Kenduri dalam Budaya Jawa

by uli.


Ini mungkin postingan yang jarang saya publikasikan kepada teman-teman. Bahkan mungkin pemikiran yang juga jarang terungkap keluar.

Nah, di sini saya ingin membahas sesuatu yang berhubungan dengan budaya Jawa, yang mungkin sudah mulai tidak dikenal oleh orang-orang, yaitu kenduri.

Kenduri, dalam bahasa Indonesia baku (KBBI) memiliki arti; /ken·du·ri/ n perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat, dsb; selamatan. Dan mungkin sebelum beranjak lebih jauh menuju topik penbicaraan berikutnya, saya hanya ingin menggarisbawahi dan menegaskan, bahwa dalam hal ini tidak ada unsur agama yang dibawa. Namun agama memberi andil dalam budaya ber-kenduri ini.

Oke, mari menganalisa dari sisi sosial sebelum ke arah teologisnya.

Kenduri, ada di Jawa lama sebelum agama masuk ke Nusantara dan memberi dasar nilai baik secara fisik maupun etika di dalam masyarakat Jawa. Pada dasarnya, masyarakat Jawa dibentuk dari rasa sosial yang tinggi, ditumbuhkan dalam lingkungan sosial yang mengayomi, dan berkehidupan atas dasar nilai-nilai sosial. Pun demikian dengan semua tindakan yang dilakukan masyarakat Jawa, semuanya didasarkan atas apa yang telah dipelihara nenek moyang mereka, yang dalam hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial.

Menurut saya, masyarakat Jawa bahkan terkadang terlalu sosialis dibandingkan dengan kemampuan yang sebenarnya bisa mereka tanggung. Mereka mungkin tidak bisa menjaga nilai-nilai sosial itu seperti seharusnya, namun akhirnya malah mereka terkadang melebihi kemampuan untuk memenuhi tuntutan sosial.

Nah, balik lagi ke kenduri. Mungkin teman-teman yang memang tidak hidup di Jawa tidak akan terlalu paham dengan konsep kenduri. Tapi bagi saya yang sewaktu masih kecilnya selalu ikut nenek saya dalam mempersiapkan kenduri, saya menjadi lebih paham tentang konsep kenduri.

Apa itu kenduri?

Kenduri, seperti diartikan menurut KBBI merupakan ‘perjamuan makan’ untuk memperingati sesuatu. Nah, dari sini, akan muncul banyak persepsi dasar mengenai apa dan bagaimana kenduri ini dijalankan.

Bagi kaum perempuan, kenduri merupakan sebuah acara reunian keluarga besar (yang dimaksud di sini adalah tetangga sekitar). Dalam lingkup wanita, kenduri memberikan ruang privasi untuk kaum wanita dalam berbagi informasi baik tentang keluarga sendiri maupun tetangga yang lain. Di sinilah wanita bisa saling bertukar cerita dengan bebas tanpa gangguan dari kaum lelaki selama mereka menyiapkan makanan, karena wanita akan bekerja mempersiapkan kenduri dalam waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 4-7 hari pada masa perayaan.

Kenduri juga dimaksudkan untuk berbagi rizki dan meminta doa dan restu dari tetangga dan sanak saudara yang hadir dalam acara itu. Setiap kepala keluarga masing-masing akan mewakili keluarganya dalam serah terima kenduri dan disanalah wujud berbagi itu ada. Dalam kenduri, sebenarnya tidak pernah ada masalah tentang agama, tapi bagian ini akan kita bahas lebih lanjut di belakang.

Dari kedua uraian itu, kenduri memberi kesimpulan makna, bahwa ia secara tidak sadar memberi ruang pada wanita dan pria dalam dua dunia yang berbeda, padahal sebenarnya pada rangkaian kegiatan yang sama dan berdampingan. Nah, ruang sosial inilah yang menjadi bagian paling penting dari kenduri, selain makna sebenarnya dalam meminta doa dan restu. Kenduri juga menjadi semacam berkah bagi semua tetangga karena ia yang ikut andil dalam memberikan kehidupan lebih pada mereka.

Lalu dimana peranan agama dalam budaya ini?

Lambat laun, kebudayaan tergerus oleh nilai-nilai agama. Nilai-nilai sosial yang tidak lagi dianggap berdampingan dengan nilai-nilai agama ditiadakan. Padahal dalam sejarahnya, tindakan ini tidak pernah berdasar atas agama.

Kenduri, secara agama kemudian menjadi dianggap tidak sesuai karena ini dan itu. Hingga akhirnya nilai-nilai agama dan budaya itu diadaptasi menjadi satu nilai yang sama. Dan di sanalah ia mulai kehilangan pesona keindahannya. Kenduri lambat laun juga terseret oleh modernitas, dimana segala hal yang praktis menjadi dewa dan segala hal yang butuh waktu selalu dipertanyakan. Padahal proses lah yang menjadi poin penting budaya Jawa, sesuai dengan sejarah budaya itu dibentuk.

Pada saat ini, bahkan sudah dapat dikatakan hanya segelintir orang saja yang masih memelihara budaya kenduri seperti aslinya. Karena banyak orang telah mengkonsep kenduri yang modern dengan hanya memberi bahan mentah yang jika diolah akan seperti kenduri yang seharusnya. Bahkan yang lebih parah akhirnya bahan makanan itu juga berkurang hingga bahan makanan yang paling dasar. Di sini mungkin nilai sosial di antara kaum lelaki tidak akan berkurang terlalu banyak. Tapi bagaimana dengan kaum wanita? Ruang yang dibentuk itu menjadi tiada. Menjadi tidak sebermakna ia seharusnya. Padahal ruang itu juga lah yang menjadi salah satu tujuannya.

Ia seperti budaya yang dipaksakan dalam agama. Padahal dalam budaya, agama tidak menjadi dasar dalam mewujudkannya. Ia ada karena masyarakat yang mewujudkan makna dan gagasan pemikiran dalam wujud fisiknya. Ia ada karena masyarakat yang haus akan ruang sosial.

Nah, pertanyaan selanjutnya pun muncul; akankah kenduri ini ada barang 5 tahun lagi?

Kita lah yang harus yakin jika ia masih akan tetap mewujud, bersama dengan budaya lain yang tengah terkubur.

nuzulizn