Jadilah saya ngobrol dengan sesiapa yang bisa saya temui.

Kabar baiknya, saya ternyata masih bersemangat membuat maket dan masih paham skala. Bahkan setelah tangan pegal dan tengkuk sedikit nyeri, saya ternyata tidak bad mood dan nggak mutung. Sementara, itu saja sudah lebih dari cukup untuk memastikan bahwa masih ada harapan untuk saya dan arsitektur.

Tabik.

wordsflow

RIP Zaha Hadid


Entah mengapa saya terpanggil untuk menulis ini, tapi mari saya perkenalkan dulu kalian pada Zaha Hadid.

Zaha Hadid, dikenal begitu luas di dunia arsitektur sebagai arsitek wanita paling berpengaruh di era modern. Belum pernah ada sebelumnya yang begitu kontroversial seperti beliau, dengan begitu banyak karya yang luar biasa (tentu bersama kritik yang luar biasa pula). Mungkin selama seharian besok, atau mungkin beberapa waktu mendatang akan ada beberapa orang yang menyebut nama beliau. Ya, sebab kini beliau sudah tak lagi mampu berkarya, masanya telah usai dan saatnya menjadi arsitek di dunia berikutnya.

Secara pribadi, saya bukan penggila karya-karya Zaha Hadid, karena bagi saya karyanya terlalu luar biasa untuk menjadi nyata. Hahaha. Neofuturistic yang dibawanya bukan selera saya. Meski demikian, orang normal pun pasti akan terkesima dengan karya-karya yang beliau. Dengan bekal studi matematika dan arsitektur, beliau bisa menggabungkannya untuk menciptakan bangunan yang memiliki perhitungan struktural begitu rupa. Hemm, bisa dibilang cuma beliau yang membangun bangunan-bangunan semacam itu sekarang-sekarang ini. Ya nggak tau sih nanti ke depannya mungkin (dan pasti) bakal ada juga.

Tapi, mengesampingkan kritik begitu banyak orang yang nggak terlalu suka beliau, saya pribadi kagum begitu rupa dengan ibunya. Beliau adalah wanita pertama di dunia arsitektur yang mampu menembus berbagai penghargaan dunia lewat karya-karyanya yang dikritik begitu banyak pihak. Beliau wanita yang bahkan bagi arsitek pria pun dianggap sangat inspiratif. Jelas sekali bahwa sebagai seorang arsitek kemampuannya tidak dapat diragukan. Duh pokoknya dia super keren lah.

Bahkan di awal saya tahu namanya, nggak terlintas di pikiran saya bahwa itu nama seorang wanita. Saya pikir dunia arsitektur hanya dikuasai kaum laki-laki. Tapi ternyata tidak juga. Setelahnya, saya begitu sering mendengar nama Zaha Hadid, dalam berbagai pembahasan, baik di kuliah maupun di media.

Yah, nggak banyak yang bisa saya katakan tentang ibu kami yang ini, tentang guru kami yang ini. Tapi saya sedih. Tak pernah sebelumnya saya merasa kagum pada sosok wanita di luar lingkungan saya seperti pada beliau. Karenanya, saya ucapkan selamat jalan. Terima kasih atas pelajaran yang berharga semasa kuliah, atas inspirasi yang begitu besar untuk dunia arsitektur, untuk karya-karya yang menggambarkan kondisi zamannya, untuk segala yang ditinggalkan. Dunia arsitektur kehilangan satu sosok berharga sekali lagi.

Rest in peace.

wordsflow

kota, saya, kamu, dan semoga kita


Kota-kita, kota-manusia, kota-dan-arsitektur, atau semua rangkaian kata tentang kota dan sesuatu selalu menyenangkan untuk didengar.

Entah bagaimana dengan orang lain, tapi saya bukan saja suka menyepi di ketinggian bumi atau di tempat terbuka, tapi saya juga suka menyepi di keramaian jalanan kota. Nah, mari kita bahas bagian kota dulu ya, karena saya terlalu sering bicara tentang alam terbuka.

Menurut Kevin Lynch, kota bisa dinilai dari pathnya, karena kita selalu datang melalui jalan, entah itu dengan berkendara atau berjalan kaki. Dengan demikian, ketika sebuah kota tidak memiliki jalan yang menarik perhatian, hampir pasti kota itu tidak menyenangkan. Hampir saya bilang.

Terkadang kita menginginkan banyak hal untuk tetap ada pada sebuah kota. Beberapa begitu memuja bangunan tua, beberapa begitu terpesona pada yang telah sirna, beberapa menggebu-gebu untuk menggantinya dengan yang baru.

Kota adalah sesuatu yang berkembang, dan seharusnya tak menjadi soal bagaimana bentuk perubahannya. Tapi banyak yang kemudian merasa bahwa perubahan kota telah begitu banyak membuat identitasnya berubah. Mungkin, di sini letak salah kaprahnya.

Pak Ikaputra (dosen saya di jurusan yang sangat keren), membuat teori tentang bagaimana cara membaca sebuah kota. Bagaimana cara menemukan identitas suatu kota secara tepat. Sesungguhnya identitas adalah kolektif memori dari setiap orang yang datang ke suatu kota atau yang tinggal di dalamnya. Kevin Lynch menyebutkan bahwa dalam sebuah kota, terdapat 5 komponen penting yang perlu diperhatikan untuk menentukan identitas suatu kota; path, district, node, landmark, dan edge. Masing-masingnya cukup kita temukan dan voila! identitas kota tersebut ditemukan. Haha.

Ya mungkin tak akan semudah itu dalam praktik lapangannya, namun sesederhana itu kok caranya menemukan identitas suatu kota.

Terkadang yang membuat kita lupa adalah bagaimana posisi kita dalam membentuk kultur yang ada di suatu wilayah. Kadang kita lupa bahwa kita bagian utama dari suatu kota. Bahwa yang menghidupi kota adalah manusia-manusia yang ada di dalamnya.

Karenanya, banyak-banyak lah bermain di luar. Banyak-banyak lah jalan kaki dan melihat bagian kecil dari sebuah kota. Bagaimana pedagang kaki lima mengemas dan menjajakan barang dagangannya. Bagaimana tukang becak mengayuh becaknya. Bagaimana seniman mencoret dinding dengan seni mural mereka. Bagaimana suara-suara yang ada di sekitar kita. Bagaimana melihat setiap hal bergerak bersama di keramaian. Dan bagaimana merasakan diri kita hanyut di dalamnya, menjadi subjek untuk diri sendiri, dan objek bagi yang lainnya.

Dulu saya begitu menggebu-gebu mempertahankan bangunan-bangunan lama yang ada di kota. Mengkritik sinis yang melakukan perubahan ini itu di bangunan-bangunan lama. Tapi ketika itu saya tidak paham esensi mempertahankan suatu benda. Tanpa kegunaan, benda bukanlah apa-apa. Ia hanya sebatas benda mati yang tidak berfungsi. Seindah apapun itu.

Maka prinsip konservasi pun harus juga dibarengi dengan kegunaan. Karenanya muncul istilah revitalisasi, dan rombongannya itu yang sering saya sebut kebalik-balik.

*

Oh well, maaf karena tulisan ini tidak selesai. Tapi sayang membiarkannya begitu saja. Jadi saya sudahi saja.

wordsflow

as a graphic designer


Sudah lama saya tidak membicarakan tentang hal-hal yang saya lakukan.

Saya sedang menikmati hari-hari menjadi graphic designer. Sebutlah saya memang lulusan arsitektur, dan saya juga punya perhatian yang besar pada dunia arsitektur. Hanya saja, saya tidak begitu tertarik bekerja di bidang arsitektur, entah kenapa.

Sejujurnya saya lebih tertarik di seni, kerja lapangan, mungkin juga kerja sosial. Tapi apa daya, sepertinya ketertarikan saya tidak pernah dibarengi dengan niat yang sama-sama baiknya, atau jaringan yang memotivasi dan mempermudah semua itu. Hem, dan sayanya juga terlalu sering menunggu diajak, dari pada mengajak atau menginisiasi sesuatu.

Ih, tulisan ini jadi negatif auranya.

Nggak sih, saya suka mengerjakan semua hal yang menyenangkan, dan graphic designer salah satu hal yang menurut saya menyenangkan. Ini juga masih tahap belajar meskipun jenis kerjaan saya sungguh-sungguh serius, tapi tetap saja itu namanya belajar. Tujuan akhirnya sederhana, karena saya tidak suka melihat papan reklame yang nggak enak dilihat, terlalu banyak warna, terlalu banyak gambar, terlalu tidak membuat nyaman lingkungan sekitarnya.

Kadang saya menyayangkan orang-orang yang tidak memperindah logo-logo jualannya atau iklan mereka dengan bantuan desainer. Padahal nilai jual sesuatu akan meningkat hanya karena hal-hal sederhana ini.

Kantor saya bergerak di bidang interior desain dan sangat mungkin jika saya juga nggak suka dengan beberapa proyek yang dikerjakan. Saya punya gol yang lebih besar ketika saya menandatangani kontrak, yaitu mencari jaringan yang lebih luas dari lingkup kampus saya. Mungkin semasa kuliah saya terlalu sibuk dengan SATU BUMI (bukan menyalahkan), tapi sedikit banyak kecenderungan saya jadi berbeda dengan teman-teman sekampus saya.

Saya pikir saya perlu menguasai hal-hal semacam ini untuk mampu bergerak sendiri. Karena banyak arsitek yang terlalu total pada bangunannya, tapi selalu salah dalam menata interiornya. Atau bisa saja segalanya telah begitu sempurna namun tak mampu membranding dirinya dengan baik. Lihatlah, berapa banyak bangunan yang berakhir demikian.

Nggak kok, saya nggak pesimis dengan dunia arsitektur, karena toh saya juga mencintai kehidupan kota dan benda-benda mati yang ada di dalamnya. Saya cuma ingin melihat segala hal berkembang bersama-sama, bukan salah satu mendominasi yang lainnya. Saya nggak terlalu tahu prosedur dan syarat CSR untuk perusahaan, namun setiap kota adalah jaringan, dan setiap kebutuhan perusahaan adalah juga dipengaruhi dan mempengaruhi elemen paling miskin dalam suatu kota.

Kenapa ya, pikiran sederhana tak pernah mampu menyelesaikan masalah. Selalu saja yang begitu dianggap kurang di negeri ini. Selalu saja yang sederhana dianggap remeh. Ada yang berpikir memperindah batu adalah dengan memahatnya, tapi yang lain menyelesaikannya hanya dengan melapisi dengan coating. Keduanya indah, namun yang satu butuh waktu lama, yang satu hanya butuh 5 menit. Saya anggap penyelesaian desain juga hampir serupa. Banyak yang ingin tampak mewah, namun melupakan kesederhanaan desain.

sederhana atau rumit itu sama bagusnya

Ini hanya masalah sudut pandang. Karena yang rumit sebenarnya melelahkan.

Maka, saya belajar mendesain untuk menyederhanakan banyak hal. Untuk belajar menempatkan yang tidak simetris tetap enak dipandang. Menyejajarkan yang tidak berhubungan agar saling berinteraksi.

Kerjakan saja semua hal, biar bisa banyak meskipun nggak mendalam.

wordsflow