WORDS FLOW

just go with the flow and whatever happens, happens

30s


Entah mengapa, hari ini terdorong untuk membuat postingan baru, setelah sekian lama membuka-tutup blog ini tanpa bisa menuliskan apapun. Saya baru pula menyadari bahwa saya menulis sudah lebih dari setahun yang lalu. Dalam satu tahun, ada sangat banyak hal yang terjadi, dan saya cukup terkejut dengan arah lajunya sampai dibuat bingung menjelaskan bagaimana masing-masing hal bisa terjadi di hidup saya.

Pasca pindah kosan ke tempat baru setahun yang lalu, saya merasa itu kosan terbaik yang pernah saya miliki sejauh ini. Ruangan yang tidak terlalu besar maupun kecil, dengan fitur yang lengkap dan mendorong saya untuk mengembangkan personal space yang betul-betul saya sukai. Setelah selesai mendekorasi ruangan, saya bahkan pernah berjanji untuk paling tidak baru akan memikirkan untuk pindah setelah sekitar 3 atau 4 tahun tinggal di sana.

Lalu hal-hal lain berjalan bergantian, pasca atasan saya dimutasi dan digantikan dengan atasan baru, hampir setiap hari sepanjang tahun saya bekerja tiada lelah dan pulang larut malam. Kami menyadari bahwa perubahan struktur organisasi bisa sangat mengubah mood kami dalam bekerja. Semangat untuk membawa hal-hal baik sedikit banyak harus ditelan dengan pahit, setiap hari menahan kesal karena satu dan lain hal, serta begitu sulitnya untuk menyampaikan hal-hal yang dulu dirasa mampu dijangkau. Dunia politik praktis tiba-tiba terasa dekat dan memuakkan, ya memuakkan.

Singkat cerita, tahun berganti dan secara mendadak pula saya diberikan tanggung jawab untuk menanggung beban lebih banyak dari teman-teman satu angkatan. Belajar memimpin orang lain, belajar bernegosiasi dengan orang-orang yang lebih tinggi, mengambil tanggung jawab, dan hal-hal lain. Setiap minggu hampir-hampir kehilangan harapan namun beruntung betul masih punya forum-forum kecil untuk membicarakan hal-hal dan keresahan dengan sesama kami. Saya sempat jatuh iri dengan rekan-rekan kerja yang bersemangat mencari beasiswa master dan membuka kesempatan untuk belajar kembali di luar lingkungan kerja dan mengambil jarak sementara dari kantor yang terasa semakin mengekang.

Tapi ternyata kesempatan itu juga datang ke saya sedemikian rupa, beberapa bulan setelah memasuki umur 30 tahun. Saya hanya punya waktu kurang dari 1 bulan untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah. Saya mengumpulkan berkas, mendaftar tes toefl dan TPA, memilih dosen untuk dihubungi, membuat surat ijin ke atasan, dan memilih tema untuk calon penelitian tanpa memiliki bekal keilmuan sedikit pun. Lelah bekerja selama 4 tahun terakhir menjauhkan dari kegiatan membaca buku dan memperkaya pengetahuan sehingga rasa-rasanya saya kembali menjadi anak-anak yang baru saja lulus SMA. Saya memikirkan keputusan cukup lama, menunggu hasil tes toefl dan TPA sebelum akhirnya menghubungi dosen dan meminta ijin atasan, mengabarkan ke teman-teman, meminta pertimbangan ke rekan yang lebih senior di dunia pekerjaan, sampai saya teryakinkan bahwa ‘sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar, kita mengambil jarak dan rehat sejenak dari rutinitas sehari-hari’. Dua hari sebelum penutupan pendaftaran, saya menyelesaikan semua hal dengan baik.

Perihal ini, selama 4 tahun pula saya dan karib saya bertukar mimpi. Saya seolah ditulari semangatnya untuk mengejar sekolah impian, walau saya berakhir menjadi orang yang terlalu oportunis dan penuh kemalasan untuk mengejar mimpi-mimpi. Episode ini berbeda, saya menyadari betul ada banyak hal yang kurang tentang diri saya. Saya menyimpan kekaguman tentang orang lain dengan banyaknya energi yang mampu mereka curahkan untuk hal-hal yang diimpikan, sedangkan saya bergelung kemalasan di dalam kamar kosan. Meski telah bekerja cukup lama, tapi masih menyimpan banyak keraguan akan hal-hal yang dikerjakan, apakah masih ada waktu untuk mengejar mimpi? 10 tahun lagi ingin ada di mana? menjadi apa? dan seterusnya. Tentu saja sebagaimana 1 tahun dapat mengubah banyak hal, saya tidak mampu dan tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi dalam 3 bulan terakhir saya menyadari, saya tidak lagi terlalu takut dengan perubahan.

Malam tadi kami membicarakan banyak hal. Ketika membuka peta, kami menyadari bahwa hal-hal berjalan dengan caranya sendiri, kadang yang didapatkan justru ada persis di sebelah hal yang sebetulnya kita impikan. Tentu saja jika bukan karena menerima pekerjaan, barangkali saya tidak akan memiliki kesempatan untuk sekolah lagi. Tapi juga sembari berterima kasih ke diri sendiri sudah mampu bertahan dan berkembang di lingkungan yang tidak dikenal.

Lalu, saat sudah kembali ke lingkungan yang dirasa sudah dikenal pun, ada banyak hal yang juga berubah dan sedikit terasa asing. Sekre yang tutup, domisili yang bergeser, teman-teman yang entah sudah ada di mana dan akan di mana. Bagaimanapun, I’ll make it just alright. This year is so challenging, and so much thank you for the opportunities that came to me.

wordsflow

after 3 years and more


Mau membagi cerita soal kuliah saya yg kedua.

Di kisaran tahun 2013, saya yang kuliah di lingkungan Fakultas Teknik tetiba dikerubungi oleh banyak orang dari kampus sosial yang kebetulan datang ke sekre kami untuk bertemu dan diskusi dengan beberapa teman. Saya yang sedari sma tidak diperkenalkan lebih jauh dengan ilmu sosial (sekolah saya maksa semua siswa jadi anak IPA), baru mulai terbukakan dunianya dengan betapa serunya dunia sosial. Setelahnya, saya mencekoki diri sendiri dengan berbagai jenis buku yang bisa dan tidak bisa saya pahami secara keseluruhan untuk akhirnya berkesimpulan bahwa ilmu sosial ternyata jauh lebih menarik dari yang saya duga sebelumnya.

Lalu random betul, saya merasa saya ingin belajar lebih jauh tentang ilmu sosial, dan akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah ekstrim saya untuk kesekian kali dalam hidup: daftar sekolah lagi. Waktu itu sebetulnya anggan-anggan saya hanya ingin belajar, tetapi jika dipikir lebih jauh, alasan semacam itu terlalu naif dan egois. Meski demikian, pengalaman belajar di lingkungan yang sama sekali baru itu ternyata jauh lebih menarik dari yang saya duga. Saya menghabiskan satu tahun untuk menyelesaikan kuliah teori sebelum akhirnya saya menyadari bahwa saya belum siap untuk mengambil data penelitian untuk tugas akhir. Bisa dikatakan ketika itu saya tersadar ada langkah yang salah yang saya ambil ketika memutuskan untuk sekolah lagi. Saya lantas ‘melarikan diri’ ke kegiatan lain selama satu semester hanya untuk mendapat teman-teman saya sudah mapan dengan topik tugas akhirnya dan sudah di tahap akhir penulisan. Di masa itu juga saya merasa tertinggal dan tersadar sekali lagi, bahwa hal-hal semacam itu adalah tanggung jawab personal. Well, saya justru mengambil lebih banyak mata kuliah dan memenuhi sks saya sampai melebihi batas, lalu meyakinkan diri bahwa sudah saatnya untuk mengambil langkah kongkret dalam menulis tugas akhir.

Singkat cerita, saya mendapat tawaran untuk mengisi slot beasiswa penulisan tugas akhir dari salah seorang dosen, salah satu yang paling saya hormati di kampus. Lebih ekstrim lagi karena itu merupakan kali pertama saya penelitian tandem dengan mahasiswa lain dan harus berlaku baik sebagai peneliti maupun penerjemah, selama kurang dari 2 bulan. Tentu saya juga harus mengumpulkan lebih banyak bahan secara mandiri sebelum akhirnya mendadak harus menjadi pekerja tetap.

Ini klise sekali, tetapi saya pernah putus asa betul karena merasa tidak akan memiliki waktu untuk menyelesaikan sekolah karena pekerjaan di kantor. Saya meninggalkan prahara penulisan tugas akhir selama 1 tahun dan membiarkan biaya kuliah yang telah saya bayarkan menguap begitu saja. Meski ketika itu saya juga sama putus asanya dengan prahara perubahan struktur di kantor, tapi kondisi penuh kekacauan itu memberikan saya waktu luang untuk akhirnya bangun pagi dan menuliskan apapun yang ada di jurnal lapangan saya, setiap hari selama 2 bulan. Tidak memiliki waktu untuk bimbingan, karena pembimbing saja juga membimbing beberapa anak lain yang kondisinya sama seperti saya. Ternyata saya ‘hanya’ membutuhkan waktu 2,5 bulan untuk betul-betul menyelesaikan tulisan dari BAB II sampai mendapat persetujuan untuk ujian.

Dan hahaha, lucu, sebelumnya setiap ditanya saya sering kali dengan ringannya menjawab saya sudah mulai menulis sampai di pembahasan, padahal satu-satunya BAB yang saya selesaikan baru BAB I, pun saya masih belum yakin dengan rumusan masalah yang ingin saya bahas. It was a very hard time for me. Saya menulis dari jam 6-2 pagi, setiap hari. Di sela-sela kerja wfh yang hanya diisi dengan rapat ringan dan menyusun berkas yang sederhana, saya mencuri waktu untuk menuliskan apapun yang saya pikirkan untuk menjadi tulisan yang runut. Sampai akhirnya saya pun berhasil ujian di bulan Mei, tanpa woro-woro ke siapapun bahkan ke keluarga. Saya lebih tidak suka dikasihani karena belum lulus tapi lebih-lebih saya tidak ingin jumawa atas hal-hal yang belum pasti, karenanya hal-hal seputar ujian saya rahasiakan.

Lalu beberapa menit yang lalu sembali mencari contoh format tulisan dan makalah, saya kembali membaca thesis saya dan menemukan narasi di kata pengantar yang saya tulis setulus hati setahun lalu, dengan perasaan luar biasa lega karena kuliah saya akhirnya hampir bisa saya selesaikan. Tulisan ini lebih sebagai pengingat ke diri sendiri juga, betapa hampir 4 tahun kuliah di dunia yang sama sekali berbeda akhirnya bisa saya selesaikan dan tidak berakhir menjadi kesia-siaan. Saya memang procrastinator, tetapi hampir sangat percaya diri bahwa apa-apa bisa saya selesaikan sebelum limit masa tenggangnya dan semoga saja saya bisa selalu begitu. Juga soal betapa penuh keberuntungannya saya dalam menjalani hari-hari, dan karenanya selalu berterima kasih kepada orang-orang yang pernah mengiringi langkah saya di masa-masa sulit, dan berkenan menjadi teman berdiskusi atau bertukar pikiran.

Setelah sekian tahun kemudian, teman-teman kuliah saya sudah memiliki dunianya masing-masing. Beberapa di pemerintahan, sebagai peneliti lepas, membangun usaha, atau menjadi dosen dan mengabdi di dunia akademis. Whatever they are doing, Ima proud friend and will always support them. Nggak peduli meski kami kadang berbeda prinsip, tapi bahkan di kuliah saya memahami bahwa perbedaan prinsip bisa saling menguatkan jika dibawa ke arah yang benar. Semoga hal-hal baik yang saya pelajari selama 3 tahun lebih, secara keilmuan maupun interaksi sosial tidak menguap begitu saja.

Akhir kata, saya bonusi foto saya lagi sidang online di kamar kos saya di Jakarta, belum mandi dan hanya bermodal bawahan mukena dan kemeja merah membara. Tabik

wordsflow

mendadak pindah (ii)


Setelah sekian lama tidak membuat postingan berjilid-jilid, hehe.

Mau melanjutkan cerita yang sebelumnya. Akhirnya, selasa minggu kemarin saya resmi meninggalkan kos saya yang lama. Sebetulnya, jika dipikirkan dengan lebih tenang, kepindahan ini sedikit banyak menguntungkan. Sejak pertengahan tahun kemarin, kos yang notabene adalah kos perempuan dan hanya berpenghuni 3 orang ini mendadak dihuni oleh pasutri di kamar sebelah saya. Pasangan ini anak dan menantu induk semang kami. Sebetulnya di satu sisi saya masih oke karena tidak sangat mengganggu karena saya anak kamar. Tetapi di sisi yang lain, saya cukup risih karena kami menggunakan kamar mandi bersama dan dapur bersama.

But well, now it’s not a problem! I got myself a wholesome new place and it’s so awesome, all for myself.

Ruang sewa saya yang baru sebetulnya lebih cocok disebut kontrakan, hampir tipe studio tapi tidak sepenuhnya begitu, hehe. Saya harus memikirkan ulang dari nol posisi penataan barang dan letak calon tempat masak mengingat saya tidak memiliki dapur di ruang baru ini, hanya sepetak sink tanpa struktur yang kuat. Yang paling meresahkan adalah saya tidak punya meja kerja. Dibandingkan semua furniture yang lain, meja mendadak menjadi utama karena sejak akhir tahun lalu saya sudah memindahkan perkakas produksi ke Jakarta. Dari semua hal yang saya miliki, 25% dari printilan pindahan saya adalah pendukung berdagang, 25% tekstil dan perfasunan, 15% perabot knock down, 5% buku, 10% perkasuran, dan 20% sisanya urusan dapur dan cemilan.

Hanya perkakas berdagang saja yang sejauh ini belum punya tempat karena tempat baru tidak menyediakan meja. Tapi memilih meja di antara begitu banyak jenis meja di pasaran ternyata sulit. Lebih karena saya tidak mau berinvestasi di perabot berbahan kayu lapis, tetapi kayu solid terlalu mahal untuk budget saya yang mentok. Meski begitu setelah petualangan ngulik marketplace dari satu akun ke akun lainnya, akhirnya saya menemukan juga pilihan yang sepertinya sesuai.

Secara umum saya merasa sangat beruntung karena sedikit banyak sudah bersiap untuk pindah ke kontrakan. Bisa dibilang kepindahan kemarin adalah dorongan yang saya butuhkan untuk mengeksekusi rencana. Walaupun tentunya untuk satu dan lain hal merepotkan karena semua perabotan harus dirakit sendiri, dan begitu banyak pengeluaran baru untuk berbagai furnitur pendukung, packing-angkut-bongkar-pasang sendiri. Tetapi sejauh ini puas dengan pilihan-pilihan mendadak yang diambil. Bahkan termasuk impulsive buying berbagai printilan yang ternyata bisa jauh lebih berguna setelah pindah.

Juga menyadari bahwa untuk barang-barang tertentu harus mulai dikontrol agar supaya lebih mempermudah hidup. Mengganti beberapa barang yang lain juga agar lebih awet dan mempertimbangkan barang baru yang akan dibeli dengan menimbang material, durabilitas, dan tingkat kepraktisan ketika suatu hari harus berpindah.

Semakin ke sini, saya menyadari bahwa hal-hal sehari-hari ini kadang jauh lebih menguras pikiran dibandingkan memikirkan neoliberalisme atau isu-isu lingkungan. Tentu saja, di hari-hari kerja pikiran saya bertambah memikirkan kenapa ini begitu dan banyak ina inu. Saya pribadi tidak terlalu senang tetapi ternyata melelahkan untuk mengikuti banyak hal karena sumber informasi saya dunia maya yang sama semrawutnya dengan realita. Jadi saya biarkan diri saya mengelana kembali ke imajinasi liar saya membangun hidup yang mapan.

Sedikit selipan cerita, setelah melihat cukup banyak hal yang dapat saya gunakan sebagai pengalaman, saya pikir saya tidak terlalu merasa kehilangan. Hal-hal masih pada tempatnya dan akan mencari tempatnya jika kita sempat terpental keluar. Karena dengan mudahnya orang datang dan pergi, saya juga tidak perlu merasa sendirian, pun tidak perlu terlalu merasa terikat pada sesuatu. Yah, kira-kira sekarang saya sedikit memahami maksud bahwa kita ini sementara saja.

Karena saya sudah sedikit mulai mapan, benak saya jadi lebih tenang, dan saya bisa memikirkan hal-hal yang lain. It’s really not easy to find peace. But lets just be here and now for the time being.

wordsflow

*ps. gotta drop some photos after I finish rearrange my place, hehe.

mendadak pindah


Setelah berbulan-bulan tidak punya bahan untuk dituliskan atau dibagikan di laman ini, akhirnya saya punya beberapa kabar yang sebetulnya, saya ceritakan karena saya kadung kesal luar biasa.

Di bulan ini di tahun lalu, saya ingat betul memutuskan untuk mendekorasi ruangan sewa saya di Jakarta karena begitu jengah dengan ruangan yang hambar saja mengingat sudah 3 bulan aturan dilarang keluar rumah diberlakukan. Saya kemudian mengalihkan alokasi dana yang biasanya saya gunakan untuk bolak-balik Jogja untuk keperluan membeli beberapa atribut yang bisa digunakan untuk memperindah kamar. Selama enam bulan setelahnya, saya aktif menyisihkan beberapa pemasukan untuk perbaikan ini karena sebetulnya praktis saya tidak mendapat fasilitas yang cukup untuk semua barang saya. Sejauh itu pula, saya punya proyeksi bahwa setidaknya dalam 1 atau 2 tahun saya akan bisa pindah ke lokasi yang lebih mapan untuk ditinggali, meskipun belum tahu seperti apa.

Lantas, di tengah kepuasan saya dengan ‘sistem’ dan tata ruang yang saya ciptakan di kamar sewa ini, hari Sabtu lalu induk semang kami memanggil saya dan seorang teman yang menyewa kamar sebelah untuk ‘diajak bicara’. Intinya, kami harus pindah. Kalau boleh saya katakan, kami dipaksa pindah, terusir dari tempat tinggal sementara ini tanpa diberi aba-aba sebelumnya. Pun hanya diberikan waktu kurang dari 10 hari untuk berkemas, mencari lokasi baru, dan menata hidup sekali lagi.

Jujur saja saya merasa begitu dicurangi. Minggu ini masih awal bulan, artinya saya dan teman sebelah sudah membayar sewa untuk sebulan setelahnya. Dengan alasan bahwa pemilik rumah sudah bersepakat dengan tukang, kami diminta untuk segera pindah.

Tentu, ruang yang saat ini masih saya tempati bukan milik kami, secara hak kami tidak memiliki secuil kewenangan untuk menguasainya. Tapi kami membayar sewa tepat waktu dan tidak menuntut banyak hal. Ada sangat banyak cara untuk memberikan sinyal kepada kami bahwa bangunan akan segera direnovasi dan kami diminta pindah. Bisa sebulah sebelumnya, bisa dua bulan sebelumnya. Atau bisa saja ketika masih berembug dengan tukang. Intinya sebelum kesepakatan dibuat. Saya tidak bisa tidak gusar. Saya kesal betul dan tentu saja butuh waktu untuk bisa menerima tuntutan untuk pindah ini.

Sebetulnya, saya tipikal yang attached pada suatu lingkungan atau ruang sampai ada hal-hal yang memaksa saya untuk pindah. Misalnya, saat masih SMA, saya selalu menjadi yang pertama kembali ke asrama dan orang terakhir yang pulang saat libur panjang. Atau saya masih tinggal dan menetap di sekre sampai hari-hari terakhir saya di Jogja. Atau saya tidak punya dorongan untuk memindahkan barang-barang saya di kos lama. Pun termasuk kamar yang saya tempati sekarang.

Bisa jadi ini adalah cara yang dikasih ke saya untuk pindah ke lokasi yang lebih baik. Tapi lebih-lebih, when life gives you lemons, make lemonade. Cukup bersyukur karena saya bisa segera menemukan lokasi yang jauh lebih nyaman, space yang lebih besar, dan lingkungan yang lebih baik. Kadang suka bingung karena terlalu banyak hal-hal baik yang terjadi.

Setelah ini, saya mungkin butuh berbulan-bulan lagi untuk menata ruang tinggal, tapi cukup terdorong untuk segera move on dan mengetes kemampuan saya sebagai lulusan arsitektur, haha. Barangkali masih ada sedikit kemampuan yang tertinggal untuk bersenang-senang dengan ruang. So to say, I’ve been in this kind of situation for so long. I’ll be just fine tho.

kapasitas produksi


Topik ini, sudah lama sekali ingin saya angkat. Tapi beberapa kali menulis draft dan akhirnya saya urungkan karena banyak faktor. Tentu pertama-tama karena saya sungguh malas crosscheck ke data atau teori yang ada (selayaknya nulis jaman kuliah) oleh karena saya punya skeptisme tertentu sama hal-hal yang tidak datang dari eksperimen sendiri. Jadii, barangkali anggap saya ini renungan saya sebagai produsen usaha mikro dalam mempertahankan bisnisnya.

Mula-mula, mari mengingat kembali bahwa hari ini, atau tanggal-tanggal ini setahun yang lalu covid mulai jadi perhatian serius. Saya mengingatnya sebagai part paling sedih karena itu artinya saya tidak lagi bisa ke Jogja sewaktu-waktu sebagaimana setahun sebelumnya. Tentu, waktu itu saya masih di Jogja dan sedang harap-harap cemas menunggu keputusan kantor. Saya juga harus memikirkan masa depan usaha mikro saya yang sudah mulai stabil setelah saya tinggal bekerja tetap. Bisa dibilang, pandemi membuat saya memikirkan ulang dari nol rencana saya untuk mempertahankan bisnis mikro itu, terutama karena setahun terakhir partner saya mulai stabil. Alhasil, kami libur total mengingat saya harus juga menyelesaikan kuliah yang sudah hampir-hampir tidak ada bekasnya dan menunda beberapa ide-ide produk sampai mulai ada satu dua order di chatbox kami.

Di pertengahan tahun, saking lamanya wfh dan karena tidak ada lagi trip-trip keluar rumah, saya memutuskan untuk dekorasi kamar dan menyisakan satu sudut untuk ruang kerja. Membuat sekat-sekat kecil untuk bahan-bahan membuat buku juga hal lain yang mungkin bisa saya kerjakan sebagai penghiburan sulitnya bertemu teman-teman secara tatap muka. Menjelang akhir tahun, lebih banyak order yang masuk ke chatbox kami dan usaha kami mulai stabil kembali. Tentu saja kemudian saya melengkapi alat-alat produksi di Jakarta, menduplikasi ruang kerja saya di Jogja. Baru menjelang 2021 saya akhirnya melengkapi semua kebutuhan dan memiliki ruang kerja yang cukup untuk bisa membuat buku di Jakarta.

Selama proses itu, saya kemudian berpikir bahwa ide ekonomi kreatif itu sebetulnya sangat realistis, hanya saja membutuhkan waktu lama dan proses yang sedikit njelimet. Di dalam ekonomi kreatif, yang dilihat adalah value added yang ditambahkan ke komoditi, oleh karenanya yang dipegang adalah HKI.

Meskipun skala bisnis yang saya jalankan masih sangat kecil, tapi saya sangat yakin bahwa bisnis ini berkelanjutan. Artinya dia tidak akan urung hanya karena saya pindah kota atau apa. Pun yang saya lihat dari rekan-rekan saya mayoritas juga tidak dihambat oleh lokasi usaha. Barang tentu ini juga didukung penuh oleh kemudahan kita dalam bertransaksi online, media promosi gratis, dan marketplace yang meraja lela. Saya bisa belanja bahan sambil rebahan di atas kasur, sungguh hal yang sangat berbeda jika dibandingkan di tahun pertama saya membuat SketchandPapers, saya hampir setiap sabtu-minggu keliling kota untuk survey bahan dan alat, lalu berjualan hanya dari mulut ke mulut teman-teman saya.

Kembali ke topik utama. Lalu apa hubungan eratnya dengan kapasitas produksi? Di awal munculnya revolusi industri, atau awal-awal kapitalisme, yang terjadi adalah maksimalisasi produksi, selain tentu saja okupasi moda produksinya. Oleh karenanya, dibuatlah segmentasi proses produksi dan pemasaran, yang mana menempatkan pemilik modal sebagai rajanya, dan pekerja tersegmentasi sebatas pada tahapan produksi tertentu. Model bisnis ini jauh lebih cepat berkembang, dan lebih cepat menguasai pasar karena besarnya kapasitas produksi yang mereka miliki, dan efisiensi kerja karena setiap pekerja hanya perlu menguasai sebagian dari seluruh tahapan produksi. Di masa-masa itu, hal-hal yang muncul dari craftmanship jadi cenderung ditinggalkan karena akhirnya kualitas produknya sama dengan kualitas pasaran, namun harganya lebih tinggi.

Sekian lama kemudian, ketika handmade kemudian kembali populer, pertanyaan yang muncul dari komsumen umumnya sama ‘apa yang membedakan produkmu dengan yang ada di pasaran?’ Rumusan ini yang kemudian dituangkan untuk menjelaskan mengenai ekraf. Tetapi karena persoalan ini juga, umumnya produksi komoditi ekraf tidak mampu menyaingi kapasitas produksi level industri. Produksi handmade juga sering kali mengabaikan produk pabrik sebagai pesaing mereka dan cenderung nyaman dengan toleransi terhadap produk handmade terhadap tingkat presisi komoditi yang dihasilkan.

Uh, oh, kenapa bahasanya jadi serius.

Intinya, sewaktu terima pesanan dalam jumlah besar, saya menyadari betul bahwa kapasitas produksi di sektor ini jelas jadi kendala paling utama. Soal modalitas dan promosi masih bisa diatur dengan satu dan lain cara, namun kapasitas produksi tidak punya toleransi. Kualitas produk, terutama handmade, berbanding lurus dengan kemampuan seseorang dalam mengolah keuletan dan kreativitasnya, oleh karenanya produk yang dihasilkan dari orang yang berbeda memiliki detil kualitas yang berbeda. Saya tidak bisa langsung merekrut orang lain dan melakukan pelatihan untuk produksi karena internalisasi pengetahuan yang berbeda. Begitu dikerjasamakan dengan orang lain, standar harus dibuat, batas juga harus ada untuk mengakomodir kualitas produk yang dihasilkan.

Kemarin saya baru saja membuat buku dengan jumlah yang sebetulnya di luar nalar saya pribadi. Saya mencoba mengejar produksi sebanyak 45 buku dalam sehari. Secara waktu dan kesadaran, jumlah itu memungkinkan. Saya bahkan dengan mudah bisa mengatur ‘mode robot’ untuk menyelesaikannya tapi saya lupa bahwa tangan saya punya batas kemampuan. Saya jadi semakin menyadari kenapa alat itu penting meskipun belum menemukan alat yang saya mau.

Dan walaupun tulisan ini tidak saya maksudkan untuk begini tapi saya terlalu lelah untuk membaca ulang atau merevisi. Saya pribadi tidak pro buta terhadap produk handmade atau ekraf. Sebagian juga tidak selalu konsisten dan bisa mempertahankan value produknya, atau cenderung memilih bahan yang ala kadarnya. Saya sering sekali menolak pesanan ketika tidak sedang mood bekerja dan cenderung suka bereksperimen di waktu-waktu tertentu. Menurut saya, dengan effort sebesar itu untuk menciptakan produk handmade, sayang sekali kalau produknya dibuat ala kadarnya dengan kualitas bahan yang rendah. Memilih bahan juga bagian dari meningkatkan value produk. Di dua tahun belakangan, kesadaran orang terhadap produk lokal atau handmade sudah jauh lebih meningkat dan apapun, selalu punya pangsa pasar. Jadi, walau kapasitas produksinya rendah, hal-hal tetap bisa diatur.

Sedari kecil saya selalu punya anggan-anggan untuk punya merk sendiri. Tapi bahkan setelah mengerjakan ini sejak 2014 saya masih belum berani menyebut diri bookbinder. Sekian, semoga maksud tulisan ini bisa ditangkap, hehehe.

wordsflow